Rumah berdinding batako tanpa acian semen berpadu dengan asbes tanpa plafon. Griya berkelir biru muda itu berimpitan antartetangga di kanan dan kiri di Jalan Jalan Merpati Nomor 9X, Monang-Maning, Denpasar, Bali, itu.
Rumah yang dihuni Sumarsini itu tampak gelap meski siang hari. Tak banyak cahaya matahari bisa masuk menerangi tiap sudut ruangan.
Sumarsini menuturkan bisa tinggal di rumah itu karena meneruskan sewa dari temannya. "Dulu saya over (kontrak) punya teman seharga Rp 25 juta," tuturnya kepada detikBali, Selasa (11/6/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Pupus Asa Miliki Hunian di Denpasar |
Isu kepemilikan rumah kembali mencuat setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera pada 20 Mei 2024. Melalui regulasi anyar tersebut pemerintah mewajibkan semua pekerja dari pegawai negeri sipil (PNS), karyawan swasta, pekerja mandiri, hingga tenaga kerja asing membayar iuran Tapera -2,5 persen dari upah pekerja dan 0,5 persen dibayarkan oleh pemberi kerja.
Data Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman Provinsi Bali menyebutkan pada 2023, backlog (kekurangan pasokan rumah) di Pulau Dewata mencapai 32.397 unit. Adapun untuk rumah tak layak huni (RTLH) di Pulau Dewata mencapai 54.570 unit.
Menurut Sumarsini, meski rumah itu semipermanen dan tak terlalu bagus, hunian tersebut cukup lega untuk ditinggali bersama empat anggota keluarga. Pemilik usaha katering skala mikro itu berpendapat tinggal di sana lebih baik dibandingkan harus berimpitan di kamar kos layaknya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) lainnya di Denpasar.
Perbedaan lainnya, rumah yang ditinggali Sumarsini itu berdiri di atas tanah sewa seluas 100 meter persegi itu. Menyewa tanah lalu mendirikan rumah merupakan hal yang jamak di Pulau Dewata.
![]() |
Sumarsini menerangkan sekitar 10 tahun lalu, selain mengeluarkan biaya over kontrak, ia merogoh kocek untuk merenovasi rumah itu sebesar Rp 3 juta. "Zaman dulu kan masih murah," imbuh perempuan asal Banyuwangi yang sudah 32 tahun tinggal di Bali itu.
Sumarsini menjelaskan biaya sewa tanah mencapai Rp 3,5 juta per tahun. Pemilik tanah meminta ia membayar per lima tahun.
Menurut Sumarsini, menyewa tanah merupakan salah satu opsi di tengah tak terjangkaunya harga rumah. Dia juga belum ada rencana pindah karena lingkungan hunian tersebut aman dan nyaman untuk ditinggali.
"Kalau masa sewanya habis ya Insyaallah saya perpanjang," ungkap Sumarsini. Perempuan berusia 53 tahun itu tak terpikir untuk kembali ke kampung halamannya di Banyuwangi karena di sana sulit mendapatkan uang.
Bagaimana kisah pengontrak tanah lainnya di Denpasar? Baca selengkapnya di halaman selanjutnya
Zulaikah segendang sepenarian. Penjahit sekaligus pemilik usaha garmen itu juga memilih mengontrak tanah di Monang-Maning, Denpasar.
Sudah lebih dari 20 tahun Zulaikah menyewa tanah seluas 150 meter persegi di sana. Mulanya, biaya kontrak tanah sebesar Rp 9 juta untuk lima tahun. Harganya lalu naik menjadi Rp 18 juta dan kini menjadi menjadi Rp 30 juta per lima tahun.
Zulaikah menuturkan pemilik tanah tidak menyebutkan alasan pasti kenaikan harga sewa tanah tersebut. Namun, perempuan asal Banyuwangi tersebut hanya bisa pasrah karena telanjur mendirikan rumah di tanah tersebut dengan dana sendiri.
"Ya walaupun jelek-jelek gini, dulu (bangun rumah) tahun 2007 itu habis Rp 60 juta, jika dihitung biaya sekarang bisa dua kali lipat," kenang Zulaikah.
Baca juga: Kala WNA Lebih Mudah Beli Rumah di Bali |
Sebagai penyewa tanah, Zulaikah juga bertanggung jawab membayar pajak tanah dan bangunan yang ia tempati. Besarannya sekitar Rp 350 ribu per tahun.
Rumah Zulaikah memiliki empat ruangan. Dua di antaranya digunakan untuk kamar yang terletak pada bagian dalam.
Kemudian, sisanya digunakan sebagai ruangan untuk tukang jahit, tempat menjahit, dan gudang. Sementara, ruang depan digunakan sebagai tempat meletakkan kain-kain jahitan dengan meja tua berukuran cukup besar sebagai alas memotong kain.
Zulaikah memilih menyewa tanah sebagai alternatif agar bisa tinggal di Denpasar dengan biaya miring. Menurut dia, menyewa tanah jauh lebih murah dibandingkan dengan membeli tanah atau menyewa rumah kos.
Namun, bukan berarti pilihan tersebut tanpa risiko. Zulaikah harus siap dengan kemungkinan terburuk yakni harus pindah sewaktu-waktu jika tuan tanah tak lagi menyewakan tanahnya.
"Rumahnya disuruh bongkar, kalau mau jual ya boleh asal bilang dulu sama tuan tanah," papar Zulaikah seandainya tuan tanah tak memperpanjang sewa tanah.
Artikel ini ditulis oleh Ni Wayan Santi Ariani, Rusmasiela MP, Zheerlin Larantika Djati Kusuma peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.

Koleksi Pilihan
Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikbali