"Kami sudah sepakat kami tidak menolak LNG, kami cuma menolak lokasi yang tidak tepat terhadap posisi penempatan," kata Ketua Kelompok Nelayan Pica Segara Sanur I Nyoman Dana Atmaja saat ditemui detikBali di Pantai Mertasari, Desa Adat Intaran, Rabu (6/7/2022).
Dana menuturkan, pihaknya di Kelompok Nelayan Pica Segara Sanur turut menolak keberadaan lokasi terminal LNG karena trauma dengan proyek reklamasi Pulau Serangan. Reklamasi Pulau Serangan yang melakukan pengerukan (dredging) sangat dirasakan dampaknya oleh nelayan Sanur.
"Kami sudah merasakan saat adanya reklamasi (Pulau Serangan) yang terjadi dulu. Reklamasi serangan kami sangat merasakan sekali dampak daripada dredging itu. Nah sekarang kalau wacananya seperti itu sama ini dalam juga pembuatan dredging juga artinya pengerukan, nah dampaknya terhadap kami jelas," ujar Dana.
Reklamasi Pulau Serangan menimbulkan debu di bawah laut yang luar biasa dan tidak serta-merta bisa hilang begitu saja. Debu akibat pengerukan reklamasi Pulau Serangan berpengaruh hampir selama empat tahun.
Dana mengungkapkan, pengaruh debu tersebut menyebabkan nelayan pesisir kesulitan mencari ikan. Sebab, secara otomatis ikan tidak ada yang keluar karena lokasinya di pesisir pantai tidak layak ditempati. Selain itu, tanaman di bawah laut juga mati akibat tertimbun debu. Situasi yang serupa ditakutkan terjadi lagi oleh nelayan Sanur jika terdapat proyek terminal LNG.
"Nah kalau itu terjadi lagi otomatis kami merasakan lagi derita. Padahal ini baru mulai tahun 2017 mulai pulih kembali, tapi dalam konteksnya bukan pulih secara sempurna karena baru perlahan-lahan," tuturnya.
Dana menuturkan, baru beberapa hari lalu dirinya bersama masyarakat lain di Desa Sanur Kauh turun untuk melakukan penanaman terumbu karang. Saat itu, dirinya menjumpai baru mulai tumbuh berbagai terumbu karang yang lebih dekat dari kawasan pesisir.
"Itu baru mulai di kelihatan jentik-jentiknya, yang di bawah seperti (terumbu karang jenis) polip-polip yang kami bilang dulu itu. Itu baru sekali kami melihat ada pertumbuhan. Nah otomatis kan begitu start baru seperti itu nanti ada wacana seperti ini (proyek terminal LNG), kalau terjadi itu, kami pasti menderita lagi. Nah itu yang kami tidak mau. Itulah alasan kami sebenarnya tidak setuju," jelasnya.
Sepakat dengan Adat
Ketua Kelompok Nelayan Pica Segara Sanur I Nyoman Dana Atmaja saat ditemui detikBali di Pantai Mertasari, Desa Adat Intaran, Rabu (6/7/2022). Foto: I Wayan Sui Suadnyana
|
"Apapun yang namanya kami berbuat kami bergerak di situ, bukan atas perintah dari pada seorang bendesa adat. Cuma hati nurani kami sama dengan aparat desa (adat) kami, kami merasa bukan dirugikan material, bukan. Tapi dirugikan secara sadar lingkungan hidup kami, terutama lingkungan hidup yang kami rasakan bertahun-tahun rusak," paparnya.
Baginya, kerusakan lingkungan hidup di laut sama saja sebenarnya dengan di daratan. Jika misalnya di darat hutan dibabat maka berbagai biota-biota di sekitarnya bisa hilang. Situasi itu sama persis dengan terjadi di laut, begitu lautnya rusak maka biota pun hilang dan tanaman di sekitarnya pun hancur.
Dana mengaku pihaknya di nelayan merasa dirugikan dengan rencana proyek terminal LNG di kawasan mangrove, terlebih juga akan melakukan pengerukan pasir laut seluas 5 hektar. Kerugian yang dimaksud karena pihaknya telah berbuat dari dulu untuk memelihara kehidupan laut sehingga mendapatkan kehidupan dari sana. Apalagi, pihaknya adalah masyarakat nelayan yang di pinggiran yang memanfaatkan pinggiran laut dekat.
"Karena kami merupakan nelayan yang bukan nelayan yang jauh pergi mencari ikan ke tengah. Hanya beberapa di antara kami sebagai kelompok nelayan yang bisa ke tengah karena fasilitas. Sekarang yang lebih banyak adalah nelayan kecil yang menggantungkan dirinya dari kehidupan sumber daya di laut yang lebih baik. Nah itu yang kami sebenarnya kami tidak setuju dengan keberadaannya wacana LNG tersebut," kata dia.
Di sisi lain, Dana menegaskan bahwa upaya penolakan yang dilakukan oleh pihaknya dalam menolak lokasi terminal LNG bukan berarti menentang pemerintah, tetapi hanya menentang kebijakan. Kebijakan ditentang karena proyek LNG sudah ditetapkan di Pelabuhan Benoa tetapi malah dipindah ke kawasan mangrove.
"Kenapa yang sudah ditetapkan di Benoa (pelabuhan-red) kenapa bisa pindah. Kan itu yang kami tidak pahami sekali masyarakat kecil yang tidak tahu hukum segala macam. Ya kami berjuang cuma bisa melalui gerakan. Gerakan ini sudah barang tentunya bukan semata-mata kami menentang pemerintah, bukan. Tapi semata-mata cuma mempertahankan kelanjutan hidup kami di masyarakat kecil," terangnya.
Menurut Dana, hal itu dilakukan karena sebagian besar masyarakat Desa Adat Intaran menggantungkan hidup di pertanian kelautan, bukan lagi di pertanian darat. Sebab lahan pertanian darat sudah tipis sekali di Kota Denpasar sehingga masyarakat lebih memilih bergantung ke laut untuk mencari penghasilan.
"Karena di darat sudah bersama-sama kita tahu di Denpasar sudah tipis sekali, tidak mungkin lah kami berebut di sana lagi. Yang kami bisa rebut dari lokasi ini adalah pantai, karena luas, belum ada perubahan-perubahan yang signifikan. Sekarang ada perubahan seperti ini (proyek terminal LNG) ya jelas sekali kami merasa prihatin sekali karena selama bertahun-tahun reklamasi (Pulau Serangan) itu kami dari satu sisi abrasi yang sangat luar biasa," paparnya.