10 Khotbah Idul Fitri, Bisa Dijadikan Referensi Bagi Penceramah

10 Khotbah Idul Fitri, Bisa Dijadikan Referensi Bagi Penceramah

Ni Wayan Santi Ariani - detikBali
Jumat, 05 Apr 2024 19:30 WIB
Pemerintah Arab Saudi mengumumkan Lebaran Idul Fitri pada Jumat 21 April 2023. Umat muslim pun melaksanakan salat Idul Fitri di Masjidil Haram hari ini.
Ilustrasi salat Idul Fitri di Mekkah. Foto: AFP via Getty Images/ABDEL GHANI BASHIR
Denpasar -

Khotbah berasal dari bahasa Arab yang dalam istilah fiqh bermakna sebuah ucapan yang mengandung nasihat (wa'zhun) dan penjelasannya secara khusus. Adapun khotbah biasanya merupakan ucapan yang bukan berupa syair (al-kalam al-mantsur) yang disampaikan kepada sekumpulan orang dengan tujuan untuk memuaskan hatinya.

Adapun isi atau topik khotbah sendiri berbeda-beda, hal tersebut menyesuaikan dengan tema dari acara yang dihadiri atau tujuan pemberian khotbah. Seperti halnya khotbah yang bertemakan Hari Raya Idul Fitri maka isinya akan seputar Idul Fitri.

Lantas apa saja contoh-contoh khotbah Idul Fitri? Berikut 10 referensi khotbah Idul Fitri yang dapat Anda jadikan referensi dan pengetahuan baru terkait ajaran agama yang dilansir dari laman NU Online.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Khotbah Idul Fitri: Memaknai Hari Kemenangan yang Sesungguhnya


اللَّه أَكْبَرُ ٣×. اللَّه أَكْبَرُ ٣×. أَكْبَرُاللهُ أ٣×. اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ. وَاللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ


اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ اْلعَظِيْمُ اْلاَكْبَرْ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ فِي الْمَحْشَرْ. نَبِيٌّ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ أَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرْ أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ الكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ. يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ، وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

ADVERTISEMENT


اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ


Ma'asyiral muslimin wal muslimat, jama'ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah


Alhamdulillah, pada hari ini kita telah merampungkan ibadah rukun Islam yang keempat, yaitu satu bulan berpuasa berikut rangkaian ibadah-ibadah sunah di dalamnya. Lalu, setelah kita meraih momen kemenangan ini, apa yang harus kita perbuat? Apakah berbangga diri dengan pencapaian spiritual yang telah dicapai? Atau merayakannya dengan penuh suka cita? Atau apa?


Idul Fitri bukan seperti turnamen sepak bola atau kompetisi lomba yang kemenangannya harus dirayakan dengan euforia dan penuh kebanggaan. Kemenangan Idul Fitri adalah ketika kita berhasil meraih kematangan spiritual dan sosial setelah satu bulan penuh digembleng dan dididik di madrasah Ramadhan.


Secara spiritual, selama Ramadhan umat Muslim telah melakukan serangkaian ibadah. Mulai dari puasanya sendiri maupun ibadah-ibadah sunnah di dalamnya seperti shalat tarawih, tadarus Al-Qur'an, beri'tikaf di masjid, dan sebagainya. Sudah seharusnya jika melalui bulan suci ini dengan maksimal dan melaksanakan beragam amalan di dalamnya, kita akan merasakan sentuhan dan pencapaian spiritual setelah bulan suci ini berlalu. Terkait puasanya sendiri, Allah swt menegaskan:


يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَ


Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS Al-Baqarah: 183).


Coba kita cermati ayat ini. Allah swt menyampaikan bahwa tujuan melaksanakan puasa adalah untuk melahirkan hamba-hamba yang taqwa, yaitu orang yang mematuhi segala bentuk perintah agama dan menjauhi semua larangannya. Itu baru dengan puasanya saja, bagaimana jika kita mengamalkan beragam ibadah sunnah di dalamnya? Tentu kita akan menyentuh titik kematangan spiritual yang matang. Inilah yang dimaksud dengan sebuah pencapaian spiritual.


اللهُ أَكْبَرُ ٣×، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ


Ma'asyiral muslimin wal muslimat, jama'ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah


Lalu, apakah jika kita sudah melakukan banyak ibadah selama Ramadhan sudah selesai begitu saja? Tidak, kita harus menanamkan prinsip khauf dan rajā'. Khauf adalah kekhawatiran apakah ibadah kita diterima oleh Allah swt atau tidak, sehingga kita tidak terlalu puas dan berbangga diri dengan pencapaian ibadah yang telah dilakukan. Sementara rajā' adalah sikap optimisme bahwa Allah dengan sifat kasih sayang-Nya pasti mau menerima amal ibadah yang kita lakukan.


Saat Ramadhan berlalu, kita pun harus menerapkan dua sikap ini secara proporsional atau berimbang. Orang yang ibadahnya tidak didasari sifat khauf akan terlalu percaya diri dengan ibadah yang telah dilakukannya sehingga dikhawatirkan merasa cukup dengan amal yang telah dilakukan. Sementara sifat rajā' diperlukan agar kita tidak putus asa kepada Allah swt. Sifat raja' ini dilakukan dengan rasa optimis bahwa Allah menerima ibadah yang telah kita perbuat. Sebab, Allah sesuai perasangka hamba-Nya.


Imam Al-Ghazali dalam Iḥya' 'Ulūmiddīn menyampaikan:


أَنْ يَكُوْنَ قَلْبُهُ بَعْدَ الإِفْطَارِ مُعَلَّقاً مُضْطَرِبًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ إِذْ لَيْسَ يَدْرِي أَيُقْبَلُ صَوْمُهُ فَهُوَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ أَوْ يُرَدُّ عَلَيْهِ فَهُوَ مِنَ الْمَمْقُوتِينَ وَلْيَكُنْ كَذَلِكَ فِي آخِرِ كُلِّ عِبَادَةٍ يَفْرَغُ


Artinya, "Setiap selesai berbuka puasa, seyogyanya kita merasa khawatir sekaligus menaruh harap kepada Allah. Khawatir jangan-jangan ibadah kita tidak diterima, juga berharap bahwa Allah menerimanya. Sebab, kita tidak tahu apakah puasa kita diterima sehingga termasuk hamba yang dekat di sisi Allah, atau sebaliknya ditolak sehingga kita termasuk hamba yang mendapat murka-Nya. Sikap seperti ini harus diterapkan setiap selesai melakukan ibadah apapun." (Al-Ghazali, Ihya 'Ulumiddin, [2016], juz I, halaman 319).


Imam Al-Ghazali berpesan agar setiap selesai berbuka puasa kita menerapkan sikap khauf dan rajā' terhadap puasa yang sudah kita laksanakan. Untuk satu ibadah berupa puasa saja perlu ditanamkan prinsip ini apalagi setelah selesai selesai satu bulan dengan segala amalan sunah di dalamnya.


Bayangkan, orang yang sudah beribadah maksimal saja tidak boleh berbangga diri dan terlalu percaya diri dengan amalnya, apalagi mereka yang ibadahnya biasa-biasa saja.


اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ


Ma'asyiral muslimin wal muslimat, jama'ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah


Puasa tidak saja ibadah yang memiliki spiritual, tetapi juga ritual keagamaan yang mendidik kepekaan sosial pengamalnya. Saat kita berpuasa, sebagaimana ditegaskan Syekh 'Izzuddin bin 'Abdissalam, sejatinya kita sedang digembleng agar memiliki rasa empati tinggi. Sebab, orang yang berpuasa akan merasakan betapa payahnya menahan lapar dan haus selama kurang lebih tiga belas jam dalam kurun waktu satu bulan.


Dengan pengalaman demikian kita akan sadar bahwa seperti inilah nasib saudara-saudara kita yang hidupnya berkekurangan yang untuk mencari sesuap nasi saja harus memeras keringat di bawah sengatan terik matahari. Barangkali lapar dan haus kita akan berakhir di waktu magrib, tetapi saudara kita yang hidup dengan ekonomi sangat rendah boleh jadi merasakan lapar sepanjang hayat masih dikandung badan, bahkan untuk makan esok harinya saja masih bingung harus mencari kemana lagi.


Saat Idul Fitri sudah tiba, sudah seharusnya kita mencapai titik empati sedemikian rupa karena sudah melalui hari-hari berpuasa selama satu bulan. Namun sayang, kadang kita sendiri justru terlalu larut dalam kegembiraan yang kita sebut sebagai 'hari kemenangan'. Berasyik-ria menerima THR, memakai baju baru, menikmati hidangan spesial Idul Fitri, berkumpul dengan sanak saudara yang masih utuh, dan sejumlah momen keceriaan lainnya.


Namun, kita lupa bahwa di hari kemenangan ini boleh jadi masih ada saudara yang jangankan menerima THR, pekerjaan dengan gaji tetap saja tidak punya. Jangankan menikmati hidangan ketupat dan sedap opor ayam, untuk makan sehari-hari saja masih harus mengetuk pintu dari satu tetangga ke tetangga yang lain. Juga mereka yang sudah tidak memiliki keluarga karena tertimpa bencana, umpamanya. Jangankan berkumpul dengan keluarga lengkap, sosok ibu dan ayahnya saja telah tiada.


Mari kita renungi kembali pada momen suci ini. Sudahkah kita merasakan hari kemenangan dengan meraih nilai-nilai kemenangan yang seharusnya? Kemenangan yang bukan karena kita telah finish melewati jalan terjal Ramadhan, tetapi kemenangan sesungguhnya yang tidak saja berupa kematangan spiritual, melainkan juga pencapaian kepekaan sosial yang seharusnya diraih.


اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ


Ma'asyiral muslimin wal muslimat, jama'ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah


Puasa sendiri sejatinya representasi dari sejumlah ibadah yang ada. Sebab, sebagaimana puasa, ibadah-ibadah lain juga memiliki semangat spiritual dan sosial yang harus kita raih kedua-duanya. Sibuk mencari pencapaian spiritual saja tapi mengabaikan aspek sosialnya hanya akan membuat kita buta terhadap lingkungan kita hidup. Sebaliknya, terlalu sibuk dengan aspek sosial tapi mengabaikan sisi ritualnya hanya akan membuat kita jauh dari Allah swt. Dalam satu hadits diriwayatkan:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فُلَانَةُ تَصُومُ النهار ، وتقوم اللَّيْلَ ، وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا . قَالَ : هِيَ فِي النَّارِ . قَالُوا : فُلَانَةُ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَاتِ ، وَتَصَدَّقُ بِالْأَثْوَارِ مِنَ الْأَقِطِ ، وَلَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا ؟ قَالَ : هِيَ فِي الْجَنَّةِ


Artinya, "Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, 'Sekalompok sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah, ada seorang perempuan ahli puasa dan ahli ibadah malam, tapi dia masih suka menyakiti tetangganya. Bagaimana pendapatmu?' Rasul menjawab, 'Dia akan masuk neraka.' Mereka bertanya lagi, 'Ada pula seorang perempuan yang hanya menunaikan shalat lima waktu, bersedekah dengan sepotong keju, dan tidak menyakiti tetangganya. Bagaimana pendapatmu?' Rasul menjawab, 'Dia akan masuk surga.'" (HR Al-Hakim).


