Warga Kampung Islam Kepaon, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, bali mempunyai tradisi unik ketika momentum bulan Ramadan.
Tradisi unik itu yakni makan bersama ala umat Hindu Bali yang lebih dikenal dengan sebutan megibung.
"Megibung (artinya) adalah makan bersama. Megibung istilah Balinya. Ini sudah dari dulu, dari semenjak adanya kampung kita ini,"kata Takmir Masjid Besar Al-Muhajirin Kampung Islam Kepaon Abdul Ghani kepada detikBali, Jumat (22/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
detikBali berkesempatan menyaksikan jalannya tradisi megibung di Kampung Islam Kepaon pada Jumat (22/4). Hajatan itu dilaksanakan di Masjid Besar Al-Muhajirin Kampung Islam Kepaon.
Sebelum melaksanakan tradisi megibung, warga terlebih dahulu sedari sore hari melaksanakan hataman Al-Qur'an. Memasuki waktu magrib, mereka lalu bersiap-siap untuk melaksanakan buka puasa.
Usai berbuka, mereka lalu bergegas menuju tempat wudhu untuk melaksanakan salat magrib. Usai shalat, barulah tradisi megibung dilaksanakan.
Para tokoh-tokoh masyarakat nampak melaksanakan megibung di ruang utama masjid. Sementara warga dan anak-anak mereka megibung di teras masjid.
Tradisi megibung dilaksanakan dengan menikmati hidangan makanan bersama dalam satu wadah. Peserta megibung mengelilingi wadah untuk menikmati hidangan secara bersama-sama.
Pantauan detikBali, warga dan anak-anak di Kampung Islam Kepaon nampak begitu antusias menikmati sajian makanan dalam tradisi mengibung tersebut. Mereka nampak menikmati sajian makanan secara beramai-ramai dalam satu wadah.
Abdul Ghani menuturkan, tradisi megibung yang dimiliki oleh warga di sana tidak terlepas dari sejarah terciptanya Kampung Islam Kepaon. Kampung itu terbentuk dulu pada zaman kerajaan Hindu Bali, yakni Kerajaan Puri Pemecutan.
"Ada salah satu dari putri raja itu yang mualaf, beliau punya keturunan, beliau bawa pasukan ketika itu, ketika itu masih zaman perang pada waktu itu, pasukannya itu menetap di (kampung) sini," tuturnya.
Abdul Ghani menegaskan, bahwa tradisi megibung di Kampung Islam Kepaon sebenarnya tidak hanya dilaksanakan pada bulan puasa semata, tetapi juga di berbagai acara lainnya. Beberapa acara yang berisi megibung di antaranya seperti selamatan kelahiran bayi hingga tiga bulanan bayi dan gunting rambut.
Sementara ketika bulan puasa, tradisi megibung dilaksanakan khusus ketika tanggal 10, 20 dan 30 bulan Ramadan. Megibung dilaksanakan pada tiga tanggal tersebut karena bertepatan dengan acara hataman Al-Qur'an.
Selain karena alasan hataman Al-Qur'an, ada alasan yang lebih mendasar dipilihnya pelaksanaan tradisi megibung pada 10 hari pertama, kedua dan ketiga di bulan Ramadan.
Menurut Abdul Ghani, pada 10 hari pertama bulan Ramadan Allah menyampaikan salam rindunya kepada orang-orang beriman. Pada tanggal ini, Allah menginginkan agar manusia mendekatkan diri kepada-Nya.
"Maka ke manapun engkau menghadap di situlah wajah Allah, artinya Allah akan selalu mengawasi kita. Allah tidak membutuhkan kita, Allah ingin kita mendekat kepadanya dengan zikir. 10 hari pertama, Allah merindukan kita," jelasnya.
Kemudian pada 10 hari kedua di bulan Ramadan, Allah semakin merindukan orang-orang yang beriman dengan nilai dakwah, tidak hanya ke orang Islam, tetapi juga umat lain. Di sini perwujudan Islam yang sesungguhnya yang selalu memberikan kedamaian.
