Putu Wahyu Putra Sudianta mendirikan Komunitas Larajiva untuk mewadahi kawan-kawan tuli belajar menari Bali. Pria tuli lulusan sarjana tari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar (kini ISI Bali) itu tergerak melestarikan tari Bali setelah menyaksikan pementasan tari di pura pada usia 10 tahun.
Wahyu menuturkan pengalaman masa kecil turut mendorongnya mendirikan Komunitas Larajiva. Sebagai penyandang disabilitas, ia pernah dijauhi oleh teman-temannya karena sulit untuk berkomunikasi.
"Saya juga ingin teman-teman tuli untuk menyalurkan bakatnya lewat Komunitas Larajiva. Sehingga ada wadah untuk kami berkumpul dan mengembangkan kreativitas," kata Wahyu kepada detikBali, Kamis (20/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain mempelajari tarian tradisi, pria berusia 24 tahun itu juga mendalami tari kontemporer sejak kuliah di ISI Denpasar. Tarian pertama yang dia ciptakan bertajuk Tari Larajiva. Melalui tarian yang diciptakan pada 2021 itu, Wahyu lebih banyak menampilkan gerakan ekspresif.
Tari Larajiva menjadi semacam curahan hati Wahyu sebagai difabel tuli. Menurut Wahyu, Lara berarti sedih atau kecewa dan jiva berarti jiwa.
"Larajiva mencerminkan perasaan terdiskriminasi yang kami alami sebagai tuli," jelas Wahyu belum lama ini.
"Kami bisa membuat hal tersebut sebagai motivasi serta mengubah rasa sedih itu menjadi kebahagiaan melalui seni," imbuhnya.
Tari ciptaan Wahyu lainnya bertajuk Asah Asih Asuh. Pada tarian itu, Wahyu menggunakan memanfaatkan bebunyian dari tubuhnya untuk merasakan tempo. Hingga kini, koreografer tuli dengan tinggi semampai itu juga menciptakan karya lainnya, yakni Tari Dewa Baruna, Tari Brumbun, dan Tari Sekatubi.
Wahyu mengungkapkan tak mudah menciptakan dan mengajarkan tarian kepada anggota Sanggar Larajiva. Bahkan, ia sempat kebingungan ketika menggunakan kode lantaran banyaknya gerakan dalam satu tari yang harus diingat.
![]() |
Sejak itu, Wahyu mulai mencoba membuat bahasa isyarat agar gerakannya bisa ditirukan oleh teman tuli yang ingin belajar menari darinya. Terlebih, gerakan tari Bali lebih banyak melibatkan gestur. Ia pun semakin tertantang karena harus memberikan banyak kode kepada sesama tuli di Komunitas Larajiva.
Misalkan saat tangan Wahyu bergerak dari bawah ke atas, artinya kaki harus diangkat. Jika tangan wahyu bergerak dari bawah ke atas berulang kali, maka murid-murid Wahyu harus melakukan gerakan tersebut secara berulang. Dalam tari Bali laki-laki, gerakan kaki berulang-ulang itu disebut malpal.
Masih banyak lagi kode yang harus disiapkan Wahyu secara konsisten untuk banyak tarian. Termasuk isyarat untuk gerakan tangan dan kepala.
Selain mengajarkan tari Bali, Wahyu juga menjadikan Komunitas Larajiva sebagai ruang bagi teman tuli untuk berbagi pengalaman dan saling mendukung. Saat ini, komunitas yang didirikan Wahyu itu memiliki 20 anggota.
Saat ini, Wahyu sedang menggarap tarian untuk ujian tesis S2. Ia termotivasi untuk terus berkarya karena kecintaannya terhadap seni olah tubuh itu. Bagi Wahyu, menari membuatnya bahagia.
"Saya bisa tahu irama dan keindahan melalui gerakan tangan. Terutama jari jemari dan bahasa tubuh," imbuh pria yang tinggal di Banjar Telanga Darmasaba, Abiansemal, Badung, Bali, itu.
Wahyu menuturkan anak-anak Larajiva kerap diundang pentas di berbagai acara. Mereka mempunyai jadwal pentas rutin maupun pementasan khusus pada hari-hari tertentu. Sebagian hasil dari pementasan tari itu dibagikan untuk teman-teman tuli yang tampil dan sebagian untuk kas komunitas.
"Harapan saya, ke depan Komunitas Larajiva ini semakin berkembang dan bisa bermanfaat untuk semua kalangan. Baik yang disabilitas maupun masyarakat umum," imbuhnya.
Kiprah Wahyu dalam dunia tari diganjar beragam penghargaan. Antara lain, juara I lomba Tari Baris Tunggal dalam rangka HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-68 pada 2013; juara II lomba Tari Truna Jaya dalam rangka hari Disabilitas Internasional 2019; dan juara I lomba Tari Dayak Melihat Dunia dalam acara Talenta Tunarungu/Tuli Indonesia Via Virtual 2021.
(iws/iws)