Dari hadits ini dapat dipahami bahwa shalat yang merupakan tiang agama saja tidak menjamin kita masuk surga jika kita masih berbuat buruk kepada sesama manusia. Demikianlah khotbah Idul Fitri yang khatib sampaikan. Semoga di momen kemenangan ini membuat kita merasakan kemenangan yang hakiki. Kemenangan yang tidak saja menandai kita telah merampungkan satu bulan berpuasa, tetapi juga telah mencapai kematangan spiritual dan sosial yang sesungguhnya.


تقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ عِيْدِنَا، وَأَعِدْهُ عَلَينَا أَعْوَامًا عَدِيْدَةً أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءً فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنًا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ

2. Khotbah Idul Fitri: Mudik Ke Surga


اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَ لِلّٰهِ الْحَمْدُ


الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ جَعَلَ لِلصَّائِمِيْنَ يَوْمَ عِيْدِ الْفِطْرِ مَغْفُوْراً عَنِ الذُّنُوْبِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الَّذِيْ رَحْمَتُهُ الْمَطْلُوْبُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْعَجَمِ وَالْعُرْبِ. أَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الشَّافِعِ فِي الْيَوْمِ الْمَوْعُوْدِ, وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْوَدُوْدِ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَمَّا بَعْدُ ad فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْ مَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى اللهُ عَنْهُ وَحَذَّرَ


Jamaah yang dimuliakan Allah swt,


Marilah kita panjatkan puji dan syukur kita kepada Allah swt yang telah memberikan kita nikmat iman, Islam, dan sehat wal afiat sehingga kita dapat melaksanakan shalat Idul Fitri pada pagi hari ini.


Shalawat dan salam, mari kita haturkan kepada Nabi Muhammad saw, juga kepada keluarganya, dan sahabatnya. Semoga, kita semua selaku umatnya mendapatkan berkah dan syafaatnya.


Tak lupa, khatib mengajak jamaah sekalian untuk dapat meningkatkan takwa kita semua kepada Allah swt. Sebab, hanya ketakwaanlah yang menjadi jaminan kita di sisi Allah swt. Ketakwaan kita juga yang menjadi kunci untuk memuluskan kita agar mendapat Rahmat-Nya sehingga kita bisa masuk ke dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan.


Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah swt,


Idul Fitri yang kita rayakan hari ini sejatinya merupakan momentum yang sangat tepat bagi kita untuk dapat kembali ke jalur yang benar untuk mudik ke tempat tinggal kita sesungguhnya, yaitu surga. Sebagaimana diketahui bersama, pada mulanya, manusia kali pertama diciptakan tinggal di surga, yaitu Nabi Adam as. Kemudian, Nabi Adam diturunkan ke bumi sampai lahir kita saat ini. Turunnya manusia ke muka bumi itu dijadikan oleh Allah swt sebagai khalifah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 30 berikut.


وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ


Artinya, "(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."


Jamaah shalat Idul Fitri yang berbahagia,
Apa itu yang dimaksud khalifah? Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan, bahwa khalifah yang dimaksud adalah manusia merupakan pengganti Allah swt di muka bumi untuk berlaku adil terhadap makhluk-makhluk ciptaan Allah swt yang lainnya. Mengutip Muhammad bin Ishaq, Imam Ibnu Katsir mengungkapkan makna lain dari khalifah, yaitu orang yang tinggal dan memakmurkan bumi.


Namun, ketika Allah swt menciptakan sosok manusia yang dijadikan sebagai khalifah, malaikat tidak ada yang percaya. Menurut mereka, nantinya makhluk yang diciptakan ini justru merusak dan menumpahkan darah. Dalam kitab Tafsir Jalalain, disebutkan bahwa merusak yang dimaksud adalah dengan melakukan berbagai maksiat. Lebih terang, Imam al-Shawi menegaskan bahwa merusak yang dimaksud adalah dengan keputusan kekuatan syahwat, sedangkan menumpahkan darah merupakan ekspresi dari keputusan kekuatan amarahnya.


Mendengar protes malaikat itu, Allah swt menegaskan bahwa Dia lebih mengetahui atas keputusan-Nya itu. Dijelaskan lebih lanjut oleh Imam al-Shawi, bahwa ada satu potensi manusia yang tidak dilihat malaikat, yaitu keputusan akalnya yang melahirkan keutamaan dan kesempurnaan. Imam Jalaluddin al-Suyuthi menambahkan bahwa hal yang tidak diketahui malaikat itu adalah kemaslahatan yang dilahirkan dari Nabi Adam.


Jamaah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah swt,
Oleh karena itu, kita sebagai anak cucunya, harus dapat menjadi khalifah dari Nabi Adam, penggantinya yang meneruskan dan menjaga bumi sebagai langkah untuk mudik kembali ke surga, tempat kita berpulang. Sebab, hanya orang-orang yang dapat menjaga nafsunya yang dapat kembali mudik ke tempat asalnya, dalam hal ini surga. Yaitu orang yang tidak merusak bumi, baik secara lahir dengan membuang sampah sembarangan, menebang pohon seenaknya, dan lainnya, ataupun dengan perilaku maksiat. Juga orang yang tidak menumpahkan darah, baik secara lahir dengan seenaknya menumpahkan darah orang lain, ataupun secara yang lebih sederhana, yaitu mudah mengeluarkan amarahnya.


Allah swt dalam Al-Qur'an surat Al-Fajr ayat 27-30 telah menegaskan siapa yang dipersilahkan untuk memasuki surga-Nya.


يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةًۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْࣖ


Artinya, "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai. Lalu, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku!"


Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan jiwa yang tenang? Siapa pemilik jiwa yang tenang? Lalu, siapa hamba-hamba-Ku yang dimaksud pada ayat tersebut? Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Tafsir Jalalain menegaskan bahwa pemilik jiwa yang tenang ialah orang yang beriman. Diperjelas dalam kitab Hasyiyah al-Shawi, bahwa jiwa yang tenang itu bukan saja orang yang beriman, melainkan ada juga yang menyebutnya orang yang rida atas ketetapan Allah swt ataupun orang yang selalu menenangkan jiwanya dengan berdzikir atau menyebut asma-Nya.


Rasulullah saw bersabda


ذِكْرُ اللّٰهِ عَلَمُ الْإِيْمَانِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ وَحِصْنٌ مِنَ الشِّيْطَانِ وَحِرْزٌ مِنَ النِّيْرَانِ


Artinya, "Dzikir kepada Allah merupakan tanda iman, pembebas dari kemunafikan, benteng dari setan, dan penjaga dari neraka."


Adapun yang dimaksud dari hamba-hamba-Ku yang disebut akan membersamai orang berjiwa tenang adalah orang-orang saleh, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Tafsir Jalalain dan Tafsir Marah Labid.


Oleh karena itu, jemaah shalat Idul Fitri sekalian, mari kita memperbanyak dzikir, mengurangi maksiat, meminimalkan perilaku merusak bumi, dan membatasi amarah kita. Itulah sesungguhnya pelajaran yang harus diterapkan kita selepas menuntaskan berpuasa penuh di dalam bulan Ramadhan. Dengan begitu, inyaallah, semoga kita semua menjadi bagian dari pemilik jiwa yang tenang, yang dipanggil Allah swt dan dipersilakan untuk memasuki surga-Nya bersama hamba-hamba-Nya yang saleh.


اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ نَفْسًا مُطْمَئِنَّةً ، تُؤْمِنُ بلِقائِكَ ، وتَرْضَى بِقَضَائِكَ ، وتَقْنَعُ بعَطائِكَ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ وَ لِلّٰهِ الْحَمْدُ

3. Khotbah Jumat: Menjemput Lailatul Qadar Dengan Ibadah Secara Optimal


الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ اْلمُبِيْن. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَـمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَادِقُ الْوَعْدِ اْلأَمِيْن. أَمَّا بَعْدُ


فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ


Hadirin pendengar khotbah Jumat yang mulia


Puji dan syukur pada Allah swt yang telah memberikan kita kesempatan dan kesehatan, sehingga bisa melaksanakan shalat Jumat berjamaah. Shalawat dan salam pada Rasulullah saw, yang akan mengantarkan kita pada syafaat kelak. Amin. Mari kita tingkatkan kesadaran dalam bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takw. Kita dianjurkan untuk bertakwa kepada Allah. Pasalnya, hanya takwa dan iman yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat kelak.


Ma'asyiral muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah Di tengah kemuliaan bulan Ramadhan, tersembunyi suatu malam istimewa yang tak tertandingi, yaitu lailatul qadar. Al-Quran melukiskan malam ini sebagai malam yang melebihi 1000 bulan dalam kemuliaannya. Lailatul qadar bagaikan gerbang rahmat dan ampunan Allah yang terbuka lebar, menyapa hamba-hamba yang beriman.


Pada malam ini, langit dihiasi dengan turunnya para malaikat, membawa berkah dan kedamaian bagi bumi. Bagi umat Islam yang beribadah dengan penuh khusyuk, malam ini menjadi momen istimewa untuk meraih pahala yang berlipat ganda. Allah berfirman dalam surat Al-Qadr ayat 1-5: اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ(1) وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ (3) تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ (4) سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ (5) Artinya, "(1) Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada lailatul qadar. (2) Tahukah kamu apakah lailatul qadar itu? (3) Lailatul qadar lebih baik daripada 1000 bulan. (5) Pada malam itu turun para malaikat dan Rūḥ (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. (6) Sejahteralah (malam) itu sampai terbit fajar."


Ma'asyiral muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah Imam Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, jilid 20 halaman 130 menjelaskan, malam itu disebut lailatul qadar karena kemuliaan dan keutamaannya dibandingkan malam-malam lainnya. Di malam ini, Allah swt menurunkan rahmat dan ampunan yang berlimpah. Pun amalan yang dilakukan pada malam lailatul qadar memiliki nilai dan pahala yang tak terhingga. Ibadah yang dilakukan di malam ini nilainya lebih baik daripada 1000 bulan.


