Dalam acara peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) Tahun 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melepasliarkan 3 ekor lumba-lumba hidung botol di Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Bali. Ketiga lumba-lumba itu dilepasliarkan setelah tujuh hingga delapan tahun menjadi pameran di Taman Satwa Melka di Singaraja, Bali.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menekankan bahwa penyelamatan satwa harus terus diupayakan menggunakan metode yang mengacu pada rules based, scientific based dan evident based, untuk bisa menjadi referensi di masa depan.
"Kerjasama antara KLHK dengan mitra dalam penyelamatan satwa juga harus dilakukan untuk mencapai tujuan negara dalam melindungi dan memulihkan keanekaragaman hayati Indonesia," ungkap Siti Nurbaya dalam siaran pers yang diterima detikBali, Senin (5/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiga Lumba-lumba hidung Botol yang telah melalui proses rehabilitasi ini, berjenis kelamin jantan berumur 15-20 tahun bernama Rocky, sedangkan lumba-lumba Jhony dan Rambo berumur 30 tahun. Lumba-lumba hidung botol ini pada mulanya merupakan satwa koleksi dari Taman Satwa Melka di Singaraja, Bali.
Kepala BKSDA Bali Agus Budi Santosa mengatakan bahwa pada tahun 2019, bekerjasama dengan Jaringan Satwa Indonesia (JSI) dan Taman Nasional Bali Barat (TNBB), memindahkan ketiga lumba-lumba tersebut ke keramba (Sea Pen) rehabilitasi dan perawatan di teluk Banyuwedang, perairan laut TNBB.
"Proses rehabilitasi yang dilakukan di Sea Pen berukuran 30x20x13 meter bertujuan untuk mengembalikan kesehatan dan sifat liarnya agar dapat dilepasliarkan kembali ke habitat alaminya," ungkap Agus Budi.
Sebelum dilepaskan, ketiga lumba-lumba itu dilatih selama tiga tahun untuk mencari makan sendiri di alam.
Tahap awal masih diberi makan ikan mati utuh, kemudian ikan hidup, sampai kepada penghentian sama sekali pemberian makan, namun diciptakan ekosistem buatan (Sea Pen) mendekati ekosistem alaminya. Di mana ikan-ikan hidup bisa ditangkap dan dimakan sendiri oleh lumba-lumba hidung botol tersebut.
Ketiga lumba-lumba dipasang GPS yang akan terlepas sendiri 1 tahun kemudian, sehingga keberadaannya dapat dipantau melalui satelit. Selanjutnya monitoring pasca pelepasliaran akan tetap dilakukan baik menggunakan radiometri dan sonar serta pemantauan secara faktual.
(nor/nor)