Selain mengaku tidak mengetahui adanya dana adat istiadat, mantan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti, juga mengaku tidak pernah memerintahkan staf khususnya, Dewa Nyoman Wiratmaja, ke Jakarta untuk mengurus Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan tahun anggaran 2018.
Keterangan Eka Wiryastuti itu muncul saat menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengenai upaya terdakwa Dewa Wiratmaja mengurus DID di Jakarta pada 2017 lalu.
"Tidak (pernah) ada perintah," kata Eka Wiryastuti, saat menjadi saksi untuk terdakwa Dewa Wiratmaja dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar pada Selasa (2/8/2022) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demikian juga saat proses pengurusan DID berjalan melalui komunikasi antara Dewa Wiratmaja dengan dua mantan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Yaya Purnomo dan Rifa Surya, ia mengaku tidak pernah menerima laporan.
"Di luar sepengetahuan saya. (Laporan) tidak ada disampaikan (terdakwa Dewa Wiratmaja)," sebutnya.
Sebelum memberikan keterangan itu, Eka Wiryastuti juga sempat dicecar soal kondisi keuangan Kabupaten Tabanan di 2017 yang disebutkan mengalami defisit. Ia menyebutkan, sebetulnya anggaran saat itu tidak defisit.
Namun potensi defisit itu ada bila kebutuhan yang dianggarkan tidak terpenuhi. Karena itu, saat menjabat sebagai bupati, ia meminta agar ada restrukturisasi belanja daerah.
"(Belanja daerah) dikurangi dan meningkatkan pendapatan. Ini dalam rancangan APBD diupayakan untuk terpenuhi," katanya.
Menurutnya, potensi defisit saat itu terjadi akibat bertambahnya kebutuhan hibah dan tunjangan DPRD Tabanan. Upaya untuk mencegah potensi defisit itu kemudian dilakukan dengan memaksimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dan retribusi.
"Untuk mengurangi beban belanja daerah," sambungnya.
Ketika ditanya JPU soal upaya untuk memperoleh sumber pendapatan dari pemerintah pusat, ia menyebutkan bahwa dana-dana dari pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) telah diatur pengalokasian dan penggunaannya.
"Yang urgen (penting) di dalam dulu. Bagaimana merancang keuangan daerah," jelasnya.
Ia mengaku mengenal istilah DID karena Kabupaten Tabanan saat ia pimpin sudah pernah mendapatkannya. Seingatnya DID sudah pernah diperoleh Tabanan sejak tahun anggaran 2014, 2015, 2016, dan 2017.
Parameter untuk mendapatkan DID yang dianggap sebagai reward, menurutnya, tinggal mengikuti apa yang diprogramkan pemerintah pusat. "Terlepas dapat reward atau tidak, kami selalu melalui auditor maupun inspektorat mendorong kinerja terbaik," jelasnya.
Disinggung soal perlukah proposal untuk mengurus DID? Eka Wiryastuti mengaku sepengetahuannya tidak perlu sepanjang proses yang dilakukan memenuhi tiga syarat utama, yakni opini WTP atau wajar tanpa pengecualian, penyusunan APBD tepat waktu, dan penerapan e-Government.
"Prosesnya tetap mengikuti syarat utama," ujarnya.
Saat JPU bertanya apakah wajar atau tidak perolehan DID Kabupaten Tabanan yang melonjak signifikan pada tahun anggaran 2018 menjadi Rp 51 miliar. Eka tidak memberi jawaban spesifik.
"Saya tidak lihat wajar atau tidak wajar. Saya jadi bupati berusaha melakukan yang terbaik. Apa yang diarahkan pusat itu saya lakukan. Penuhi saja syaratnya. Apa yang jadi tolak ukur yang diperlukan, tinggal dipenuhi," pungkasnya.
(irb/kws)