وَقِيلَ: إِنَّمَا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِعِظَمِهَا وَقَدْرِهَا وَشَرَفِهَا، مِنْ قَوْلِهِمْ: لِفُلَانٍ قَدْرٌ، أَيْ شَرَفٌ وَمَنْزِلَةٌ. قَالَهُ الزُّهْرِيُّ وَغَيْرُهُ. وَقِيلَ: سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّ لِلطَّاعَاتِ فِيهَا قَدْرًا عَظِيمًا، وَثَوَابًا جَزِيلًا Artinya, "Disebutkan sebagai lailatul qadar karena kemegahan, kemuliaan, dan kehormatannya. Hal ini berdasarkan perkataan orang Arab, "Fulan memiliki qadar," yang berarti memiliki kemuliaan dan kedudukan. Ini dikemukakan oleh Imam Az-Zuhri dan lainnya. Dikatakan pula, disebut lailatul qadar karena ketaatan di dalamnya memiliki kedudukan yang agung dan pahala yang berlimpah. Demikian penjelasan Imam Al-Qurthubi tentang penamaan lailatul qadar dalam kitab Al-Jami' li Ahkamil Qur'an.


Ma'asyiral muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah Namun, kapan tepatnya lailatul qadar datang? Jawabannya adalah itu misteri Tuhan. Al-Quran dan hadits tidak menyebutkan secara gamblang tanggal dan waktunya. Hal ini justru menjadi salah satu keistimewaan lailatul qadar yang mendorong umat Islam untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka di seluruh bulan Ramadhan. Meskipun waktu pastinya tidak diketahui, Rasulullah saw memberikan beberapa petunjuk. Diriwayatkan dalam hadits shahih, lailatul qadar jatuh pada 10 malam terakhir Ramadhan, lebih khusus lagi pada malam-malam ganjil. Rasulullah saw bersabda:


تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَان Artinya, "Carilah lailatul qadar pada tanggal gasal dari 10 terakhir bulan Ramadhan." (HR Al-Bukhari). Ma'asyiral muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah Di 10 hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah saw meningkatkan intensitas ibadah dengan memperbanyak amalan seperti i'tikaf, shalat malam, dan membaca Al-Quran. Beliau tak hanya menjalani sendiri, tapi juga mengajak keluarganya untuk turut merasakan kekhusyukan dan keberkahan waktu mulia ini. Dalam hadits riwayat Al-Bukhari disebutkan:


عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ Artinya, "Dari Aisyah ra, ia berkata: "Ketika Nabi saw memasuki 10 hari terakhir (Ramadhan), beliau mengencangkan ikat pinggangnya (untuk lebih giat beribadah), menghidupkan malamnya (dengan ibadah), dan membangunkan keluarganya (untuk beribadah)." (HR Al-Bukhari).


Ma'asyiral muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah Marilah kita manfaatkan sisa bulan Ramadhan ini dengan sebaik-baiknya. Mengoptimalkan ibadah dan doa agar kita mendapatkan malam lailatul qadar. Semoga Allah swt memberikan kita kesempatan untuk bertemu dengan malam lailatul qadar dan menerima limpahan rahmat dan ampunan-Nya. Amin. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ، فَاعْتَبِرُوْا يَآ أُوْلِى اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

4. Khotbah Idul Fitri: Menjadi Orang yang Takwa Setelah Puasa Sebulan Penuh


اَللهُ أَكْبَرُ (×٩) لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَلله ُأكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ. اَللهُ أَكْبَرُ مَا فَعَلَ الْمُسْلِمُوْنَ فِيْ نَهَارِ رَمَضَانَ بِصِيَامٍ، وَفِيْ لَيْلِهِ بِقِيَامٍ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا ازْدَحَمَ الْمُصَلُّوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ لِصَلَاةِ التَّرَاوِيْحِ بِخُشُوْعٍ وَاهْتِمَامٍ. اَللهُ أَكْبَرُ ×٣. اللهُ أَكْبَرُ مَا سَبَقُوْا فِي الْمَسَاجِدِ لِلسُّجُوْدِ وَالْقُعُوْدِ وَالْقِيَامِ. اَللهُ أَكْبَرُ مَا بَذَلَ الْمُسْلِمُوْنَ إِلَى إِخْوَانِهِمْ بِإِعْطَاءٍ وَمَحَبَّةٍ وَاحْتِرَامٍ. اللهُ أَكْبَرُ ×٣. اللهُ أَكْبَرُ مَا تَكُفُّ الْأَكُفُّ إِلَى اللهِ فِيْ هَذَا الشَّهْرِ بِالدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ لِكَشْفِ الضُّرِّ وَالْآلَمِ، اَللهُ أَكْبَرُ ×٣. وَللهِ الْحَمْدُ. اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْ لَا أَنْ هَدَانَا اللهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرَ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَمَوْلَانَا مُحمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَائِقِ وَالْبَشَرِ. اللّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإِحْسانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ


عِبَادَ اللهِ، اِتَّقُوْا اللهَ وَرَاقِبُوْا مُرَاقَبَةَ مَنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَرَاهُ. وَاعْلَمُوْا أَنَّهُ لَا يَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ وَلَا يُعْطِيْ وَلَا يَمْنَعُ سِوَاهُ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ. وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (الفرقان: ٧١). أَمَّا بَعْدُ


Hadirin jamaah Idul Fitri yang berbahagia


Puasa adalah salah satu amalan penting dalam agama Islam. Di bulan Ramadan, umat Muslim di seluruh dunia mempraktikkan puasa dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri dari fajar hingga terbenam matahari. Namun, tujuan utama dari puasa dalam Islam bukan hanya untuk menahan diri dari kebutuhan fisik, tetapi juga untuk mencapai tujuan spiritual dan moral tertentu, yaitu takwa.


Puasa merupakan salah satu cara untuk mencapai takwa. Dengan menahan diri dari makan dan minum, seseorang dapat mengembangkan kemampuan untuk menahan diri dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kemarahan dan godaan untuk melakukan perbuatan buruk. Ketika seseorang berpuasa, ia dapat mengalami pengalaman fisik yang membuatnya sadar akan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh orang-orang yang kurang beruntung. Hal ini dapat membangkitkan empati dan membantu seseorang untuk lebih menghargai karunia Allah SWT.


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ


Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."


Dari ayat di atas dijelaskan bahwa kewajiban puasa dimaksudkan untuk "agar kamu bertakwa", yakni terhindar dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi. Lantas apa yang dimaksud dengan takwa itu? Pun bagaimana konsep takwa yang sebenarnya? Pun apa itu hakikat takwa?


Hakikat Takwa yang Sebenarnya Takwa adalah salah satu konsep utama dalam Islam yang berhubungan dengan iman dan akhlak.


Dalam Al-Qur'an, taqwa disebutkan sebanyak 251 kali. Salah satu ayat yang menjelaskan makna taqwa adalah dalam surah _ Q.S Al-Baqarah [2]_ ayat 197;


الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ ﴿ ١٩٧


Artinya, "(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat."


Hadirin jamaah Idul Fitri yang berbahagia


Pada sisi lain, makna taqwa adalah kesadaran dan ketakutan seseorang terhadap Allah SWT. Taqwa menuntut seseorang untuk senantiasa memperbaiki diri dan meningkatkan iman serta akhlaknya. Taqwa juga menuntut seseorang untuk menghindari segala bentuk perbuatan dosa dan melakukan segala bentuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah SWT.


Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ash-Shawi dalam Kitab Hasyiyatus Shawi, juz I;


امتثال أمر الله واجتناب نواهيه


Artinya; Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya."


Pada sisi lain, menurut Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami' al-Ulum wal Hikam mendefinisikan takwa sebagai menjaga diri dari kejahatan Allah SWT dan melakukan segala perbuatan yang diridhai oleh-Nya. Taqwa juga mengandung makna takut kepada Allah SWT dan menjaga diri dari segala bentuk godaan dan nafsu yang dapat memperburuk akhlak.


Lebih lanjut, dalam Q.S Ali Imran [3] ayat 102, Allah mengajaka orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa. Pasalnya, takwa menjadi bekal yang sangat penting bagi setiap manusia, terutama bagi yang berimana. Di akhirat kelak, takwa menjadi modal besar seorang muslim untuk mendapatkan pertolongan Allah.


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ


Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim."


Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsir al Jāmi' li Ahkāmi al Qur'ani, bahwa arti takwa dalam ayat tersebut ialah bersikap patuh kepada Allah Swt. Di sisi lain, berdasarkan riwayat dari Imam Bukhari, bersumber dari Murrah, bahwa yang dimaksud dengan "sebenar-benar takwa", taat kepada Allah, tidak melaksanakan maksiat. Pun orang yang takwa senantiasa mengingat Allah, tidak melupakannya. Orang yang takwa juga senantiasa bersyukur atas segala nikmat Allah.


رَوَى الْبُخَارِيُّ «٣» عَنْ مُرَّةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (حَقَّ تُقَاتِهِ أَنْ يُطَاعَ فَلَا يُعْصَى وَأَنْ يُذْكَرَ فَلَا يُنْسَى وَأَنْ يُشْكَرَ فَلَا يُكْفَرَ


Artinya: "bersumber dari Imam Bukhari, dari Murrah dari Abdullah ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, [yang dimaksud dengan sebenar-benar takwa ialah, bahwa taat pada Allah, dan tidak melakukan maksiat, dan bahwa senantiasa mengingat Alllah, tidak melupakannya, dan senantiasa bersyukur, tidak kufur akan nikmat Allah."


Selanjutnya, menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan "takwa dengan sebenar-benarnya", ialah tidak berlaku maksiat kepada Allah kendati sekejap mata sekali pun. Artinya, orang yang takwa tidak akan melakukan kemaksiatan pada Allah. Pun senantiasa melaksanakan segala perintah Allah SWT.


وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: هُوَ أَلَّا يُعْصَى طَرْفَةَ عَيْنٍ


Artinya: "Berkata Ibnu Abbas, takwa ialah tidak melakukan kemaksiatan, kendatipun sekejap mata."


Sementara itu Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al Misbah mengatakan bahwa para sahabat Nabi, semisal Abdullah bin Mas'ud memahami makna "حَقَّ تُقٰىتِهٖ" ialah menaati Allah dan tidak sekalipun durhaka, mengingat-Nya dan tidak sesaat pun lupa, serta mensyukuri nikmat-Nya dan tak satupun yang diingkari. Inilah puncak tertinggi dari sebuah ketakwaan seorang hamba.


