Ada beberapa nama pahlawan dari Sumatera Selatan yang memiliki kiprah besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, khususnya di wilayah Sumsel. Para pejuang tersebut juga berjasa mempertahankan kemerdekaan di masa penjajahan.
Terdapat 3 nama pahlawan dari Sumatera Selatan yang namanya sudah cukup familier di telinga masyarakat Indonesia. Dua pahlawan di antaranya telah dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden. Lantas, siapa saja pahlawan tersebut?
Daftar Pahlawan dari Sumatera Selatan
Berikut detikSumbagsel rangkum informasi mengenai 3 pahlawan dari Sumatera Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Sultan Mahmud Badaruddin II
Pahlawan dari Sumatera Selatan yang paling terkenal adalah Sultan Mahmud Badaruddin II. Dikutip dari laman resmi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Kampar, ia adalah sultan di Kesultanan Palembang Darussalam.
Sultan Mahmud Badaruddin II memiliki nama kecil Raden Hasan Pangeran Ratu, dirinya naik tahta menjadi sultan di usia 37 tahun pada 12 April 1804 menggantikan ayahnya yaitu Sultan Mahmud Bahaudin.
Sultan Mahmud Badaruddin II dikenal sebagai sosok yang mahir dalam segala bidang. Ia memajukan bidang agama, diplomatik, hingga pelayaran dan pertanian melanjutkan dari masa pemerintahan ayahnya selama masa kepemimpinannya.
Sultan tersebut beberapa kali memimpin perjuangan rakyat Palembang melawan penjajah. Ia dan pasukannya berhasil memukul mundur Inggris (1812-1816) dan Belanda selama tiga kali penyerangan pada tahun 1819.
Salah satu perlawanan yang paling terkenal adalah Perang Menteng (1819). Perang melawan Belanda tersebut berhasil dimenangkan oleh pasukan Palembang di bawah kepemimpinannya.
Mengutip buku Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II yang diunggah laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perang tersebut bermula setelah disahkannya Konvensi London. Saat itu, Inggris Britania harus menyerahkan kembali kedudukannya di Indonesia kepada Belanda, termasuk Palembang.
Belanda kemudian mengangkat HW Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Muntinghe kemudian mendamaikan Sultan Mahmud Badaruddin II dan Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan inggris. Sultan Mahmud Badaruddin akhirnya kembali naik tahta pada 7 Juni 1818.
Muntinghe kemudian diserang oleh pengikut setia Sultan Mahmud Badaruddin II dari Muara Rawas. Komisaris tersebut akhirnya meminta putra mahkota sebagai jaminan kesetiaan Palembang terhadap Belanda.
Dari situ, terjadilah Perang Menteng pada tahun 12 Juni 1819 yang dimenangkan oleh Palembang. Nama Menteng sendiri diambil dari kata Muntinghe.
Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan ke Ternate setelah kalah dari pasukan Belanda pada 3 Juli 1821. Ia wafat pada 26 November 1852 di tanah Maluku Utara tersebut.
Menurut laman resmi Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia, namanya tertulis dalam buku harian Barron van der Capellen.
"Sultan Mahmud Badaruddin II sama sekali tidak biadab. Dalam peperangan, ia tahu mempertahankan kedudukannya, dan orang ini benar-benar memperlihatkan sifatnya sebagai seorang raja," tulis Gubernur Jenderal Belanda tersebut sebagai kesan terhadap sang sultan.
Atas jasanya, ia disahkan sebagai Pahlawan Nasional sesuai Keputusan Presiden (Keppres) pada tahun 1984. Jika berkunjung ke Palembang, detikers dapat menghampiri Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang dulunya adalah Keraton Kuto Lamo atau Keraton Kesultanan Palembang.
Gambar dirinya tercantum dalam mata uang kertas Rp 10 ribu keluaran tahun 2005 berwarna ungu dengan rumah limas Sumsel di sisi lainnya. Namanya juga diabadikan menjadi nama bandara di Palembang, yaitu Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II.
2. Mayjen TNI dr. Adnan Kapau (AK) Gani
AK Gani adalah salah satu pejuang Sumsel yang berjuang melawan Jepang. Mayor jenderal kelahiran 16 September 1905 ini pindah dari Bukit Tinggi ke Palembang mengikuti ayahnya yang berprofesi sebagai guru.
Gani dulunya adalah siswa sekolah dokter pribumi, yaitu School Tot Pleiding Voor Inlandsche (STOVIA) dan Sekolah Tinggi Kedokteran Geneeskundige Hoge School (GHS). Setelah meraih gelar dokter, ia membuka praktek di Palembang.
![]() |
Menurut Ensiklopedia Sejarah Indonesia oleh Gani Ahmad Jaelani, dirinya sudah aktif berorganisasi sejak muda. AK Gani juga menjadi anggota pengurus Jong Sumatranen Bond dan Jong Java hingga terlibat langsung dalam Kongres Pemuda Oktober 1928.
Karir politiknya dimulai sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo). Ia dan kawan-kawannya kemudian mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) setelah Partindo bubar.
Saat Jepang masuk ke Palembang, dirinya tampil sebagai dokter yang banyak mengoordinasikan tugas sosial dan pelayanan kesehatan bagi korban perang. Ia juga membentuk kelompok sosial Penolong Keamanan Oemoem (PKO) agar masyarakat peduli dan tidak masa bodoh terhadap kesengsaraan akibat perang.
AK Gani dikenal sebagai Raja Penyeludup oleh Presiden Soekarno karena peran pentingnya pada perang Revolusi. Saat itu, Gani memimpin Palembang pada tahun 1945-1946.
Pada awal kemerdekaan, Indonesia mengalami krisis termasuk Palembang. Pada masa inilah ia memainkan peran sebagai penyeludup.
Ia menyeludupkan beberapa produk hasil bumi, karet, dan kopi untuk barter dengan Singapura. Dari hasil barter tersebut, ia dapat membeli senjata, amunisi pakaian, dan perlengkapan lain.
AK Gani dengan kepiawaiannya juga pernah menjabat sebagai Residen Pemerintah Bangsa Indonesia Keresidenan Palembang (1945), Koordinator Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sumatera yang merupakan cikal bakal TNI, Komandan Sub-komandemen Sumsel. Selain itu, ia juga pernah menjadi Gubernur Muda Sub-provinsi Sumsel.
Saat menjadi gubernur, ia kembali membuka praktek dokternya yang sebelumnya ia kesampingkan akibat aktivitas militer dan politik. Sebagai dokter, masyarakat mengenalnya sebagai dokter dengan suntikan maut. Hal itu karena suntikannya terasa sakit namun efektif dan dipercaya cepat sembuh.
Atas jasa-jasanya, ia mendapatkan penghargaan Bintang Gerilya, Lencana Gerakan Operasi Militer I dan II, serta Bintang Mahaputra. Ia kemudian dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden pada tahun 2007.
Ia menghabiskan waktu di Palembang sebagai dokter hingga akhir hayatnya pada 23 Desember 1968. Namanya kemudian diabadikan menjadi nama rumah sakit yaitu Rumah Sakit dr. AK Gani dan Museum AK Gani.
3. AM Thalib
Menurut akun resmi Kesultanan Palembang Darussalam, AM Thalib adalah salah satu pejuang yang ikut berperang melawan Belanda saat Agresi Militer II pada tahun 1948. Ia juga menolak ajakan Dewan Banteng untuk memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat.
Di umurnya yang ke-17, ia sudah menjabat sebagai Wakil Ketua Pemuda Sumber Karesidenan Palembang pada tahun 1939. Pada saat yang sama, dirinya juga menjadi anggota direksi Koperasi Setia yang merupakan koperasi terbesar di Palembang.
Pejuang kelahiran 23 Februari 1922 tersebut juga menjejakkan kaki di dunia politik. Ia pernah menjadi anggota Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI) serta Sekretaris Majelis Daerah dan Wakil Ketua Partai Parindra pada tahun 1939-1942.
![]() |
AM Thalib kemudian beralih ke dunia jurnalistik pada tahun 1942-1944. Ia didapuk menjadi Redaktur Surat Kabar Sinar Matahari dan Majalah Fajar Menyingsing di Palembang.
Pada tahun kemerdekaan, dirinya menjadi Kapten TNI dan menjabat sebagai Kepala Penerangan Tentara Sub Komando Sumsel (Sub-KOSS). Kemudian pada tahun 1947, AM Thalib diangkat menjadi Kepala Seksi Mobilisasi Divisi Garuda Sumsel.
Atas jasanya, ia menerima penghargaan 3 buah Satya Lencana, yaitu Bintang Gerilya, serta Bintang Clash 1 dan 2. Ia juga menjadi anggota Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia golongan A karena memiliki masa bakti lebih dari 4 tahun.
AM Thalib dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan menjadi nama gedung Korem 044/Garuda Dempo, Palembang.
Itu dia informasi mengenai pahlawan dari Sumatera Selatan yang bisa detikers pelajari. Semoga bermanfaat, ya!
(dai/dai)