Pupus Asa Miliki Hunian di Denpasar

Liputan Khusus Akses Perumahan di Bali

Pupus Asa Miliki Hunian di Denpasar

Rusmasiela Mewipiana Presilla, Ni Wayan Santi Ariani, Zheerlin Larantika Djati Kusuma - detikBali
Jumat, 14 Jun 2024 16:29 WIB
Zumaroh sedang membungkus tahu di teras kos-kosannya.
Foto: Zumaroh sedang membungkus tahu di teras kos-kosannya, di Denpasar, Bali, Selasa (6/6/2024). (Zheerlin Larantika Djati Kusuma/detikBali)
Denpasar -

Komang Sri sedang menyetrika sehelai baju pesanan di usaha konveksi kecil miliknya. Tak cuma sehelai, tapi masih ada bertumpuk-tumpuk baju yang masih harus ia setrika.

Sri mau tak mau harus menyeterika di atas lantai. Tubuhnya berimpitan dengan berbagai barang yang ada di kamar kosnya. Ruangan berkelir merah jambu dengan ukuran 3,5 x 3 meter yang difungsikan untuk tidur sekaligus bekerja itu merupakan satu-satunya kamar. Kos-kosan itu juga dilengkapi dapur dan kamar mandi dalam.

Sri terpaksa tinggal di kos sempit bersama suami dan anaknya di Jalan Gunung Batur, Nomor 119 C, Kota Denpasar, Bali. Sudah enam tahun perempuan berusia 34 tahun itu dan keluarganya menempati rumah kos dengan akses jalan berbatu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berprofesi sebagai penjahit, Sri hanya mampu meraup pendapatan rerata Rp 2 juta per bulan. Bertumpu pada pesanan orang membuat penghasilan Sri tak menentu setiap bulannya.

Begitu pula dengan sang suami, Nyoman Darma Yasa (34), yang bekerja sebagai tukang potong kain di salah satu industri garmen. Bermodal kemampuan memotong kain, upah paling banyak didapatnya hanya berkisar Rp 3 juta per bulan. Pekerjaan sampingan pun turut dilakoni demi menghidupi keluarga kecil mereka.

ADVERTISEMENT

Tinggal di kos-kosan adalah pilihan paling realistis bagi keluarga Darma, meski harus berdesak-desakan. Tak cuma bagi mereka, tapi juga tetangga-tetangga kos mereka yang sebagian besar sudah berkeluarga. Di area kos-kosan yang beralamat di Jalan Gunung Agung, Gang Bumi Ayu, Denpasar Barat, itu ada sekitar 10 kamar kos yang desain bangunannya serupa. Yakni, teras, satu kamar, dapur, dan kamar mandi.

Sri dan Darma bukannya tak mau pindah ke tempat yang lebih luas, apalagi kedua anak mereka makin besar. Dengan harga properti di Bali yang semakin tinggi, penghasilan mereka bahkan tak cukup untuk sekadar mengontrak rumah yang lebih luas.

Kini, pemerintah seolah-olah memberi harapan kepada masyarakat berpenghasilan rendah seperti keluarga Darma untuk memiliki rumah melalui program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Namun, program tersebut justru tak mendapat sambutan baik oleh Darma dan Sri. Menurut dia, jika nanti penghasilan suaminya dipotong untuk Tapera, tentu akan memberatkan.

Dapur sempit di kos-kosan Komang Sri dan keluarganya.Foto: Dapur sempit di kos-kosan Komang Sri dan keluarganya. (Ni Made Santi Ariani/detikBali)

Sri mengungkapkan saat ini masih bisa bertahan dan cukup menikmati hidup walaupun tinggal di sepetak kamar kecil. Saban pagi, dia sudah terbiasa dengan bunyi peralatan dapur yang berpadu dengan riuh aktivitas di kamar mandi.

Belum lagi aroma masakan yang menyeruak ke setiap sudut kamar tidur, menjadi hal biasa bagi keluarga perantauan asal Kabupaten Buleleng itu. Beruntung masih ada lubang kecil di plafon kos yang terbuka.

Mengingat pendapatan yang tak seberapa, pasangan suami istri (pasutri) ini memilih untuk hidup sederhana. Penghasilan Sri dan suaminya diutamakan untuk membayar kos, listrik, sekolah dua anak, dan biaya hidup sehari-hari.

"Untuk penghasilan berdua ya cukup-cukupin aja," ujar Sri sembari mengerjakan pesanan baju saat ditemui detikBali, Rabu (5/6/2024).

Sri tetap bersyukur memiliki kamar yang layak untuk ditinggali. Meskipun ia harus berbagi kamar dengan si bungsu yang berusia 8 tahun. Sedangkan si sulung yang bernama Seni (13) disewakan satu kamar lain yang berada di sebelah kamar yang ia tinggali dengan harga Rp 800 ribu per bulan.

Sri rela mengeluarkan uang lebih dengan alasan Seni sudah beranjak remaja. Maka, total pengeluaran untuk menyewa dua kamar kos Rp 1,6 juta per bulan.

Setiap rupiah yang Sri dan suaminya hasilkan hanya ditabung untuk dana darurat. Sehingga, sampai sekarang belum sempat menabung untuk membeli rumah di Denpasar atau Badung. Sri mengaku pengeluarannya untuk biaya kehidupan sehari-hari keluarganya sudah cukup memberatkan.

"Kadang untuk kebutuhan sehari-hari juga masih minjam uang. Sudah gaji sedikit, punya utang kan jadinya ya (yang sekarang) cukup-cukupin aja lah," ujarnya dengan suara lirih.

