Jam tepat menunjukkan pukul 12.00 Wita. Terik panas matahari kala itu cukup menyengat di kawasan Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali.
Jalan penghubung Kabupaten Gianyar dengan Bangli itu tampak tidak terlalu ramai seperti biasanya, mungkin karena cuaca panas yang membuat orang ogah berlama-lama di jalanan.
Di jalan itu terdapat sebuah bangunan yang sekilas mirip warung makan pada umumnya. Namun siapa sangka, di balik tembok bangunan warung terdapat 'rumah' bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekitaran Ubud.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sana, seorang wanita muda bernama Ni Nyoman Menti (26) mengelola yayasan nirlaba bernama Sari Hati. Total sudah 8 tahun Menti melayani dan bekerja di kantor yang berada di Jalan Tebongkang No. 39, Singakerta, Ubud, Bali itu.
"Sari Hati ini adalah tempat yang menurut saya luar biasa. Karena menaungi anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak hanya memiliki satu kondisi. Kebanyakan dari mereka ini tidak diterima di masyarakat," ucap Menti saat di wawancarai detikBali, Rabu (31/1/2024).
Menti menjelaskan bagaimana dia bersama 12 pekerja lainnya berusaha berikan tempat yang layak bagi anak-anak 'spesial' ini dengan suka cita tanpa pamrih. Di tempat ini, anak-anak itu diajarkan kemandirian dan keterampilan dasar untuk menjadi bekal ketika mereka lulus.
Sebanyak 46 anak berkebutuhan khusus itu dikelompokkan menjadi tiga grup sesuai tingkat kemandiriannya, yaitu kelas besar, kecil besar, dan kecil junior.
Dimana untuk tingkat kelas kecil dibutuhkan perhatian lebih dan didampingi langsung oleh pekerja di Sari Hati. Anak-anak ini berasal dari beberapa kecamatan di Kabupaten Gianyar yaitu Ubud, Tegalalang, dan Payangan.
![]() |
"Kalau untuk kegiatannya (di kelas) itu cukup banyak ya, karena fokus anak-anak spesial ini limited. Jadi kami menyiapkan program yang berbeda tiap minggunya untuk menarik minat mereka. Tapi masih dengan tujuan untuk melatih kemandirian, jadi kami menyesuaikan dengan melihat juga kemampuan mereka, lebih ke art dan music, tapi kembali lagi, kami melihat masing-masing anak," ujarnya.
Program terapi dan materi di Yayasan Sari Hati yang sudah ada sejak 2003. Terapi dan materi diadakan empat kali tiap minggunya dan dimulai dari pukul 10.00-15.00 Wita. Aktivitas fisik seperti olahraga ringan dan yoga menjadi pembuka kegiatan anak-anak ini.
Keprihatinannya akan nasib anak berkebutuhan khusus yang kurang mendapat tempat di masyarakat membuat wanita asal desa Tegalalang, Ubud Bali ini, tergerak hatinya. Ia pun mencoba merangkai kembali memori yang membuatnya rela menghabiskan masa mudanya di dunia hospitality.
"Jadi diawal kenapa Sari Hati didirikan, karena di Bali anak-anak berkebutuhan khusus tidak begitu diperlihatkan atau orang tua masih merasa malu memiliki anak berkebutuhan khusus ini. Mereka masih percaya anaknya lahir karena karma buruk sebelumnya, sehingga di kehidupan sekarang ini terlahir memiliki anak berkebutuhan khusus," ungkap Menti.
Meski banyak orang tua yang menyatakan seperti itu, tetapi secara keilmuan, kata Menti, anak-anak ini bukan lahir karena ilmu hitam atau lain sebagainya. Karena sering melihat anak-anak berkebutuhan khusus dikucilkan, mulailah Menti mendirikan grup untuk mereka dengan nama Grup Riang Gembira.
Menti menuturkan awal mula dirinya ikut sebagai volunteer di tahun 2016. Perlakuan tulus dan kehangatan anak-anak yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, membuatnya perlahan jatuh cinta dengan kegiatan sosial di Sari Hati itu.
![]() |
"Mungkin karena saya berasal dari keluarga broken home yang tidak tahu bagaimana rasa cinta dan kasih sayang yang sebenarnya. Sehingga awal ketemu, mereka selalu senyum, they're really pure, they cannot pretend," ujar Menti dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Dari anak-anak inilah, Menti muda mulai bisa berdamai dengan masa lalunya dan mendapatkan 'rumah baru' di Sari Hati. Secara resmi pada 2018 Menti bekerja secara tetap dan lambat laun dipercaya menjadi ketua yayasan.
Pengelolaan sebuah yayasan non-profit menurut Menti tidaklah mudah. Banyak pro kontra dan tantangan yang dihadapinya.
Mulai dari mencari sumber dana, akses informasi yang tidak merata, dan minimnya edukasi masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Ia pun berharap ke depannya lingkungan bisa menerima anak-anak ini seperti anak pada umumnya.
"Besar harapan saya dan tim di sini untuk ke depannya bisa memberikan ruang bagi mereka yang masih di luar sana bisa menerima fasilitas yang kami berikan. Karena saya berprinsip bukan tentang berapa banyak anak yang kami punya, tapi tentang fasilitas yang bisa kami berikan ke mereka dan bagaimana kami bisa berkembang bersama mereka," tutupnya.
![]() |
(nor/nor)