Cerita Made Sugianto, Perbekel yang Terjun ke Sastra Bali Modern

Cerita Made Sugianto, Perbekel yang Terjun ke Sastra Bali Modern

Chairul Amri Simabur - detikBali
Selasa, 07 Mar 2023 21:30 WIB
Sastrawan Bali I Made Sugianto di rumahnya, Tabanan, Bali, Sabtu (11/2/2023). Sugianto meraih dua kali Anugerah Rancage pada 2012 dan 2013.
Sastrawan Bali I Made Sugianto di rumahnya, Tabanan, Bali, Sabtu (11/2/2023). Sugianto meraih dua kali Anugerah Rancage pada 2012 dan 2013. (Foto: Chairul Amri Simabur/detikBali)
Tabanan -

I Made Sugianto adalah salah satu pendekar sastra Bali modern yang sudah 14 tahun menulis dalam bahasa Bali. Sastrawan asal Tabanan itu telah menerbitkan puluhan karya sastra berbahasa Bali berupa cerita pendek (cerpen) dan novel.

Perjalanan kreatif sebagai penulis dilalui sembari menjalani profesinya sebagai jurnalis salah satu media cetak di Bali. Kini, Sugianto kembali ke desa dan menjalankan tugas sebagai Perbekel atau Kepala Desa Kukuh, Tabanan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya mulai terjun ke sastra Bali modern sejak 2009," tutur Sugianto saat dijumpai di rumahnya, Banjar Lodalang, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Sabtu (11/2/2023).

Sugianto menggeluti sastra Bali modern berkat perjumpaannya dengan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang -- sastrawan Bali yang dikenal dengan karya-karyanya berupa puisi modre bernuansa mistis khas Bali. Ketika itu, Sugianto menuturkan niatnya untuk menerbitkan karya-karya Samar Gantang.

Dua hari setelah perjumpaan itu, Sugianto mendapatkan materi mentah dalam bentuk tulisan tangan dan berupa klipingan dari Samar Gantang. Materi cerpen dari Samar Gantang kemudian ia salin dan ketik ulang, lalu dirangkum ke dalam satu buku berjudul Jangkrik Maenci.

"Dalam proses menyalin tulisan tangan dan klipingan, mengetik ulang, di situ saya secara tidak langsung belajar membuat cerpen," kenang Sugianto.

Cerpen pertama Sugianto berjudul Sentana. Semula, tulisan itu hendak ia kirimkan ke majalah Satua -- majalah budaya asuhan sastrawan Bali, Nyoman Manda.

"Tapi saya urungkan. Kemudian saya ganti dengan cerpen berjudul Kursi. Karena momen saat itu mau menjelang pemilu. Nantinya cerpen Sentana itu justru saya kembangkan menjadi dua novel, judulnya Sentana dan Sentana Cucu Marep," ujarnya.

Rupanya, cerpen berjudul Kursi yang ia kirimkan dimuat di majalah Satua. Hal itu kian memacu semangat Sugianto untuk terus menulis. Belakangan, tulisan-tulisannya yang lain juga dimuat di sejumlah media cetak.

"Selain itu, saya juga terdorong untuk bisa menulis. Proses belajar saya itu dari menyalin tersebut," tutur Sugianto.

Pilihan Sugianto untuk fokus di jalur sastra Bali modern juga ditunjang iklim kreatif saat itu. Terlebih, jumlah penulis muda sastra Bali modern masih minim.

"Saya dapat momen ketika memulai berkarya. Ditambah lagi ada yang memberi semangat. Dari sana saya juga mulai membangun semangat anak-anak muda lainnya," imbuh Sugianto.

Jerih payah Sugianto mengembangkan sastra Bali modern mengantarnya meraih Hadiah Sastra Rancage dua kali berturut-turut. Penghargaan dari Yayasan Kebudayaan Rancage yang diprakarsasi sastrawan Ajip Rosidi itu diperoleh Sugianto pada 2012 dan 2013.

"Hadiah sastra ini pastinya tambah memotivasi saya," kata Sugianto.

Kembangkan Penerbitan

Setelah dua tahun fokus menulis sastra Bali modern, Sugianto berhasrat melecut semangat penulis-penulis muda lainnya. Sugianto kemudian mendirikan percetakan dengan harapan penulis muda yang bergerak di jalur sastra Bali modern membukukan karyanya.

"Sewaktu belajar menulis saya terpikirkan untuk membuat penerbitan," ungkapnya.

Di awal, Sugianto sama sekali tidak membayangkan biaya yang harus dikeluarkan untuk mencetak buku. Terlebih saat proses awal mencetak buku, ia memproduksinya hanya dengan bermodalkan mesin printer, fotokopi, dan penjilidan.

"Rupanya buku sederhana itu mendapatkan respons. Ada yang tertarik. Kemudian saya pergi ke Denpasar. Cari tukang sampul agar lebih lux. Pada 2010 saya buat kumpulan cerpen yang judulnya Bikul dan Preman. Cetaknya juga sedikit tergantung pesanan. Kalau ada yang pesan lima saya buatkan," kenangnya.

Baru pada 2011, Sugianto mulai serius memperlebar perjalanannya di sastra Bali modern dengan membentuk penerbitan. Kebetulan sebelumnya, ia sudah mengasuh majalah anak muda bernama Ekspresi.

"Pada 2010, majalah itu berakhir. Saya ambil kata Ekspresi-nya. Di depannya saya tambahkan kata Pustaka. Dari situ saya baru berpikir ongkos cetak. Itupun masih rugi karena saya tidak menghitung ongkos kirim. Rugi tapi senang," jelasnya.

Sembari menerbitkan buku-buku karya pribadinya, ia juga menerbitkan karya-karya penulis lainnya. Sejauh ini, Sugianto telah membuat empat kumpulan cerpen dan lima novel.

"Saya kebanyakan menulis tentang tema-tema sosial. Ada satu cerpen saya judulnya Uyak Anten. Itu mengkritisi tren pernikahan yang sampai menimbulkan kemacetan. Ada juga pengalaman saya sebagai perbekel dan bertemu presiden," tukasnya.




(iws/gsp)

Hide Ads