Tulisan pertama: Kisah Para Pelacur Online di Pulau Dewata
Tulisan kedua: Kencan Singkat Berpindah Tempat
Tulisan ketiga: Penghubung Tamu dengan Pelacur
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tulisan keempat: Bertaruh Nyawa demi Komisi
Tulisan kelima: Lokalisasi Lokal Menolak Punah
Tulisan keenam: Redup Prostitusi di Pesiapan
Tulisan ketujuh: Beragam Cara Menangkal Prostitusi Online
Tulisan kedelapan: Belantara Penyebaran HIV-AIDS
Tulisan kesembilan: Prostitusi Online, Dampak Negatif dari Teknologi
Cahaya, bukan nama sebenarnya, menjadi pekerja seks komersial (PSK) online sejak usia 17 tahun. Untuk memasarkan jasanya, perempuan berusia 19 tahun ini menggunakan aplikasi MiChat. Tarif sekali kencan atau hingga tamu orgasme ialah Rp 600 ribu.
Untuk menarik para pria, Cahaya kerap mencantumkan petunjuk di akun MiChat miliknya. Kode yang dipasang antara lain, "cari cuan" dan "memuaskan". Saat ada tamu yang menghubunginya melalui aplikasi perpesanan itu ia akan membalasnya dengan kata fullser alias full service yang artinya layanan penuh selama berhubungan intim.
Cahaya melayani tamunya di sebuah hotel kecil. Para pria hidung belang itu bisa langsung menuju kamar kembang latar itu setelah menyepakati tarif dan jadwal berhubungan intim.
![]() |
Sosiolog Universitas Udayana Wahyu Budi Nugroho menyoroti dampak negatif dari pesatnya perkembangan teknologi komunikasi. Salah satu dampak buruknya ialah merebaknya prostitusi online karena pria hidung belang dan pekerja seks komersial (PSK) lebih mudah terhubung dengan beragam aplikasi perpesanan.
"Kemajuan teknologi tanpa sentuhan kemanusiaan hanya akan berdampak pada degradasi nilai-nilai kemanusiaan seperti penyebaran pornografi dan munculnya prostitusi online," kata Wahyu kepada detikBali Kamis (5/1/2023).
Menurut Wahyu, penyebab lain terus bertahannya bisnis esek-esek ialah karena frustasinya masyarakat. Dampaknya, ialah naiknya agresi masyarakat dan meningkatnya kebutuhan hasrat penyaluran seksual. Prostitusi kemudian menawarkan solusi dari masalah itu.
Wahyu menerangkan keberadaan prostitusi online diistilahkan dengan unsanctioned institution atau lembaga sosial yang tidak diharapkan dalam masyarakat. Masalahnya, bisnis esek-esek itu tetap hadir di masyarakat. "Lembaga semacam ini meskipun sebetulnya tidak diharapkan ada dalam masyarakat, tapi diam-diam tetap memiliki permintaan," ungkapnya.
Wahyu berpendapat upaya paling efektif untuk menghilangkan prostitusi online ialah dari kesadaran masyarakat sendiri. Apalagi, risiko kesehatan, HIV-AIDS, yang mengintai bagi pelacur maupun pria hidung belang akibat bergonta-ganti pasangan.
Kepolisian Daerah (Polda) Bali kesulitan mencegah prostitusi online. Sebab, para pelacur yang menggunakan beragam aplikasi seperti MiChat kerap berdalih hubungan intim dengan tamunya didasari suka sama suka.
Dampaknya, polisi tidak bisa mengenakan unsur tindak pidana eksploitasi. "Sekarang kebanyakan dia (PSK) jadi operator, pelaku, hingga korban," ungkap Kasubdit IV Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Bali AKBP Ni Luh Kompiang Srinadi.
Polisi juga kesulitan melacak akun media sosial para pelaucur di beragam aplikasi perpesanan. Sebab, kini mudah menghapus akun beragam aplikasi itu secara permanen. Meski demikian, Polda Bali terus berupaya mengungkap dan mencegah bisnis esek-esek itu.
Misalkan, razia di kos maupun hotel. "Berapa penindakan juga sudah kami lakukan," kata Srinadi. Namun, Polda Bali belum memiliki data yang memadai terkait prostitusi online di Pulau Dewata.
(nor/gsp)