Ni Wayan Nodri, atau yang akrab disapa Men Badung, menjalani kesehariannya dengan berjualan sembako di Pasar Sukawati, Gianyar, Bali. Kendati usianya sudah senja, perempuan 78 tahun itu tetap cekatan melayani pelanggan.
Setiap hari, ia mengemas beras, telur, susu, kacang hijau, gula, hingga kopi secara repetitif. Jika ada barang yang terlalu berat, pelanggan diminta mengambil sendiri. Tak banyak yang tahu bahwa perempuan ini adalah legenda dalam dunia seni pertunjukan Bali.
Perjalanan Menjadi Dalang Perempuan
Men Badung dikenal sebagai dalang luh atau dalang perempuan pertama di Bali. Perjalanannya memasuki dunia pedalangan dimulai setelah kehilangan suaminya, I Ketut Madra, pada 1979.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suaminya, yang seorang guru sekaligus dalang, adalah tulang punggung keluarga.
"Saat kematian suami, saya tidak lama bersedih. Sudah langsung kepikiran anak. Memutar otak untuk cari biaya hidup. Saya putuskan jadi dalang," tuturnya saat ditemui detikBali di warung sembakonya, Jumat (8/3/2025).
Men Badung berasal dari keluarga seniman dalang. Selain terbiasa melihat suaminya berlatih mendalang, ia juga belajar dari adik laki-lakinya.
Dalam beberapa bulan, ia sudah bisa tampil di desanya. Kehadirannya sebagai dalang luh sempat mengejutkan masyarakat yang menganggap profesi ini identik dengan laki-laki.
![]() |
Menjadi Dalang Perempuan Terbaik
Eksistensi dalang luh semakin diakui sejak festival dalang perempuan pertama di Bali pada 1980. Saat itu, nama Ni Wayan Nodri keluar sebagai juara pertama.
Men Badung terus mengembangkan kariernya dan tampil di Jerman serta Jepang pada 1985. Penampilannya di panggung internasional semakin menegaskan bahwa dalang perempuan dapat sejajar dengan dalang laki-laki.
Sepanjang 2007-2020, empat gelaran seni wayang di Bali juga menampilkan dalang luh. Peran besar dalam pengembangan seni pedalangan ini didukung oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Majelis Pertimbangan Seni dan Budaya (LISTIBYA), SMKN 3 Sukawati (Kokar Bali), serta sanggar-sanggar seni di Bali.
Tantangan Dalang Perempuan
Meskipun telah meraih kesuksesan, seni pedalangan mengalami kemunduran sejak masuknya televisi ke Bali pada 2000-an. Minat masyarakat terhadap pertunjukan wayang semakin berkurang.
"Masyarakat sekarang lebih memilih menonton TV daripada menonton gelaran seni wayang. Bahkan, minat untuk belajar mendalang dari masyarakat lokal juga tidak ada," ujarnya.
Menurutnya, justru wisatawan asing lebih tertarik mempelajari wayang di sanggar seni milik anaknya dibandingkan masyarakat lokal.
Dalang perempuan juga menghadapi tantangan lebih besar. Selain minimnya undangan mendalang, faktor biologis seperti menstruasi menjadi kendala.
"Memainkan wayang itu sakral. Harus sembahyang dulu supaya Tuhan menyertai. Tidak boleh juga mendalang saat menstruasi. Kalau tiba-tiba datang bulan, undangan mendalang jadi batal," katanya.
(dpw/dpw)