"Ada dakwah yang disampaikan kepada umat lain bahwa Islam itu Rahmatan lil 'Alamin, untuk semuanya. Bukan hanya untuk orang Islam saja, tapi juga orang di luar Islam. Itulah Islam, Islam yang sesungguhnya adalah Islam yang memberikan kedamaian," terang Abdul Ghani.
Kemudian di 10 hari yang ketika, kata Abdul Ghani, Allah sangat mencintai hamba-hambanya yang berjuang di jalan-Nya dengan berjamaah.
Dalam tradisi megibung ini, penyajian hidangan juga dibagi ke masing-masing kampung di Kampung Islam Kepaon. Kampung ini terdiri dari tiga yakni kampung selatan, tengah dan utara atau yang lebih dikenal Pemaksan Kelod, Pemaksan Tengah dan Pemaksan Kaja"10 hari pertama kita ngumpul, kedua kita ngumpul, dan ditutup dengan 10 hari ketiga.
Jadi Allah mencintai hamba-hambanya yang berjuang di jalannya dengan berjamaah, bersama-sama, tidak boleh sendiri-sendiri untuk menunjukkan kepada umat bahwa Islam ini memberikan kedamaian, Islam ini bersama-sama, tidak hanya umat Islam saja, tetapi juga antarumat beragama," kata dia.
Pada megibung tanggal 10 Ramadan, hidangan disajikan oleh Pemaksan Kelod. Kemudian berlanjut pada 10 hari kedua disajikan oleh Pemaksan Tengah dan Pemaksan Kaja pada 10 hari terkahir Ramadan. Tidak ada menu khusus dalam tradisi megibung tersebut.
"Nah tradisi megibung itu sajiannya apakah tidak ditentukan, tidak. Sajian megibung itu bebas saja sebagaimana umumnya hidangan-hidangan yang ada di negara kita. Tidak menentu harus ini harus itu," kata dia.
Pembagian penyiapan hidangan megibung dilakukan sebagai bentuk perayaan masyarakat Kampung Islam Kepaon terhadap hataman Al-Qur'an dan semakin mendekatkan diri antarsesama warga. Menurut Abdul Ghani, ada nilai silahturahmi dalam tradisi megibung tersebut.
"Ada nilai silaturrahim, ada nilai hablum minallah, hablum minannas, hablum minal 'alam. Jadi hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia serta manusia dengan alam. Kalau di Bali itu ada namanya Tri Hita Karana," jelasnya.
"Di Islam juga ada (semacam Tri Hita Karana), makanya saya bilang, tradisi megibung ini akulturasi budaya. Akulturasi budaya antara budaya Islam, budaya Hindu, ada China juga di sana," imbuh Abdul Ghani.
Tak hanya sekadar makan bersama dalam satu wadah, megibung ini biasanya juga diisi dengan berbalas pantun.
"Sebelum makan ada syair-syair yang disampaikan, ada pantun-pantun yang disampaikan, antar-warga kita saling berbalas pantun. Setelah masuk magrib baru kita berbuka puasa dan setelah salat kita megibung," ungkapnya.
Abdul Ghani menuturkan, bahwa tradisi megibung ini tetap dipertahankan dari dahulu sampai sekarang. Dahulu tradisi megibung dilaksanakan karena masyarakat susah dikumpulkan karena kondisi rumah yang saling berjauhan.
"Dulu masyarakat susah untuk kita menyatukan saking rumah warga itu jauh-jauh. Gimana ya caranya biar warga itu bisa kumpul dan merayakan hataman Al-Quran, begitulah ceritanya adanya tradisi megibung," tuturnya.
Acara megibung ini dapat diikuti oleh semua warga di Kampung Islam Kepaon tanpa kecuali. Bahkan dahulunya juga diikuti oleh umat lain seperti Hindu dan warga Tionghoa.
"Bahkan dulu umat Hindu juga ikut. Sekarang itu mereka ikut itu ketika Maulidan (Maulid Nabi), ketika acara hari besar Islam seperti Idhul Adha. (Saat itu biasanya) Baleganjur datang, barongsai datang. Itu setiap maulid pasti datang. Jadi benar-benar membaur kita," tukasnya.
(dpra/dpra)