Hadirin jamaah shalat Idul Fitri yang berbahagia.


Dengan demikian, melalui ayat ini, semua muslim dianjurkan untuk berjalan pada jalan takwa. Pun semua muslim dianjurkan untuk berjalan pada takwa, semua dianjurkan untuk menuju puncak tertinggi dari takwa. Pasalnya, seorang yang senantiasa istiqamah dalam jalan takwa, niscaya akan memperoleh puncak tertinggi sebuah takwa-tidak maksiat, tidak lupa, dan senantiasa bersyukur pada Allah.


Sementara kata Imam Nawawi dalam Kitab Riyadhus Shalihin, dalam kitab ini, terdapat bab yang membahas tentang takwa dan bagaimana cara mengembangkan takwa dalam diri. Ia menyebutkan bahwa takwa adalah kunci utama menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Imam Nawawi juga mengutip hadis Nabi Muhammad SAW berikut:


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: "اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ"


Artinya: "Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: 'Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan yang baik maka itu akan menghapuskannya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.'" (HR. Tirmidzi)


Dari kutipan ayat dan hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa takwa merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk selalu meningkatkan kesadarannya tentang keberadaan Allah dan berusaha untuk taat pada-Nya dalam segala hal, baik dalam perkara ibadah maupun muamalah. Dalam arti yang lebih luas, takwa juga mencakup akhlak yang baik dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam.


جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ العَائِدِيْنَ وَالفَائِزِيْنَ وَالْمَقْبُوْلِيْنَ كُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بَخَيْرٍ. آمين بسم الله الرحمن الرحيم، وَسَارِعُوْا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ. وَقُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وارْحَمء وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ

5. Khotbah Jumat: Ramadan Bulan Zakat


اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَللّٰهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أما بعد. فَإِنِّيْ أُوْصِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْن. قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَمَا أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ. ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ


Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah! Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan kita kesempatan untuk menjalani masa di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah memberikan teladan yang sempurna dalam menjalankan ibadah dan kehidupan yang baik.


Ramadhan , bulan yang mulia dan diidamkan oleh setiap umat Islam di seluruh dunia. Kini sudah tinggal beberapa hari lagi. Bulan di mana pintu surga terbuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Bulan penuh rahmat, ampunan, dan keberkahan. Bulan di mana setiap amal ibadah dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT. Dalam keagungan Ramadhan ini, mari kita kembali mengingat pentingnya zakat, salah satu rukun Islam yang sangat ditekankan dalam bulan yang mulia ini. Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!


Zakat itu berfungsi menjadi pembersihan jiwa dan harta. Sebuah hadis riwayat Imam Abu Dawud menyebutkan, فَرَضَ رَسُولُ اللهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ الرَّفَثِ وَاللَّغْوِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.


Artinya, "Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah, sebagai pembersihan diri bagi orang yang puasa dari segala perbuatan sia-sia, dan ucapan tidak baik, dan sebagai makanan bagi orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat hari raya maka zakatnya diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat hari raya maka termasuk sedekah biasa." (HR Abu Dawud). Secara harfiah, zakat berarti "pembersihan, penyucian (thaharah), berkembang (nama'), berkah (barakah), dan pujian (al-madh)". Semua makna kebahasaan ini digunakan dalam Al-Quran maupun hadis Nabi ketika menggunakan kata zakat.


Kebiasaan orang Arab dahulu juga menggunakan kata "zakat" ini untuk tanaman yang sedang tumbuh berkembang. Mereka biasa membuatkan ungkapan (زَكَا الزَّرْعُ إِذَا نَمَا وَزَادَ). Artinya, "Tamanan itu sedang berzakat," maksudnya sedang tumbuh dan berkembang.


Zakat juga berarti kebaikan (al-shalah). Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Kahfi ayat 81, فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْراً مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْماً Artinya: "Kemudian, kami menghendaki sekiranya tuhan mereka menggantikan dengan (seorang anak lain) yang lebih baik kesuciannya daripada (anak itu) dan lebih sayang (kepada ibu dan bapaknya). Ada lagi makna yang lain bagi istilah zakat, yaitu amal saleh, sebagaimana termaktub dalam Surat An-Nur ayat 21,


وَلَوْلا فَضْلُ الله عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَداً Artinya: "Kalau bukan karena karunia Allah dan Rahmat-Nya kepadamu, niscaya tak seorang pun di antara kami bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya." Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah! Dalam Islam, zakat memiliki makna yang luas, tidak hanya sekadar kewajiban keuangan ataupun materiil, tetapi juga merupakan bagian dari kewajiban spiritual kita sebagai umat Islam. Zakat mencakup tidak hanya pembersihan harta benda, tetapi juga pembersihan jiwa dan badan.


Pertama-tama, mari kita mulai dari zakat jiwa. Zakat jiwa (zakatun nafsi) adalah bagian dari keimanan kita yang harus kita tunaikan sebagai bentuk penyucian dan pembangunan diri kita sebagai hamba Allah yang taat. Allah SWT berfirman dalam Surat As-Syams ayat 7-9: "Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaan)nya. Maka dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang-orang yang menyucikannya (jiwa itu)." Zakat jiwa meliputi membersihkan diri dari syirik, kekafiran, kemunafikan, dosa, dan perilaku buruk lainnya. Zakat jiwa ini melibatkan introspeksi diri yang mendalam, pengampunan terhadap orang lain, dan peningkatan kesadaran akan tindakan kita.

Selama bulan Ramadan ini, kita diharapkan untuk meningkatkan kualitas spiritual kita dengan membersihkan jiwa dari segala macam penyakit hati dan perilaku yang tidak terpuji. Kita perlu memperbanyak amal ibadah, meningkatkan kebaikan, dan menjauhi segala bentuk keburukan. Inilah yang oleh imam al-Ghazali disebut denagan puasa hati, yaitu puasanya orang yang sangat Istimewa di sisi Allah (khawasshul khawassh). Pelaksanaannya setiap saat, sepanjang tahun, tidak terbatas di bulan Ramadhan saja. Namun ia tetap menjadi penyempurna puasa Ramadhan, bahkan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.


Jenis kedua yaitu zakat badan atau yang biasa dikenal dengan istilah zakat fitrah yang merupakan salah satu rukun Islam. Disebut zakat tubuh karena dikeluarkan berdasarkan keberadaan diri pada akhir bulan Ramadhan . Karena, zakat tubuh ini ditunaikan di akhir bulan Ramadhan . Rasulullah saw menegaskan bahwa kewajiban zakat badan ini berlaku menyeluruh; baik itu anak kecil dan orang dewasa, laki-laki dan perempuan, merdeka maupun budak dari umat Islam. Zakat badan atau zakat fitrah ini disamping berfungsi sebagai bantuan kesejahteraan bagi orang-orang yang tidak mampu juga berfungsi sebagai proses pembersihan diri orang yang berpuasa dari omong kosong dan perilaku yang tidak pantas. Caranya dengan membayarkan sebanyak satu sha' makanan pokok atau sekitar 2,5 kg beras.


Selain zakat jiwa dan badan, ada pula zakat harta (zakat mâl) yang harus kita tunaikan. Zakat harta ini berfungsi sebagai penyucian bagi harta yang telah terkumpul banyak selama satu tahun di tangan kita sekaligus sebagai penyucian jiwa kita, serta membawa berkah dalam kehidupan kita. Dalam Islam, harta merupakan ujian bagi manusia. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Anfal ayat 8: "Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian." Oleh karena itu, membayar zakat harta adalah wujud ketaqwaan kepada Allah SWT dan pengakuan atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita serta keberhasilan dalam menjalani ujian berat yang dibawa oleh harta.


Zakat badan dan zakat harta inilah yang merupakan salah satu rukun Islam dan merupakan pendamping shalat. Ini dipahami dari ayat tentang perintah shalat hampir selalu disertai dengan perintah zakat. Keduanya wajib ditunaikan jika memang telah memenuhi kriteria masing-masing. Untuk zakat fitrah, waktunya sangat terbatas yaitu hanya di akhir bulan Ramadhan saja, dan boleh diawalkan, namun tidak boleh ditunda hingga pelaksanaan salat Idul Fitri. Jika pada hari terakhir bulan Ramadhan, kita memiliki kelebihan makanan pokok untuk kebutuhan keluarga pada hari itu, berarti kita sudah berkewajiban menunaikan zakat fitrah.


Sedangkan zakat mal, hanya orang-orang yang memiliki harta yang telah melebihi satu nishab dan telah dimiliki selama minimal satu tahun (haul) saja. Teknis detailnya, tergantung jenis harta yang dimiliki dan hendak ditunaikan zakatnya. Jatuh tempo pembayarannya pun tidak berdasarkan bulan Ramadhan, namun berdasarkan awal mula memiliki harta wajib zakat tersebut. Meski demikian, tidak ada salahnya jika Ramadhan tetap dijadikan sebagai bulan edukasi zakat mâl. Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah! Dengan demikian, sempurnalah rukun Islam kita jika semuanya ditunaikan dengan baik. Ramadhan di satu sisi adalah bulan puasa, penuh ampunan, menyucikan diri dari dosa. Sedangkan puasa itu sendiri adalah zakat jiwa.


Di dalam Ramadhan kita menunaikan zakat badan atau zakat fitrah, yang juga untuk menyucikan diri kita yang tengah menjalani ibadah puasa Ramadhan. Lalu, kita sempurnakan dengan zakat mâl yang meskipun boleh jadi belum jatuh temponya pada bulan Ramadhan ini, tetapi edukasi zakat mâl di bulan Ramadhan adalah sangat tepat. Ramadhan kita jadikan sebagai bulan untuk melaporkan zakat tahunan atau semacam SPT Tahunan dalam dunia perpajakan di Indonesia. Namun, pembayaran zakatnya tetap disesuaikan dengan haul dan nishab masing-masing. Ini khusus untuk zakat mal. Adapun zakat fitrah, tentu tidak dapat diutak-atik lagi waktunya hingga keluar Ramadhan .

Atas dasar itulah, bukan hal yang berlebihan jika kita menyebut Ramadhan ini sebagai bulan zakat. Di dalam Ramadhan , kita menzakati jiwa dan hati melalui puasa yang sempurna. Di bulan Ramadhan pula, kita menzakati badan kita dengan zakat fitrah berupa makanan pokok. Di bulan Ramadhan pula kita mulai mengevaluasi dan memantau secara seksama apakah masih ada hak orang lain yang nyangkut di dalam harta yang kita miliki dalam satu tahun. Jika ada, harus kita zakati supaya bersih. Jika tidak ada lagi karena belum mencapai nishab atau pun karena sudah terbayarkan sebelum Ramadhan, pun tidak ada salahnya jika ditunaikan infak dan sedekahnya kepada orang-orang yang membutuhkan.


Dengan jiwa, hati, badan, dan harta yang bersih suci karena terzakati, maka semua itu pun akan berkembang pesat. Ujian-ujian yang tertulis di balik jiwa, hati, badan, dan harta pun berhasil kita tuntaskan dengan hasil yang terbaik dan diridhai oleh Allah. Demikianlah gambaran orang-orang beruntung di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT senantiasa memberkahi setiap langkah kita dalam menunaikan kewajiban zakat. Semoga amal baik kita diterima di sisi-Nya dan menjadi bekal di kehidupan akhirat nanti.


بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنْ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

6. Khotbah Jumat: Makna dan Keutamaan Bulan Ramadan


الحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ. القَائِلِ فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ المُصَلُّونَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ


Hadirin shalat Jumat yang dimuliakan Allah, Sebagaimana diketahui bersama, bulan ini merupakan bulan yang agung dan penuh berkah. Sebab pada bulan ini ampunan dan rahmat-Nya sangat mudah didapatkan, bukankah kelak kita bisa masuk sorga-Nya hanya melalui rahmat-Nya?


Begitu juga adanya bulan Ramadhan membuat seluruh umat Islam diwajibkan berpuasa dengan tujuan menjadi pribadi yang bertakwa. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam ayat: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ Artinya: "Wahai orang-orang beriman telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana telah diwajibkan (juga) atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang bertakwa." (QS. al-Baqarah: 183)


Tujuan disyariatkannya berpuasa untuk menjadi orang bertakwa merupakan cara Allah mengajak kita untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kita. Ibadah sehari-hari seperti shalat lima waktu, sedekah, berbuat baik kepada sesama, dan lain sebagainya dirasa belum cukup untuk meningkatkan ketakwaan kita. Oleh karenanya Allah menambahkan jalan lain untuk mencapai hal tersebut, yaitu dengan berpuasa.


Kendati demikian, patut diakui bahwa puasa tidak hanya bisa dilaksanakan pada bulan Ramadhan saja. Namun puasa yang dilakukan pada bulan ini mempunyai keutamaan yang lebih dibandingkan puasa pada bulan-bulan lainnya. Keutamaan ini disebabkan puasa tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan. Dengan kata lain, ibadah puasa memiliki keutamaan yang berbeda-beda dengan bergantung pada bulan apa dikerjakannya. Lantas, mengapa ketika puasa dikerjakan pada bulan Ramadhan memiliki nilai lebih tinggi di sisi Allah dibandingkan puasa pada bulan yang lain?


Hadirin shalat Jumat yang dimuliakan Allah,.


Pertanyaan tadi akan bisa dijawab bila kita mulai dari mengetahui apa arti kata Ramadhan. Dalam kamus al-Mu'jam al-Wasith, Ramadhan berasal dari رَمَضَ yang memiliki makna 'membakar.' Makna ini sepadan substansinya dengan kata lain seperti melenyapkan, menghanguskan, bahkan meluluhlantakkan. Termasuk sifat membakar yang lain adalah meniadakan, menghabisi, dan menundukkan.


Dalam konteks Ramadhan, sesuatu yang dibakar adalah penyakit hati yang ada dalam diri kita masing-masing. Imam al-Ghazali secara terperinci menjelaskan apa saja macam-macam penyakit hati di dalam kitabnya yang fenomenal, Ihya Ulumuddin. Di antaranya adalah ego, iri dengki, sombong, ujub, dan nafsu hewani. Penyakit-penyakit seperti inilah yang mesti ditundukkan bahkan dibakar selama bulan Ramadhan. Ibadah pada bulan ini seperti puasa, tarawih, mengaji al-Quran, dan berbagai macam dzikir memiliki tujuan untuk melenyapkan berbagai penyakit hati tersebut. Seolah-olah Allah hendak menegaskan bahwa penyakit hati itu bisa dilatih, dilunakkan, serta dihilangkan dengan cara memperbanyak ibadah pada bulan Ramadhan.


Sebab penyakit hati merupakan faktor paling dasar yang memicu berbagai konflik sosial dan politik yang terjadi selama ini. Bahkan Imam al-Ghazali juga menegaskan bahwa penyakit hati bisa mengidap kepada siapa saja, termasuk para ulama, pejabat, dan tokoh macam lainnya. Penyakit hati ini memang tidak memandang bulu dan hanya bisa dihilangkan dengan memperbanyak proses dan latihan. Oleh karena itu, dengan beragam ibadah dan ganjaran yang dikhususkan hanya bisa diperoleh pada bulan ini, diharapkan dapat meluluhlantakkan penyakit-penyakit hati yang ada di dalam diri kita. Sesuai makna asalnya, Ramadhan menjadi momentum pembakaran berbagai penyakit hati, dan tentunya termasuk berbagai dosa juga.


Hadirin shalat Jumat yang dimuliakan Allah, Perlu dipertegas di sini bahwa maksud dosa di sini hanyalah dosa antara hamba dengan Tuhannya. Artinya, dosa yang bisa dibakar atas ibadah-ibadah yang dikerjakan selama Ramadhan hanya terbatas pada dosa kepada Tuhan. Sedangkan dosa kepada sesama manusia maka harus meminta maaf kepada yang bersangkutan. Namun, Nabi Muhammad Saw di dalam sabdanya menyebutkan sebuah ibadah secara spesifik yang dapat menghanguskan dosa-dosa tersebut, yaitu berpuasa. Di dalam riwayat Bukhari - Muslim disebutkan:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ Artinya: "Siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadhan atas dasar beriman dan mengharapkan pahala maka dosa-dosanya di masa lalu akan diampuni." Berdasarkan hadits ini cukup jelas kiranya bahwa puasa yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan dapat menghapus dosa-dosa masa lalu seorang hamba. Dengan syarat, puasa yang dikerjakannya berdasarkan keimanan dan harapan mendapatkan pahala. Jadi puasa Ramadhan yang dikerjakan bukan karena ikut-ikutan lingkungan, atau bahkan tren media sosial.


Imam Muslim saat menjelaskan hadits-hadits tentang sebuah ibadah yang secara otomatis dapat menghapus dosa-dosa seseorang menegaskan bahwa dosa-dosa di sini terbatas hanya pada dosa kecil saja, bukan dosa besar. Sebab bila melakukan dosa besar maka cara melenyapkannya bukan hanya dengan beribadah saja, melainkan harus memohon ampun dan bertaubat dengan sungguh-sungguh. Hal ini masuk akal kiranya, sebab setiap kita pasti memiliki dosa kecil, entah sengaja maupun tidak. Maka untuk menghapusnya cukup dengan memperbanyak ibadah yang biasa kita lakukan. Terlebih lagi bila ibadah tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan, maka peluang ampunan yang akan diperoleh menjadi lebih besar.


Hadirin shalat Jumat yang dimuliakan Allah, Selain itu, uraian terkait keutamaan bulan Ramadhan di atas diperkuat juga dengan hadis riwayat Bukhari Muslim yang berbunyi: إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ Artinya: "Apabila bulan Ramadhan tiba maka pintu-pintu sorga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dikerangkeng."


Hadits ini hendak menegaskan dari saking mulianya bulan Ramadhan membuat tempat mulia seperti surga dibuka lebar-lebar, sedangkan tempat dan makhluk yang hina ditutup dan dirantai agar tidak bisa mengganggu kekhidmatan ibadah pada bulan ini. Ibadah yang dikerjakan pada bulan ini akan memudahkan kita diantarkan pada tempat yang indah sebagaimana dijanjikan bagi orang beriman, begitu juga jalan menuju tempat yang buruk ditutup, termasuk mahluk yang terlibat di dalamnya, yakni para setan dikurung agar tidak menggoda umat Islam dalam beribadah selama Ramadhan.


Semoga kita mendapatkan kemuliaan dan keberkahan bulan ini, sehingga nanti setelah Ramadhan usai kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih bertakwa dan semakin semangat beribadahnya. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ.

7. Khotbah Idul Fitri: Revolusi Spiritual Saat Lebaran Tiba


اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَتَمَّ لَنَا شَهْرَ الصِّيَامِ، وَأَعَانَنَا فِيْهِ عَلَى الْقِيَامِ، وَخَتَمَهُ لَنَا بِيَوْمٍ هُوَ مِنْ أَجَلِّ الْأَيَّامِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، الواحِدُ الأَحَدُ، أَهْلُ الْفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ إلَى جَمِيْعِ الْأَنَامِ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ التَّوْقِيْرِ وَالْاِحْتِرَامِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ


أَمَّا بَعْدُ، يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ، وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ


Jamaah Idul Fitri yang dimuliakan Allah


Marilah kita bersama-sama meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt dengan menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Hanya dengan takwa manusia menjadi mulia di hadapan Allah sebagaimana firman dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13:


إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ


Artinya, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian."
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ


Hadirin, hadirat, rahimakumullah


Hari Raya Idul Fitri adalah hari yang sangat penting bagi kita semua. Hari ini menandai bahwa kita telah melewati bulan Ramadan, bulan yang di sepanjang harinya kita diperintahkan menahan diri dari segala kebutuhan dasar manusia yang berupa makan, minum, dan segala hal lain yang membatalkan puasa. Melalui datangnya tanggal 1 Syawal ini berarti kita akan menghadapi hari-hari seperti biasanya, yaitu hari yang kita diperbolehkan menyalurkan segala kebutuhan dasar manusia seperti makan, minum, dan lain-lain.


Pada saat manusia berpuasa maka ia berbeda dengan para binatang, tapi ketika manusia sedang berbuka atau tidak berpuasa maka keberadaannya sama dengan para binatang dalam hal sama-sama berusaha memenuhi kebutuhan dasar hayawani, yakni makan, minum, dan bersetubuh. Dalam kitab Durratun Nashihin karangan Syaikh Utsman bin Hasan Al-Khuwairi dijelaskan, manusia adalah makhluk Allah yang dalam dirinya terdapat "entitas atau sifat kebinatangan" dan "sifat kemalaikatan."


Sifat kebinatangan yang dimaksud adalah "syahwat" atau keinginan untuk melakukan segala hal yang bersifat naluri, seperti makan, minum, menyalurkan hasrat seksual, dan yang lainnya. Sedangkan sifat atau entitas kemalaikatan adalah "akal" atau pengetahuan yang selalu mengajak manusia melakukan kebaikan dan mengendalikan segala keinginan yang bersifat kebinatangan.