Komang Sri (34), penjahit sekaligus ibu dua anak yang tinggal di kos-kosan Denpasar saat ditemui detikBali, Rabu (5/6/2024).Foto: Komang Sri (34), penjahit sekaligus ibu dua anak yang tinggal di kos-kosan Denpasar saat ditemui detikBali, Rabu (5/6/2024).

Ketika disinggung soal angan-angannya memiliki hunian di Denpasar, ibu dua anak itu justru pesimistis. Impian besarnya memiliki rumah di Denpasar seakan sirna kala menghadapi realitas tingginya biaya hidup di ibu kota.

Harga hunian di wilayah Denpasar sendiri, beberapa pengembang perumahan membanderol harga perumahan kluster dengan harga yang bervariatif di angka miliaran. Sebagai gambaran, satu unit rumah dengan luas bangunan 130 meter persegi dan luas tanah 118 meter persegi dihargai mulai dari Rp 2,3 miliar.

Sedangkan developer lain ada juga yang mematok dari harga Rp 3,1 miliar dengan luas tanah 100 meter dan bangunan seluas 110 meter per unitnya. Tidak jauh berbeda, di wilayah Badung harga perumahan kluster per unitnya dibanderol sedikit lebih tinggi dari Denpasar dengan harga bisa mencapai Rp 4 miliar per unitnya.

Sedangkan catatan BTN, rata-rata harga rumah di Denpasar dan Badung meningkat hingga 20-40 persen per tahunnya. Di Denpasar pada 2023 harga rumah Rp 661 juta naik menjadi Rp 863 juta pada 2024. Sedangkan di Badung pada 2023 Rp 638 juta naik menjadi Rp 900 juta pada 2024.

"Berandai-andai saja bisa punya (rumah), tapi kalau saya kayaknya nggak mungkin deh," ucap Sri dengan tatapan sayu.

Lagi-lagi alasannya adalah soal pendapatan. Dengan kondisi ekonominya saat ini, Komang tidak mau enggan berkhayal terlalu tinggi bisa memiliki rumah impian di Denpasar. Ia tidak mau terlalu berambisi, sehingga saat ini ia hidup dengan prinsip menjalani kehidupan semampunya.

Minimal gaji Rp 10 juta, di halaman selanjutnya

Setali tiga uang dengan Zumaroh (35), istri dari pedagang tahu keliling yang tinggal di rumah kos di Jalan Jaya Giri V, Renon, Denpasar. Mahalnya biaya hidup dengan terbatasnya pendapatan, membuat Zumaroh tak bisa membayangkan kapan ia mampu membeli rumah di Pulau Seribu Pura itu.

"Saya belum pernah cek harga rumah di Denpasar (dan) Badung. Soalnya saya aja nggak punya (uang) kok, ngapain saya ngecek harga rumah," kata perempuan asal Lamongan, Jawa Timur, sembari menghela napas.

Zumaroh dan sang suami, Ahmad Yasin, hanya mengantongi pendapatan bersih dari hasil berjualan tahu Rp 50-100 ribu per hari. Bahkan, terkadang tidak sama sekali karena banyak yang berutang tahu kepadanya.

Kondisi tersebut membuat keluarga Zumaroh yang tinggal di Bali sejak 2009 ini hanya mampu menyewa kamar kos dengan harga Rp 800 ribu per bulan dengan ukuran 2x3 meter. Satu kamar disewa untuk tiga orang, yakni Zumaroh, suami, dan anaknya yang berusia 5 tahun. Sedangkan satu anak lainnya tinggal di Jawa.

Data Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman Provinsi Bali menyebutkan pada 2023, backlog (kekurangan pasokan rumah) di Pulau Dewata mencapai 32.397 unit. Adapun untuk rumah tak layak huni (RTLH) di Pulau Dewata mencapai 54.570 unit.

Pengamat ekonomi dari Universitas Udayana, I Gede Nandya Oktora Panasea, mengatakan terlihat kesenjangan antara pertumbuhan kenaikan harga properti dengan pertumbuhan penghasilan upah minimum provinsi (UMP) di Bali.

Menurut Nandya, pertumbuhan penghasilan masyarakat naik dari 10 hingga 15 persen. Sementara itu, pertumbuhan kenaikan harga properti mulai dari 20 hingga 50 persen per tahunnya.

Mengacu dari marketplace properti, Nandya melanjutkan, rata-rata harga rumah bekas berada di kisaran Rp 400 - Rp 500 juta. Untuk membeli hunian tersebut, idealnya melakukan pembayaran uang muka sebanyak 10-15 persen atau sekitar Rp 10 juta-Rp 15 juta.

Setelah membayar uang muka, maka cicilan selanjutnya yang dibayarkan bisa sebesar Rp 5 juta per bulan selama 15 tahun hingga 20 tahun.
"Berarti minimal gajinya Rp 10 juta-Rp 11 juta untuk bisa approach cicilan tersebut," jelas Nandya.

Impian masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti Komang dan Zumaroh memiliki rumah di Pulau Dewata makin jauh dari kenyataan. Sebab, upah minimum kabupaten/kota (UMK) Denpasar pada tahun ini sebesar Rp 3,096 juta atau naik 102.177 (3,4 persen) dibandingkan UMK tahun lalu.

Artikel ini ditulis oleh Ni Wayan Santi Ariani, Zheerlin Larantika Djati Kusuma, dan Rusmasiela Mewipana Presilla peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Pengumuman! Syarat Gaji MBR Penerima Rumah Subsidi Jadi Rp 13 Juta"
[Gambas:Video 20detik]
(nor/hsa)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikbali

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads