Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut, mengatakan bahwa data dari hasil monitoring dan aduan, terjadi peningkatan praktik penyiksaan yang terjadi di Sumut. Tahun 2021, mereka mendapat 8 aduan penyiksaan, tahun ini meningkat menjadi 13 kasus.
"Secara angka mungkin tidak signifikan, tetapi sesungguhnya bisa lebih dari itu, hanya saja praktik penyiksaan biasanya terjadi dalam ruang yang gelap (ruang introgasi), tidak ada saksi dan sulit mencari bukti, selain itu adapula keengganan korban untuk mengungkapkan kasus itu," kata Rahmat Muhammad, Staf Kajian dan Penelitian KontraS Sumut, Minggu (26/6/2022).
Hal itu diungkapkan Rahmat saat berbincang dengan detikSumut dalam rangka memperingati Hari Anti Penyiksaan yang jatuh pada tanggal 26 Juni setiap tahunnya.
Dalam catatan KontraS Sumut, Rahmat menuturkan bahwa kepolisian masih menjadi aktor yang paling sering melakukan praktik penyiksaan tersebut. Padahal Indonesia sudah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan, sudah seharusnya praktik tersebut ditinggalkan.
"Negara modern sudah meninggalkan praktik penyiksaan, penggunaan cara ini dalam proses hukum di Indonesia menandakan bahwa penegakan hukum kita masih usang, dengan diratifikasinya konvensi menentang penyiksaan menjadi UU No. 5 Tahun 1998 sudah sepatutnya kita meninggalkan praktik ini," tegas Rahmat
Rahmat menambahkan, sesungguhnya kepolisian juga memiliki instrumen yang ketat dalam proses penyelidikan dan penyidikan, selain itu mereka memiliki Perkap No. 8 tahun 2009 Tentang Implementasi Hak Asasi Manusia (HAM) yang membatasi ruang gerak pelanggaran HAM dalam tindakan mereka.
"Harusnya Perkap No. 8 tahun 2009 tentang implementasi HAM membatasi ruang pelanggaran HAM itu, tetapi tetap saja mengejar pengakuan dengan menyiksa masih menjadi cara untuk mengungkap kasus," ucapnya.
Angka kematian di Rumah Tahanan Polisi tinggi, apa penyebabnya? Baca selanjutnya...
Simak Video "Video: Datangi Polda Metro, KontraS Desak Pencarian 2 Pria Hilang Usai Demo "
(bpa/bpa)