Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali mendesak DPRD Bali mengeluarkan kajian soal tawaran solusi alternatif pembangunan terminal khusus gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) agar tidak mengganggu kawasan mangrove. Dewan Bali sebelumnya melontarkan solusi alternatif agar proyek tersebut dibangun di lepas pantai. Kemudian pipanya ditanam di bawah akar mangrove.
"Itu harus dijelaskan, pastinya dengan kajian-kajian," kata Direktur Eksekutif Walhi Bali Made Krisna Dinata saat ditemui wartawan di Pantai Mertasari, Desa Sanur Kauh, Denpasar, Selasa (28/6/2022).
Krisna meminta agar kajian terkait solusi atas polemik pembangunan terminal LNG di kawasan mangrove bisa disampaikan kepada publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kan saya pikir kalau umpamanya mereka mengutarakan sesuatu, pastinya sudah ada kajian dong. Nah itu harus di-share ke publik supaya publik tahu dampak ekosistem yang ditimbulkan, utamanya di laut itu seperti apa," pinta Krisna.
Seperti diketahui, Ketua Panitia Khusus Rancangan Peraturan Daerah (Pansus Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2022-2042, Anak Agung Ngurah Adhi Ardhana menyarankan agar fasilitas storage dan regasi unit terminal LNG dibangun di lepas pantai. Kemudian pipa gas dipasang di bawah akar mangrove. Selain itu, Fraksi PDIP DPRD Bali juga menawarkan agar ada pengembalian mangrove yang terdampak atas proyek tersebut.
Terkait tawaran rencana penanaman atau pengembalian mangrove tersebut, Krisna mengaku tidak percaya. Sebab, berdasarkan pengalaman-pengalaman dari proyek sebelumnya, janji pengembalian mangrove itu tak dilaksanakan.
Krisna mencontohkan, pembabatan hutan mangrove untuk pembangunan Jalan Tol Bali Mandara beberapa tahun lalu. Waktu itu, ada sekitar 2 hektare mangrove yang dibabat dan hingga kini tidak ada pengembalian. Pemulihan mangrove memang sempat dilakukan, namun tidak tumbuh.
Tak hanya itu, menurut Krisna, Bali juga kehilangan hutan mangrove akibat proyek reklamasi yang dilakukan oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III. Luas mangrove yang mati pada saat itu mencapai 17 hektare dan tidak ada upaya pengembalian. Pemerintah Provinsi Bali pun, kata dia, tidak memberikan sanksi tegas terkait pembangunan yang merusak lingkungan tersebut.
"Kita ini tegas menolak pembangunan terminal LNG di kawasan mangrove," tandas Krisna.
(iws/iws)