Melihat Kampung Pecinan di Kawasan Gajah Mada Denpasar

Melihat Kampung Pecinan di Kawasan Gajah Mada Denpasar

I Wayan Sui Suadnyana - detikBali
Jumat, 20 Jan 2023 11:54 WIB
Kawasan heritage Jalan Gajah Mada, Denpasar, Bali, jelang perayaan Imlek 2023.
Kawasan heritage Jalan Gajah Mada, Denpasar, Bali, jelang perayaan Imlek 2023. (Foto: I Wayan Sui Suadnyana/detikBali)
Denpasar - Kawasan Jalan Gajah Mada Denpasar, Bali, kerap disebut sebagai kampung pecinan. Hal itu karena awalnya banyak dihuni oleh etnis Tionghoa.

"Dulu kan memang pusatnya pecinan di sini," kata I Wayan Gunawan atau Jero Gede Kuning saat ditemui detikBali di Klenteng Sing Bie, Kamis (19/1/2023).

Menurut Jero Gede Kuning, dahulu memang banyak warga keturunan Tionghoa yang menempati toko-toko di sepanjang Jalan Gajah Mada Denpasar untuk berjualan. Namun, toko-toko tersebut sudah banyak dijual sehingga ditempati oleh orang lain.

"Dulu kan banyak sekali. Belakangan sudah banyak terjual. Hanya beberapa keluarga, mungkin 10 kepala keluarga yang masih di sini di beberapa toko itu. Boleh dicek. (Kalau) di (Jalan) Kartini masih ada banyak," ungkapnya.

Meski tidak sebanyak dulu, kini masih ada beberapa etnis Tionghoa yang tinggal di sana. Misalnya di Gang II Jalan Kartini yang berada di balik tingginya bangunan-bangunan tua di pinggir Jalan Gajah Mada.

Dari gang sempit ini, suasana Chinatown yang berpadu dengan warisan kota tua lebih terasa. Lampion-lampion yang berukuran cukup besar juga tampak terpasang di sana.

Akulturasi Bali-Tionghoa

Kini di kawasan tersebut juga berdiri Kelenteng Sing Bie. Meski keberadaannya agak tersembunyi, kelenteng ini menjadi bukti eratnya akulturasi Bali dan Tionghoa di kawasan Gajah Mada Denpasar.

Selain memuja dewa-dewa dalam kepercayaan Konghucu, klenteng ini juga kerap didatangi umat Hindu di Bali. Masih di area klenteng, terdapat pura sebagai tempat penghayatan Ratu Mas Subandar, Bhatara Segara, hingga Ratu Gede Nusa.

"Ini sudah akulturasi sekali seperti ajaran di Bali. Ini mungkin yang sangat membedakan dengan klenteng-klenteng yang lain," kata Jero Gede Kuning yang juga pendiri Klenteng Sing Bie.

I Wayan Gunawan atau Jero Gede Kuning di Klenteng Sing Bie, di kawasan Jalan Gajah Mada, Denpasar.Foto: I Wayan Gunawan atau Jero Gede Kuning di Klenteng Sing Bie, di kawasan Jalan Gajah Mada, Denpasar. (I Wayan Sui Suadnyana/detikBali)

Menurut Jero Gede Kuning, Dewa Kwan Kong menjadi tuan rumah utama di Klenteng Sing Bie. Selain itu, ada berbagai rupang dewa-dewi lain yang juga disucikan, termasuk Dewi Kwan Im. Berbagai rupang dewa-dewi diletakkan di sebelah kanan Dewa Kwan Kong.

Sementara di sisi kirinya terdapat berbagai topeng (tapel) atau prarai Ratu Gede hingga Dalem Sidakarya yang biasanya disucikan oleh umat Hindu di Bali. Ada pula prarai dari Pura Desa lan Puseh Desa Adat Denpasar disimpan di klenteng tersebut.

"Klenteng kami termasuk kecil. Tapi apapun, besar atau kecil harus memberikan sesuatu kepada semesta bagaimana menjadikan satu Syiwa-Buddha itu. Bagaimana Syiwa-Buddha itu menyatu seperti leluhur-leluhur semua kita di Bali selalu berkait semua antara Syiwa sama Buddha. Inilah konsep dari pada klenteng ini," tutur Jero Gede Kuning.

Jero Gede Kuning mengungkapkan Klenteng Sing Bie hadir di tengah-tengah kampung pecinan di Kota Denpasar ketika dirinya mendapatkan petunjuk dari Bhatara Konco sekitar 2010 lalu. Saat itu, umat tiba-tiba memberikan rupang-rupang seperti yang ada saat ini. Dari sanalah kemudian dibangun klenteng.

"Kami selesaikan (pembangunan klenteng) ini dengan umat datang memberikan bantuan semua. Jadi ini diabdikan untuk kelestarian budaya kita, antara Syiwa-Buddha ini," terangnya.

Jero Gede Kuning menambahkan Klenteng Sing Bie merupakan satu-satunya di kawasan heritage Gajah Mada Denpasar yang terbuka untuk umum. Klenteng lainnya ada, namun sebagai tempat ibadah pribadi.

"Itu mungkin karena kehendak alam atau bagaimana pun di sini saja. Dan gang ini banyak ada sejarah orang-orang berdagang di sini," kata dia.

Ia menuturkan, umat kerap mendatangi Klenteng Sing Bie. Mereka datang untuk beribadah, terutama bagi penganut Syiwa-Buddha. Umat yang datang berasal dari seluruh Bali. Ada pula umat datang dari Jakarta dan bahkan dari Jepang.

"Umat dari Jepang begitu saja datang (dan) kami tidak tahu bahasa Jepang. Tiba-tiba dengan sesuatu hal akhirnya mereka datang dan diundang kami ke Jepang atas nama Beliau untuk menyebarkan Syiwa-Buddha di sana," tutur Jero Gede Kuning.


(iws/gsp)

Hide Ads