Jika sifat kebinatangan manusia tidak bisa dikendalikan, yakni manusia melakukan segala hal yang ia inginkan tanpa mempedulikan aturan-aturan agama, maka ia tidak jauh berbeda dengan binatang, bahkan dikatakan oleh Al-Quran ia lebih sesat daripada binatang:


أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ


Artinya, "Mereka seperti binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS Al-A'raf 179).


Binatang diciptakan oleh Allah tidak memiliki akal, hanya memiliki syahwat semata, sehingga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya tidak mengenal aturan agama. Ingin makan, ia akan makan apapun yang ia senangi tanpa mengetahui makanan itu milik siapa. Ingin minum ia akan minum apapun yang ia sukai tanpa harus tahu minuman itu milik siapa, memabukkan atau tidak. Ingin menyalurkan hasrat seksualnya maka ia akan bersetubuh tanpa melalui sejumlah syarat dan rukun di dalam pernikahan.


Tapi, jika sifat atau entitas kemalaikatan yang dimiliki manusia berupa akal dapat difungsikan, yakni manusia di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya selalu memperhatikan aturan-aturan agama, maka status manusia akan menjadi makhluk yang mulia di hadapan Allah, bahkan lebih mulia daripada malaikat.


Semua waktu yang dimiliki malaikat digunakan hanya untuk beribadah kepada Allah, tidak makan, tidak minum, dan yang lainnya. Hal ini sangat wajar dan pantas karena malaikat hanya diberi akal oleh Allah. Sedangkan manusia jika senantiasa bisa beribadah kepada Allah, ini artinya ia telah berusaha sekuat tenaga di dalam mengelola syahwatnya atau mengekang hawa nafsunya. Manusia jenis ini sama dengan telah memfungsikan akalnya untuk menerangi dirinya dengan menghindari segala perbuatan yang dilarang oleh Allah, dan melakukan segala yang diperintahkan-Nya.


اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ


Jamaah Idul Fitri yang berbahagia


Selama bulan Ramadan kita semua telah diwajibkan berpuasa, yakni menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa. Ini artinya kita telah diberi kesempatan oleh Allah untuk memfungsikan akal kita atau "entitas kemalaikatan" yang berada di dalam diri kita untuk mengelola syahwat atau hawa nafsu.


Karena itu patut berbahagialah dan bersyukur kepada Allah swt jika selama satu bulan penuh kita telah menjalankan puasa, tapi dalam waktu bersamaan kita harus waspada terhadap diri kita masing-masing dalam menghadapi hari-hari yang akan kita jalani. Jangan sampai puasa yang telah kita lakukan tidak meninggalkan bekas apa-apa di dalam jiwa kita, karena sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran bahwa tujuan diwajibkannya puasa supaya menjadi orang yang bertakwa, laa'allakum tattaqun.


Bulan Ramadhan adalah madrasah untuk mendidik hawa nafsu. Jika setelah melewati Ramadhan seseorang masih menjadi budak hawa nafsunya berarti ia tidak lulus dalam menjalani pendidikan spiritual di dalam bulan puasa. Sebaliknya, jika perilaku seseorang mencerminkan sebagai pribadi yang bertakwa, yakni menjadi orang yang bijaksana, dapat mengelola dan mengendalikan syahwatnya, maka pertanda orang itu telah lulus di dalam menjalani penempaan diri selama satu bulan penuh.


اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ


Hadirin, hadirat yang dimuliakan Allah


Dalam sebuah hadits diceritakan, ketika ada sebagian sahabat selesai melakukan jihad atau berperang melawan orang-orang kafir, Nabi Muhammad saw menyampaikan ucapan selamat datang kepadanya sembari mengingatkan perlunya menjalankan jihad yang lebih besar. Lalu sebagian sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apa maksud daripada jihad yang lebih besar? "Rasulullah saw menjawab: "Perang melawan hawa nafsu."


Dalam hadits lain dikatakan, Nabi Muhammad saw bersabda:


اَلْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِيْ طَاعَةِ الله


Artinya, "Mujahid atau orang yang berjihad adalah orang yang memerangi hawa nafsunya karena taat kepada Allah."


Imam Al-Ghazali di dalam karyanya, Ihya` 'Ulumiddin, menyampaikan, ulama dan ahli hikmah sepakat bahwa tidak ada cara lain untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kecuali dengan menahan hawa nafsu dan mengekang syahwat. Dalam Al-Quran surat An-Nazi'at ayat 40-41 dinyatakan:


وَأَمَّا مَنْ خافَ مَقامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوى


Artinya, "Orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga menjadi tempat tinggalnya."


اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ


Hadirin, hadirat, rahimakumullah


Puasa sebulan penuh yang telah kita jalani harus kita pahami sebagai bekal memasuki bulan-bulan berikutnya. Dengan berpuasa, kita terlatih dan terbiasa di dalam menahan keinginan-keinginan hawa nafsu. Karenanya, pada hari ini, hari yang meskipun kita semua dilarang berpuasa, tetapi tetap harus menjadi permulaan di dalam aktivitas menahan hawa nafsu sebagai bentuk revolusi spiritual setelah menjalani puasa di bulan Ramadan.


Jiwa yang bersih ada pada orang yang berhasil menahan hawa nafsunya. Dalam jiwa yang bersih akan lahir perilaku-perilaku terpuji, baik dalam interaksi kepada Allah (hablum minallah) maupun dalam berhubungan dengan sesama manusia (hablum minan nass). Jika seseorang memiliki jiwa yang bersih maka ia tak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan kepada sesama.


Dalam tradisi kita, setelah bulan Ramadhan kita memiliki tradisi halal bihalal, yakni kegiatan silaturahmi sebagai bentuk persaudaraan, dan kegiatan sungkeman serta saling bermaaf-maafan sebagai perwujudan bahwa kita tidak boleh memendam rasa permusuhan, dengki, dendam, dan sifat-sifat buruk lainnya yang bisa mengotori jiwa dan berdampak menghancurkan tatanan serta kerukunan di dalam masyarakat.


Walhasil, dengan hari raya ini, marilah kita sama-sama berdoa kepada Allah semoga puasa yang telah kita jalani diterima oleh-Nya, dan berbekas kepada diri kita di dalam menjalani hari-hari berikutnya, yakni menjadi manusia yang selalu kuat di dalam menahan diri dari berbagai kesenangan hawa nafsu.


أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى، وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى، بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا، وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى. جَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ وَاْلمَقْبُوْلِيْنَ، وَأَدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ. وَاَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا، وَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِي وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، فَاسْتَغْفِروهُ اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

8. Khotbah Idul Fitri: Membersihkan Diri Sebelum Ramadan


الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَبِفَضْلِهِ تَتَنَزَّلُ الْخَيْرَاتُ وَالْبَرَكَاتُ، وَبِتَوْفِيْقِهِ تَتَحَقَّقُ الْمَقَاصِدُ وَالْغَايَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ نِ الَّذِيْ أَرْسَلَهُ اللهُ إِلَيْنَا شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ المُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا آيُّهَا الحَاضِرُوْنَ الكِرَامُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى. فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ


أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم: وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (٨٧) يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (٨٨) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (٨٩)


Jamaah Jumat yang dirahmati Allah


Pada kesempatan khotbah yang mudah-mudahan penuh keberkahan ini, khatib ingin menyampaikan wasiat takwa sebagaimana pesan baginda Nabi Muhammad saw dalam riwayat Imam At-Thabarani:


"Bertakwalah kepada Allah semampu Anda. Berzikirlah kepada Allah di manapun Anda berada, saat keadaan teduh dan terik. Saat Anda melakukan keburukan, segeralah bertobat kepada Allah."


Dalam hadis ini, Nabi berpesan agar kita selalu menjaga diri kita dari melakukan perbuatan dosa dengan cara meningkatkan takwa, berzikir kepada Allah, dan memperbanyak istighfar. Terlebih lagi kita akan memasuki bulan Ramadan. Upaya untuk terus membersihkan hati sangat diperlukan agar menyambut Ramadhan dalam keadaan hati yang bersih.


Hadirin sidang Jumat yang berbahagia Cerminan diri kita dapat terlihat dari hati. Hati merupakan pemimpin bagi anggota tubuh yang lain. Saat hati kita bersih dan suci, anggota tubuh lain pun akan mengikuti sang pemimpin itu. Rasulullah saw pernah mengingatkan kepada kita mengenai hal ini. Beliau bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ لَهَا سَائِرُ الْجَسَدِ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ لَهَا سَائِرُ الْجَسَدِ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْه)


Artinya: "Ketahuilah bahwa di dalam diri terdapat daging. Saat daging itu baik, seluruh tubuh pun akan baik. Namun jika daging itu rusak, seluruh tubuh pun akan rusak. Daging itu adalah hati. (HR Bukhari dan Muslim). Ma'asyiral Muslimin rahimakumullah Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara kita membersihkan hati sebelum Ramadhan, bulan mulia ini, datang? Diriwayatkan dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah berpesan:


إِنَّ هَذِهِ اْلقُلُوْبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيْدُ إِذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا جَلاَؤُهَا؟ قَالَ: " كَثْرَةُ ذِكْرِ الْمَوْتِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ. (رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ)


Artinya, "Hati ini seringkali berkarat seperti besi yang berkarat saat terkena air. Terus apa pembersihnya, Rasul? Pembersihnya adalah memperbanyak mengingat mati dan membaca Al-Qur'an." (HR Al-Baihaqi).


Jamaah Jumat yang dirahmati Allah Dari hadis di atas kita dapat memahami, hati yang kerap kotor karena iri, dengki, hasud, dendam, dan benci terhadap orang lain itu dapat dibersihkan di antaranya dengan memperbanyak mengingat mati dan membaca Al-Qur'an. Imam Al-Qurthubi dalam kitab At-Tadzkirah bi Ahwalil Mauta menyampaikan pendapat Imam Ad-Daqqaq mengenai mengingat mati.


مَنْ أَكْثَرَ مِنْ ذِكْرِ الْمَوْتِ أُكْرِمَ بِثَلَاثَة أَشْيَاءَ: تَعْجِيْلُ التَّوْبَةِ، وَقَنَاعَةُ الْقَلْبِ، وَنَشَاطُ الْعِبَادَةِ


Artinya, "Orang yang memperbanyak ingat kematian itu pasti diberikan tiga kemuliaan; mempercepat tobat, memiliki hati yang qanaah, dan rajin beribadah." Jamaah Jumat yang dirahmati Allah Sementara itu menurut hadis di atas, cara lain untuk membersihkan hati adalah dengan cara memperbanyak membaca Al-Qur'an. Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Zadul Ma'ad mengatakan demikian:


فَالْقُرْآنُ هُوَ الشِّفَاءُ التَّامُّ مِنْ جَمِيْعِ الْأَدْوَاءِ الْقَلْبِيَّةِ وَالْبَدَنِيَّةِ، وَأدَوَاءِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ


Artinya, "Al-Qur'an itu obat sempurna dari segala penyakit hati dan fisik, penyakit duniawi dan akhirat." Hadirin yang dirahmati Allah, demikian khotbah singkat pada Jumat yang penuh keberkahan ini. Semoga sebelum datangnya Ramadan ini, kita dapat sesering mungkin mengingat mati dan membaca Al-Qur'an. Semoga khotbah ini juga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.


أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

9. Khotbah Idul Fitri: Lebaran Tanpa Mudik dan Hikmah di Baliknya


اللهُ اَكْبَرُ ٩×. اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً، لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ، اللهُ اَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اَلْحَمْدُ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيدَ الْفِطْرِ بَعْدَ صِيَامِ وَقِيَامِ رَمَضَانَ. اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ ad اَمَّا بَعْدُ: أُوْصِيْكُمْ وَاِيَّاىَ بِتَقْوَى اللهِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: يُؤْتِى ٱلْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ ٱلْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًا كَثِيرًاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبٰبِ


Allâhu Akbar 3x wa lillâhil-ḫamdu, Ma'asyiral Muslimin yang berbahagia,


Setelah memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah serta bershalawat kepada Nabi Muhammad, saya mengajak kepada kita semua, terutama diri sendiri, untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan dan keimanan kepada Allah dengan menjalankan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang dan diharamkan.


Setelah berpuasa dan beribadah lain sebulan penuh di bulan Ramadhan, hari ini kita merayakan Idul Fitri. Ini adalah Idul Fitri kedua di era pandemi Covid-19. Saat merayakan Idul Fitri di tengah pandemi tahun kemarin, kita semua tentu berharap itu satu-satunya Idul Fitri yang kita rayakan di tengah pandemi. Namun ternyata tahun ini kita masih harus merayakan Idul Fitri di tengah pandemi.


اَلْاِنْسَانُ بِالتَّدْبِيْرِ وَالتَّخْيِيْرِ وَاللهُ بِالتَّقْدِيرِ


"Manusia merencanakan dan berusaha, Allah yang menentukan".


Meski masih di tengah pandemi kita patut bersyukur, pagi ini kita masih diberi kesempatan untuk merasakan kebahagiaan dan kekuatan untuk merayakan hari kemenangan Idul Fitri. Semoga kita dianugerahi kesehatan dan umur panjang sehingga dapat kembali menikmati kelezatan ibadah pada Ramadhan-ramadhan yang akan datang.


Allâhu Akbar 3x wa lillâhil-ḫamdu, Ma'asyiral Muslimin yang berbahagia,


Banyak sekali hikmah, pelajaran, dan makna yang dapat kita petik dari mewabahnya Covid-19. Di antaranya, kita semakin yakin bahwa Allah sungguh Mahakuasa dan Allah Mahabesar, dapat menjadikan dunia dan seisinya bertekuk lutut dengan yang ditetapkan-Nya. Kita juga semakin sadar dan harus mau mengakui bahwa manusia itu sebenarnya tidak berdaya. Mau sepintar apa pun, sekaya apa pun, sesehat apa pun, ternyata ketika didatangkan wabah virus menjadi lemah dan tidak berdaya. Hanya dengan makhluk yang sekecil virus itu, banyak orang menjadi tak berdaya. Banyak orang jatuh sakit, dan bahkan meninggal dunia. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak selayaknya menyombongkan dan membanggakan dirinya.


Selain itu pandemi mengingatkan kita untuk selalu bersabar dan bersyukur dalam situasi dan kondisi apapun. Jika kita tidak bersabar dan bersyukur, maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kerisauan, kepenatan, kesusahan, dan kesedihan dalam hidup dan kehidupan. Sebaliknya, jika kita senantiasa sabar dan syukur, maka kita akan meraih ridha Allah dan pahala yang besar di kehidupan akhirat kelak.


Pandemi juga meningkatkan solidaritas sesama. Akibat pandemi ini banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan tidak bisa mencari nafkah untuk biaya hidup. Kalangan orang yang mampu banyak yang memberikan bantuan berupa sembako atau uang kepada mereka sebagai bentuk solidaritas kepada sesama.


Menyebarnya virus ini juga mengingatkan kita akan kematian. Manusia pasti akan mati. Manusia tidak selamanya hidup di dunia ini. Dengan berbagai sebab batas antara hidup dan mati sangat tipis. Virus ini adalah satu di antara sekian sebab kematian manusia.


Itulah antara lain hikmah pandemi Covid-19. Kita yakin dalam setiap kejadian atau peristiwa selalu ada hikmahnya, sebagaimana yang dinyatakan dalam QS al-Baqarah 269 yang dikutip di awal khotbah ini:


يُؤْتِى ٱلْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ ٱلْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًا كَثِيرًاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبٰبِ


"Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat."


Allâhu Akbar 3x wa lillâhil-ḫamdu, Ma'asyiral Muslimin yang berbahagia,


Menjelang Idul Fitri masyarakat kita punya tradisi mudik; pulang kampung untuk silaturahim dengan sanak, keluarga, tetangga dan sahabat. Dalam tradisi mudik biasanya banyak orang ingin menunjukkan keberhasilannya di rantau. Banyak orang terjatuh pada sikap dan penampilan; berpakaian luar biasa mewah, berlebihan dalam mempersiapkan makanan dan pamer kemewahan lain serta gaya hidup kepada sanak keluarga di kampung. Mungkin saat itu kita juga berbagi kepada sanak saudara, tapi kebanyakan hanya ala kadarnya saja.


Tahun ini pemerintah menetapkan aturan untuk tidak mudik. Tujuannya untuk membatasi penyebaran Covid-19. Tapi dari sisi yang lain, aturan ini bisa menghindari kemungkinan terjadi hal yang menimbulkan iri dan geram dari orang-orang di kampung terhadap tingkah laku, sikap, dan penampilan kita. Maka aturan untuk tidak mudik lebaran itu menjadi sangat relevan.


Aturan untuk tidak mudik sesuai dengan maqashid syariah (tujuan dasar diberlakukannya syariat). Menurut Imam asy-Syatibi, ada lima bentuk maqashid syariah, yang juga sering disebut sebagai lima prinsip umum atau al-kulliyat al-khamsah. Masing-masing berupa wujud atau penjagaan dan berupa 'adam atau pencegahan. Lima maqashid syariah dimaksud adalah hifdhun ad-diin (menjaga agama), hifdhun an-nafs (menjaga jiwa), hifdhul aql (menjaga akal), hifdhun nasl (menjaga keturunan), dan hifdhul maal (menjaga harta). Dari lima hal tersebut, aturan untuk tidak mudik setidaknya berkesesuaian dengan hifdun nafs (menjaga jiwa).

Yang penting kita bisa tetap melaksanakan mudik yang lebih substantif, yakni kembali mengenali diri sendiri. Pertanyaan tentang sangkan paraning dumadi (asal mula dan akhir) manusia, kita suarakan bersamaan dengan gema takbir yang kita ucapkan.


Mudik ke dalam diri akan membuat kita sadar bahwa kita hanyalah hamba ciptaan Allah yang sangat lemah. Dengan capaian ilmu yang sangat kita banggakan, kita belum mampu menundukkan virus yang tak terlihat mata itu. Dengan menyadari kelemahan, kita akan makin dekat dengan Yang Maha Kuasa. Semua terjadi karena-Nya. Makin dalam kita mengenali diri kita, kita akan makin kenal Tuhan kita, sebagaimana ungkapan:


: مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ


"Barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya".


Meski tak mungkin dapat menggantikan nuansa perayaan Idul Fitri dengan berkumpul bersama keluarga besar di kampung, di era 4.0 ini lebaran virtual; melalui telepon, WA, VC, zoom atau aplikasi lain, bisa menjadi solusi alternatif yang aman, nyaman, tanpa macet dan tentu lebih irit biaya. Kita tak memungkiri manfaat mudik untuk silaturahim dengan sanak, keluarga, tetangga, sahabat dan leluhur baik yang masih ada atau yang sudah mendahului kita. Namun di era pandemi ini boleh jadi mudik membawa banyak mafsadat bagi kita, antara lain tersebarnya Covid-19. Karenanya tepat menggunakan prinsip:


دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ


"Menghindari mafsadat (kerusakan) didahulukan daripada mengambil manfaat"


Allâhu Akbar 3x wa lillâhil-ḫamdu, Ma'asyiral Muslimin yang berbahagia,


Aturan untuk tidak mudik jangan sampai membuat kita memutus tali silaturahim. Jangan sampai keluarga dan kerabat kita merasa kita tinggalkan dan abaikan. Sanak saudara di kampung harus bisa memahami dan ikhlas dengan ketidakpulangan kita. Kita tetap jaga hubungan baik dengan berbagai cara yang memungkinkan. Menyambung silaturahim adalah salah satu kewajiban dan memutus silaturahim adalah salah satu dosa besar.


Rasulullah bersabda:


لَا يَدْخُلُ الْـجَنَّةَ قَاطِعٌ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)


"Tidak akan masuk surga (bersama orang-orang yang lebih awal masuk surga) orang yang memutus silaturahim" (HR al-Bukhari dan Muslim)


Termasuk silaturahim adalah membantu kerabat kita ketika mereka membutuhkan, terutama dalam situasi pandemi seperti saat ini. Meski di era pandemi dan kita tidak mudik kita bisa melakukan hal itu dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi.


Dalam hadits disebutkan:


مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلا كَسَاهُ اللهُ سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)


"Tidaklah seorang mukmin menghibur saudaranya karena musibah yang menimpanya, kecuali Allah akan mengenakan kepadanya pakaian-pakaian kemuliaan di hari kiamat" (HR Ibnu Majah).


Dengan lantaran silaturahim Allah akan angkat kesusahan dari kita dan melapangkan rezeki kita.


Nabi bersabda:


مَنْ سَرَّهُ أنْ يَمُدَّ اللهُ في عُمُرِه وَيُوَسِّعَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ وَيَدْفَعَ عَنْهُ مِيْتَةَ السُّوْءِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ


"Barang siapa menginginkan dipanjangkan umurnya, diluaskan rezekinya, dan diselamatkan dari kematian yang buruk oleh Allah, maka hendaklah ia sambung tali silaturahim dengan kerabatnya" (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak)


Kita jadikan Idul Fitri sebagai momentum untuk mempererat hubungan kita dengan tetangga, teman, kolega, dan seluruh lapisan masyarakat. Kita adalah bersaudara sesama muslim, anak bangsa dan manusia. Di akhirat kelak, jangan sampai kita termasuk golongan yang membawa pahala shalat, puasa, dan berbagai ibadah yang lain, sekaligus membawa dosa yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia.


