Sidang perkara suap Dana Insentif Daerah (DID) Tabanan tahun anggaran 2018 dengan terdakwa mantan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti, berlanjut dengan agenda mendengarkan keterangan ahli, Kamis (4/8/2022). Dalam sidang tersebut, pihak terdakwa menghadirkan ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Dr Mudzakkir.
Ia diminta pendapatnya terkait pasal-pasal yang diterapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam surat dakwaan dan beberapa hal penting yang berkaitan dengan perkara. Salah satunya, Mudzakkir diminta pendapatnya terkait perintah seorang kepala daerah kepada stafnya masuk ke dalam delik pidana melakukan permufakatan jahat.
"Parameternya harus hukum administrasi," kata Mudzakkir saat menjawab pertanyaan yang diajukan salah seorang penasihat hukum Eka Wiryastuti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perintah dalam hukum administrasi, sambung Prof Mudzakkir, merupakan perintah yang sah dan tidak bisa dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana. "Perintah itu linear dengan jabatannya," lanjutnya.
Ia menambahkan, perintah berkoordinasi bila dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip penyelanggaran pemerintahan yang bersih, tidak menjadi masalah. Terkecuali perintah itu menyuruh melakukan kejahatan.
"Kalaupun diplesetkan (melampaui yang diperintahkan), itu menjadi tanggung jawab yang bersangkutan (penerima perintah)," ujarnya.
Dalam sidang sebelumnya, terdakwa Eka Wiryastuti membantah memberi perintah khusus kepada mantan staf khususnya, Dewa Nyoman Wiratmaja (terdakwa dalam berkas terpisah), untuk mengurus DID.
Ia hanya mengaku memberi perintah kepada Dewa Wiratmaja untuk melakukan koordinasi dengan jajaran OPD (organisasi perangkat daerah) di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan saat dirinya masih menjabat bupati.
Hal ini ditegaskan lagi oleh Eka Wiryastuti usai menjalani sidang. Ia mengatakan, perintahnya selaku bupati kepada mantan staf khususnya itu hanya bersifat koordinasi.
"Diperbantukan untuk melakukan koordinasi. Urun rembug seperti itu. Dan itu sudah dipertegas ahli tadi," ujarnya menjelang kembali ke ruang tahanan Polda Bali.
Kalaupun, sambungnya, perintah koordinasi itu digunakan untuk hal-hal yang lain, itu bukan tanggung jawabnya.
"Sekali lagi koordinasi itu digunakan untuk hal yang lain itu di luar kewenangan saya. Kalaupun ada calo yang dekat-dekati dia (terdakwa Dewa Wiratmaja) juga bukan kewenangan saya," tegasnya.
Karena itu, ia meminta untuk melihat perkaranya sesuai duduk permasalahan dan bukan dicampur aduk. "Termasuk uang yang dikasih Dewa (kepada Yaya Purnomo dan Rifa Surya) saya tidak tahu," pungkasnya.
Selain Eka Wiryastuti, terdakwa Dewa Wiratmaja juga menjalani sidang dengan agenda yang sama. Dalam sidangnya yang berlangsung lebih awal dari Eka Wiryastuti, penasihat hukum Dewa Wiratmaja meminta pendapat ahli yakni dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Dr. Gde Made Suwardana.
Di pihak lain, tim JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pendapat ahli yakni Dr. Noor Aziz Said, dosen di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Hanya saja, karena faktor usia dan dalam kondisi sakit, ia tidak bisa dihadirkan secara langsung. Sehingga pendapatnya disampaikan secara tertulis kepada majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar.
(iws/iws)