Menanggung Beban Berat, Korban Bom Bali I Ingin Disuntik Mati Bareng Anak

Menanggung Beban Berat, Korban Bom Bali I Ingin Disuntik Mati Bareng Anak

Aprilia Devi - detikBali
Sabtu, 11 Jan 2025 20:42 WIB
Kiriman TikTok Chusnul Chotimah, Penyintas Bom Bali I saat menagih utang hingga ke Purwakarta demi obati anaknya.
Foto: Kiriman TikTok Chusnul Chotimah, Penyintas Bom Bali I saat menagih utang hingga ke Purwakarta demi obati anaknya. (tangkapan layar)
Bali -

Chusnul Chotimah (54) ingin dirinya disuntik mati bersama anaknya, MF (18). Dia merasa beban yang ditanggungnya terlalu berat. Chusnul merupakan penyintas atau korban selamat Bom Bali I. Namun, hingga kini luka akibat ledakan yang dideritanya belum sembuh. Sementara, anaknya mengidap penyakit kronis.

"Sampai nggak kuat rasanya. Saya ingin buat surat, minta suntik mati ke negara untuk saya dan anak saya. Sebab saya juga nggak tega lihat anak saya sakit terus seperti ini," kata Chusnul dengan mata berkaca-kaca saat ditemui detikJatim di rumah kontrakannya di Sidoarjo, Rabu (8/1/2025).

Peristiwa kelam Bom Bali I di Jalan Legian, Kuta, Bali, pada 2002 tak akan pernah dilupakan Chusnul. Dia menjadi salah satu korban ledakan bom mobil yang membuat sekujur tubuhnya mengalami luka bakar hingga terkena serpihan logam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hingga saat ini dia masih menanggung luka yang belum sembuh dan perlu menjalani kontrol ke dokter. Beban itu bertambah karena MF, anak bungsunya, mengalami sakit kronis yang tidak bisa disembuhkan.

Putranya itu didiagnosis menderita penyakit Von Willebrand. Penyakit itu membuat putranya selamanya akan menderita karena darahnya sulit membeku saat terjadi pendarahan.

ADVERTISEMENT

"Anak saya memang sakit-sakit sejak lama. Sudah berobat ke banyak tempat akhirnya diketahui tanggal 23 November 2022, penyakitnya von Willebrand," ujar Chusnul.

Satu-satunya terapi yang bisa ditempuh agar anaknya bisa menjalani hidup lebih baik adalah dengan kemoterapi. Namun untuk sekali pengobatan biayanya sangat mahal, mencapai Rp 14 juta. Padahal dia sendiri kesulitan ekonomi.

Sehari-hari ibu dari tiga anak itu berdagang sayur dan sembako sambil bekerja serabutan. Jika dihitung-hitung, penghasilannya hanya berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per hari.

Untuk membiayai pengobatan anaknya, dia sempat menjual barang-barangnya hingga habis dan menguras seluruh tabungannya. Untuk kemoterapi ketiga yang akan dijalani anaknya pada 13 Januari nanti, dia mengaku bingung harus membayar dengan apa.

Chusnul menyatakan kondisi ekonominya tidak akan sesulit hari ini bila VN (54), rekannya sesama korban teror bom, mengembalikan uang yang dipinjam darinya senilai Rp 77,5 juta. Uang itu adalah uang kompensasi korban Bom Bali yang didapatkan Chusnul pada 2022 dan sempat ditabung untuk anaknya.

Dia telah pontang-panting mencoba berbagai cara menagih utang dari VN, tapi dengan segala cara pula rekannya yang pernah bersama-sama menyuarakan keadilan untuk korban bom di Yayasan Keluarga Penyintas (YPK) itu mengumbar janji hingga berkelit.

Chusnul sempat mengajukan gugatan ke pengadilan karena merasa memiliki bukti perjanjian di atas meterai dengan VN soal utang tersebut tapi ditolak. Usahanya menagih baik melalui telepon maupun secara langsung sejak 4 tahun silam juga tidak membuahkan hasil.

Baru-baru ini, Chusnul membulatkan tekad menagih utang itu ke rumah VN di Purwakarta, Jawa Barat. Dia tempuh perjalanan naik motor mengajak serta putranya yang mengidap sakit kronis demi mengetuk hati temannya itu.

Perjalanannya sejauh 700 km dengan bekal seadanya itu tetap sia-sia. VN yang sempat berjanji mengembalikan uang itu dalam tempo 1 bulan setelah peminjaman pada 2021 lalu tetap enggan membayar.

"Saya bingung negara ini kok kayak gini. Karena saya orang miskin jadi yang lain menang terus," katanya.

Artikel ini sudah tayang di detikJatim, baca selengkapnya di sini




(hsa/hsa)

Hide Ads