Allâhu Akbar 3x wa lillâhil-ḫamdu, Ma'asyiral Muslimin yang berbahagia,


Kita sudah merasakan, berkah wabah ini keluarga inti kita bisa lebih dekat lagi, maka marilah di Idul Fitri ini kita saling memberi maaf sehingga rahmat Allah mengucuri keluarga kita, orang tua kita, saudara kita sesama muslim, anak bangsa dan manusia. Dengan berkah Ramadhan dan wabah ini pula semoga keluarga kita dan orang tua kita menjadi ahlul jannah.


Semoga kita dapat mematuhi segala apa yang ditetapkan pemerintah dalam menghadapi pandemi, sehingga pandemi cepat berlalu. Semoga Allah selamatkan kita, orang tua kita, saudara kita, guru-guru kita, jamaah kita, kampung kita, bangsa kita, dan umat Nabi Muhammad dari wabah pandemi Covid-19. Demikian khotbah ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.


اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ ربِّهِ ونَهَى النَّفْسَ عَنِ اْلَهوَى، فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى. جَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ وَاْلمَقْبُوْلِيْنَ، وَاَدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ، اَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاسْتَغْفِرُ الله لِى وَلَكُمْ، وَلِوَالِدَيْنَا وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، فَاسْتَغْفِرْهُ اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

10. Khotbah Idul Fitri: Jaminan dari Allah Setelah Puasa Ramadan


وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ


اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ جَعَلَ شَهْرَ الصِّيَامَ غُزَّةَ وَجْهِ الْعَامِ، وَأَجْزَلَ فِيْهِ الْفَضَائَلَ وَالْاِنْعَامَ، وَفَضَّلَ أَيَّامَهُ عَلَى سَائِرِ الْأَيَّامِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَلْمَبْعُوْثِ عَلَى جَمِيْعِ الْأَنَامِ، وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ هُدَاةِ الْأَنَامِ وَمَصَابِيْحِ الظَّلَامِ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ اِلَهٌ تَفَرَّدَ بِالْكَمَالِ وَالتَّمَامِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَفْضَلُ مَنْ صَلَّى وَصَامَ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ أَلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْ شُبِّهُوْا بِالْأَنْجَامِ، فَمَنْ تَبِعَهُ فَقَدْ نَالَ سُبُلَ التَّامِ أَمَّا بَعْدُ، فَيآ أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ رَحِمَكُمْ اللهُ، أُوْصِيْكُمْ وَاِيَايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ، بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَقَالَ أَيْضًا: وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ


Ma'asyiral Muslimin jamaah shalat idul Fitri yang dirahmati Allah Alhamdulillah, puji syukur tak henti-hentinya kita panjatkan kepada Allah swt yang telah memberikan nikmat besar kepada kita semua pada hari ini, yaitu mempertemukan dengan hari raya idul fitri, setelah satu bulan penuh kita menjalankan ibadah puasa. Shalawat dan salam mari kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw beserta para sahabat dan pengikutnya.


Selanjutnya, melalui mimbar yang mulia ini, khatib mengajak kepada diri khatib sendiri, keluarga, dan semua jamaah yang turut hadir pada pelaksanaan shalat Jumat ini, untuk terus istiqamah dalam menjalankan ibadah dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt, serta menjauhi semua larangan-larangan-Nya. Sebab, tidak ada bekal yang paling baik untuk kita bawa menuju akhirat selain ketakwaan.


Ma'asyiral Muslimin jamaah salat Idul Fitri yang dirahmati Allah


Tidak terasa saat ini kita semua sudah memasuki bulan 1 Syawal, setelah berhasil bergulat dengan puasa Ramadhan dan rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan penuh. Menahan diri dari segala perbuatan yang bisa merusak eksistensi puasa. Saat ini, sudah tiba saatnya bagi kita untuk merayakan kemenangan atas ibadah yang telah kita lakukan selama sebulan, yaitu dengan merayakan hari raya idul fitri. Momentum pertama dalam merayakan hari yang mulia ini adalah dengan cara memperbanyak menyucikan Allah swt dengan bacaan-bacaan takbir, membesarkan nama-Nya, dan mengagungkan Zat-Nya, sebagai bentuk syukur karena telah memberikan kita pertolongan agar bisa menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan sempurna. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an, Allah swt berfirman:


وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ


Artinya, "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur." (QS Al-Baqarah [2]: 185). Ma'asyiral Muslimin jamaah shalat idul Fitri rahimakumullah Hari raya idul fitri dalam Islam selain dikenal dengan hari yang sangat agung, juga menjadi hari yang sangat dinanti-nanti kaum muslimin seluruh dunia, sebab pada hari ini Allah memberikan anugerah yang sangat banyak kepada kita semua, tidak hanya berupa pahala atas ibadah yang kita lakukan selama ini, namun Allah juga mengampuni semua dosa-dosa yang ada dalam diri kita. Berkaitan dengan penjelasan di atas, Dalam salah satu haditsnya Rasulullah saw bersabda:


إِذَا كَانَ يُومُ الْفِطْرِ هَبَطَت الْمَلَائِكَةُ إِلَى الْأَرْضِ فَيَقُوْمُوْنَ عَلىَ أَفْوَاهُ السِّكَكِ يُنَادُوْنَ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ جَمِيْعُ منْ خَلق اللهِ إِلَّا الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ يَقُوْلُوْنَ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ اخْرُجُوْا إِلَى رَبٍّ كَرِيْمٍ يُعْطِي الْجَزِيْلَ وَ يَغْفِرُ الذَّنْبَ الْعَظِيْمَ فَإِذَا بَرَزُوْا إِلَى مُصَلَّاهُمْ يَقُوْلُ الله لِمَلَائِكَتِهِ يَا مَلَائِكَتِي مَا جَزَاءُ الْأَجِيْرِ إِذَا عَمِلَ عَمَلَهُ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: إِلَهَنَا أَنْ تُوْفِيَهُ أَجْرَهُ فَيَقُوْلُ: إِنِّي أُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ جَعَلْتُ ثَوَابَهُمْ مِنْ صِيَامِهِمْ وَقِيَامَهُمْ رِضَائِي وَمَغْفِرَتِي اِنْصَرِفُوْا مَغْفُوْرًا لَكُمْ


Artinya, "Ketika hari raya idul fitri datang, para malaikat turun ke bumi. Kemudian mereka berhenti di sana seraya berseru yang suaranya didengar oleh seluruh makhluk kecuali jin dan manusia, mereka berkata, 'Wahai umat Muhammad! Keluarlah kalian menuju Tuhan Yang Maha Mulia, yang memberikan pahala dan ampunan dosa besar'.


Maka ketika kaum muslimin sampai pada tempat shalat mereka, Allah SWT berfirman kepada para malaikat-Nya: 'Wahai malaikat-Ku! Apakah balasan bagi orang jika telah selesai dari pekerjaannya?' Para malaikat menjawab, 'Tuhan kami, tentu ia diberikan upahnya'. Kemudian Allah berfirman, 'Saksikanlah, bahwa Aku memberikan pahala dari puasa dan shalat mereka dengan keridhaan dan ampunan-Ku. Pulanglah kalian semua dengan ampunan untuk kalian.' (HR. Anas bin Malik). Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda:


إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدِ الْفِطْرِ وَقَفَتْ المَلَائِكَةُ عَلىَ أَبْوَابِ الطُّرُقِ فَنَادَوْا اُغْدُوْا يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلَى رَبٍّ كَرِيْمٍ يَمُنُّ بِالْخَيْرِ ثُمَّ يُثِيْبُ عَلَيْهِ الْجَزِيْل لَقَدْ أُمِرْتُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَقُمْتُمْ وَأُمِرْتُمْ بِصِيَامِ النَّهَارِ فَصُمْتُمْ وَأَطَعْتُمْ رَبَّكُمْ فَاقْبِضُوْا جَوَائِزَكُمْ فَإِذَا صَلُّوْا نَادَى مُنَادٍ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ قَدْ غَفَرَ لَكُمْ فَارْجِعُوْا رَاشِدِيْنَ إِلَى رِحَالِكُمْ


Artinya, "Jika hari raya idul fitri telah tiba, para malaikat akan berbaris di pintu-pintu jalan sambil menyerukan: 'Wahai golongan umat Islam, segeralah berangkat kepada Tuhan Yang Maha Mulia. Dia akan menganugerahi kebaikan dan memberikan pahala yang besar. Sungguh, kamu telah diperintah untuk beribadah di malam hari, lalu kamu laksanakan. Kamu diperintah puasa siang hari, lalu kamu kerjakan. Kamu telah memenuhi seruan Tuhanmu, maka terimalah hadiahmu.


Kemudian ketika mereka sudah selesai menunaikan shalat (hari raya idul fitri), malaikat berseru kembali: 'Ketahuilah bahwa Tuhanmu telah mengampuni dosa-dosamu. Maka kembalilah ke perjalanan hidup kalian selanjutnya, sebagai orang-orang yang memperoleh petunjuk." (HR At-Thabrani). Ma'asyiral Muslimin jamaah salat Idul Fitri rahimakumullah Itulah jaminan-jaminan yang akan Allah swt berikan kepada kita semua yang telah berhasil menjalankan kewajiban puasa selama satu bulan Ramadhan, kemudian diakhiri dengan menunaikan shalat sunah Hari Raya Idul Fitri. Saat ini kita semua kembali menjadi hamba yang suci, yang telah mendapatkan ampunan dari-Nya.


Demikian khotbah Hari Raya Idul Fitri pada pagi hari ini. Semoga bermanfaat dan membawa keberkahan kepada kita semua, serta menjadi penyebab diterimanya semua amal ibadah yang kita lakukan selama bulan Ramadan.


بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَاِيَاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّدَقَةِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْاَنِ وَجَمِيْعِ الطَّاعَاتِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ جَمِيْعَ أَعْمَالِنَا إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Demikianlah 10 referensi khotbah Idul Fitri yang dapat Anda pelajari. Semoga informasi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi Anda terkhusus bagi yang ingin menambah wawasan seputar Idul Fitri.

Artikel ini ditulis oleh Ni Wayan Santi Arianidan dan Desak Made Diah Aristiani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(nor/nor)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads