Praktik politik uang masih akan terjadi di Pemilu 2024, tak terkecuali di Kota Palembang. Bahkan, pemberiannya tidak lagi secara cash, melainkan melelui dompet digital.
"Politik uang masih tetap ada, namun kini sudah bertransformasi tidak hanya akan dalam bentuk cash tapi juga memakai dompet digital atau e-wallet," kata Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat, Bawaslu Kota Palembang Muslim Kamis (30/11/2023).
Menurutnya, transformasi itu lebih memudahkan ketimbang dibagikan secara tunai. Terlebih, masyarakat kini lebih menyukai transaksi lewat digital ketika berbelanja. Terkait itu, pihaknya telah menyampaikan imbauan tertulis ke semua parpol peserta Pemilu.
"Ini yang akan menjadi antisipasi kita. Kita juga berharap masyarakat melapor jika menemukan adanya hal tersebut dengan bukti-bukti, tidak perlu takut. Kita juga masih menunggu Bawaslu di pusat yang akan melakukan kerja sama dengan OJK untuk pengawasan terhadap platform e-wallet," jelasnya.
Sosalisasi, juga akan terus dimasifkan untuk meminimalisir politik uang tersebut. Seperti menciptakan konten-konten edukatif yang sifatnya menolak pemberian uang kepada pemilih dari para calon mana pun.
"Kita berharap, mindset masyarakat bisa berubah dan menjadi pemilih yang cerdas," katanya.
Sementara itu, Koordinator Wilayah Public Trust Institute (PUTIN) Sumsel Fatturahman mengungkapkan, politik uang masih akan terjadi karena melihat dinamika sosial ekonomi masyarakat saat ini. Terutama ekonomi masyarakat pasca pandemi Covid-19.
Dalam survei yang pernah dilakukan (Rumah Citra Indonesia) saat Pilkada 2018 dan 2019, potensi masyarakat yang mau menerima uang ketika Pemilu kisaran 50-60%. Namun, dari angka itu mereka belum tentu memilih calon yang memberi uang.
"Kemungkinan hanya 30% yang benar-benar menentukan untuk memilih calon tersebut, selebihnya zonk," jelasnya.
Hasil surveinya juga menyebut, 20% masyarakat akan menentukan pilihan jika diberi imbalan uang. Hal itu disebutnya masih akan terjadi pada Pemilu 2024 mendatang. Persentasenya pun tidak akan jauh berbeda.
Untuk nilai, ia menyebut bervariatif. Namun di kisaran Rp 100 ribu-Rp 300 ribu. Biasanya, akan ada yang mengkoordinir untuk pemberian uang tersebut kepada masyarakat. Sasaran politik uang ini tidak hanya berasal dari kalangan menengah ke bawah saja yang menjadi mayoritas, tapi juga kalangan menengah.
"Kemungkinan lagi, permainan politik uang bukan lagi perorangan, tapi sudah per KK (Kartu Keluarga). Tinggal dilihat berapa pemilih dalam 1 KK tersebut, misal dalam 1 KK diberi Rp 1,5 juta," jelasnya.
Menurutnya, praktik itu sudah terjadi saat pemilihan kepala desa (Pilkades) beberapa waktu lalu. Hal itu pun sudah menjadi rahasia umum. Tinggal lagi, peran masyarakat dalam ikut mengawasi agar Pemilu berjalan dengan adil dan lancar.
(mud/mud)