Mahasiswa Bali Gelar Demo Tolak 5 Pasal KUHP Baru

Denpasar

Mahasiswa Bali Gelar Demo Tolak 5 Pasal KUHP Baru

Ni Made Lastri Karsiani Putri - detikBali
Kamis, 08 Des 2022 20:06 WIB
Aksi demo di Patung Catur Muka Denpasar, Bali pada Kamis (8/12/2022) sore. Mereka yang mengaku sebagai gabungan dari masyarakat ini menolak tegas 5 pasal yang tercantum dalam KUHP yang baru disahkan pada beberapa waktu lalu. (Ni Made Lastri Karsiani Putri-detikBali)
Foto: Aksi demo di Patung Catur Muka Denpasar, Bali pada Kamis (8/12/2022) sore. (Ni Made Lastri Karsiani Putri-detikBali)
Denpasar -

Kurang lebih ada 30 orang melakukan aksi demo di Patung Catur Muka Denpasar pada Kamis (8/12/2022) sore. Mereka yang mengaku sebagai gabungan dari mahasiswa dan masyarakat ini menolak tegas 5 pasal yang tercantum dalam KUHP yang baru disahkan pada beberapa waktu lalu dan menganggapnya sebagai pasal bermasalah.

"Pertama, penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara (Pasal 240 Ayat 1), kedua, penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden (Pasal 218). Ketiga, penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi (Pasal 256)," kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana (Unud) Darryl Dwi Putra.

Kemudian, pasal lainnya yang pihaknya anggap bermasalah, yakni Pasal 100 tentang pidana mati dalam tubuh KUHP Baru dan Pasal 188 tentang larangan penyebaran paham selain Pancasila. Pihaknya menilai, dalam pasal penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara bahwa pasal tersebut dirasa membatasi masyarakat untuk menyampaikan kritik karena begitu banyaknya hal yang kemudian rawan dikriminalisasi dengan pasal tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami khawatir apabila pasal ini diberlanjutkan dan tetap disahkan dalam waktu kedepan kemudian keterlibatan masyarakat akan semakin sempit untuk menyampaikan kritik ini terhadap pemerintah," sebutnya.

Kemudian, pada pasal penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden, kata Darryl, menjadikan masyarakat semakin sedikit dalam menyampaikan aspirasinya. Dirinya pun menyebut hadirnya pasal tersebut banyak mengandung unsur kolonial dan seperti pada masa raja dengan sistem monarki.

ADVERTISEMENT

"Kemudian pasal penyelenggaraan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi pada Pasal 256, kami menilai pasal ini membuat masyarakat semakin sulit untuk menyampaikan aspirasinya meskipun banyak pelayanan publik. Termasuk apa yang kami laksanakan hari ini," ungkapnya.

Lalu, pada Pasal 100 tentang pidana mati dalam tubuh KUHP Baru, kata Darryl, telah jelas menyalahi asas kemanusiaan, yaitu hak untuk hidup bagi semua masyarakat. Kemudian, menurutnya, Pasal 188 tentang larangan penyebaran paham selain Pancasila juga dianggap rawan untuk dikriminalisasi.

"Begitu banyak hal yang dinilai licin untuk dipahami oleh masyarakat dan hari ini kami sebagai gabungan dari masyarakat hadir untuk menyampaikan penolakan Undang-undang KUHP. Kami berharap ke depannya kajian kami dapat menjadi penegasan bahwa walaupun hari ini jumlah kami sedikit, (ke depannya) akan terus ada dan berlipat ganda," ungkapnya.

Dari pantauan detikBali di lokasi, aksi demo tersebut dimulai pada pukul 17.00 Wita dan berlangsung kurang lebih hingga pukul 18.30 Wita. Selain membentangkan kain bertuliskan penolakan, beberapa orang tampak memegang kertas yang berisikan pesan-pesan dalam aksi tersebut.

Tak hanya itu saja, beberapa peserta aksi demo juga turut membagikan bunga mawar kepada beberapa pengendara yang melintas di kawasan Patung Catur Muka Denpasar.

"Bunga mawar menjadi simbol tanda kesedihan dan kedukaan kami terhadap sibuknya DPR untuk segera mengesahkan KUHP ketimbang melibatkan partisipasi yang begitu bermakna. Setelah ini saya juga mengimbau kepada masyarakat, siapapun punya hak demokratis untuk menyampaikan penolakannya," katanya.

Dirinya pun menuturkan, aksi demo yang dilakukan pada sore hari tersebut bukanlah diperuntukkan kepada pemerintah. Namun, sengaja ditunjukkan kepada masyarakat sebagai bentuk dukungan bagi masyarakat jika masyarakat merasa Undang-undang KUHP baru dinilai bermasalah, maka masyarakat tidak akan merasa sendiri, mengingat kurang lebih ada 30 orang yang juga menolak undang-undang tersebut.




(nor/dpra)

Hide Ads