Dosen Universitas Muslim Indonesia (UMI), Hardianto Djanggih berbicara sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan dugaan penipuan calo pendaftaran taruna akademi kepolisian (Akpol) dengan kerugian korban mencapai Rp 4,9 miliar. Saksi ahli pun mengungkap kesalahan korban yang dianggapnya sebagai pihak yang juga mesti bertanggung jawab.
Hal ini disampaikan Hardianto dalam sidang yang digelar di ruang Purwoto Suhadi Gandasubrata, PN Makassar, Rabu (5/2/2025). Hardianto awalnya melihat adanya hubungan antara pelaku dan korban dalam kasus tersebut.
"Perbuatan tersebut terjadi karena keduanya menyepakati bahwa adanya suatu hubungan dimana pelaku untuk mengurus (masuk Akpol) dan korban menyediakan fasilitas bagi pelaku untuk mengurus," ujar Hardianto dalam persidangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hardianto lantas menjelaskan terkait perbuatan terdakwa termasuk perbuatan melawan hukum atau tidak. Dimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Andi Fatmasari didakwa melakukan penipuan dan penggelapan dana.
"Terkait perkara yang kaitannya dengan kepengurusan orang untuk lulus kepolisian, dalam hal ini seandainya uangnya digunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan prosedurnya (pendaftaran Akpol) berarti melawan hukum saya kira," jelasnya.
"Penggelapan itu adalah ketika barang (uang) itu diberikan ke orang lain, dan tidak diketahui keberadaannya. Atau barang itu digunakan tidak sesuai peruntukannya. Ketika itu dilakukan oleh pelaku, maka pelaku secara mutlak melakukan penggelapan," sambungnya.
Lebih lanjut, Hardianto menuturkan bahwa dalam bukti kuitansi tertulis untuk pengurusan Akpol. Maka, terdakwa dapat dikatakan tidak melawan hukum jika hanya melakukan proses kepengurusan yang sifatnya administrasi.
"Sepanjang uang itu digunakan untuk mengurus administrasi, saya kira itu perbuatan yang halal (tidak melawan hukum)," katanya.
Dengan keterangan kuasa hukum yang menyatakan terdakwa telah menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan pengurusan, maka hal itu sudah sesuai dengan maksud dari kuitansi tersebut. Maka dapat dikatakan jika terdakwa tidak memiliki niat jahat dari awal.
"Pelaku (terdakwa) telah menggunakan uang sesuai dengan objek pada kuitansi (yaitu untuk pengurusan Akpol) tadi. Maka niat jahat pelaku itu tidak ada di awal, karena memang ditunjukkan dengan prestasi-prestasi dia untuk melakukan perbuatan sebagaimana objek tadi," tuturnya.
Namun, kata Hardianto, jika uang tersebut diberikan dengan maksud untuk menyogok atau menyuap pihak-pihak terkait, maka itu termasuk perbuatan melawan hukum. Jika itu yang dilakukan, maka menurutnya, korban yang turut terlibat juga seharusnya dimintai tanggung jawab.
"Saya kira pelaku tidak tunggal untuk dimintai pertanggungjawaban pidana, seharusnya korban juga dalam posisi bersalah karena ikut serta karena mendukung perbuatan itu tadi (memberikan uang kepada terdakwa) dalam hal untuk meluluskan ke kepolisian yang bertentangan dengan prosedur yang ada," ucapnya.
Hardianto kembali menegaskan jika maksud dari dana yang diberikan korban tersebut untuk menyuap pihak-pihak terkait, maka mereka wajib untuk ikut bertanggung jawab. Maka perlu diketahui siapa saja yang turut menikmati aliran dana tersebut.
"(Berdasarkan fakta persidangan) orang lain pun terlibat, termasuk orang yang menerima uang," katanya.
"Kalau memang tidak sesuai prosedur maka itu perbuatan melawan hukum. Dan tidak hanya terdakwa yang melakukan perbuatan tunggal, tapi yang menerima tadi, yang punya kuasa menentukan kelulusan (ikut terlibat)," lanjutnya.
Awal Mula Kasus Calo Akpol
Pada sidang sebelumnya, terdakwa Fatmasari mengaku tidak pernah menawarkan kepada korban terkait pendaftaran taruna Akpol tersebut. Justru, pihak korban lah yang memintanya untuk bantu meloloskan Gonzalo.
Hal tersebut bermula ketika dia mendatangi kafe mercon milik ibu korban, Citra Insani, untuk menyantap bakso. Kemudian kasir kafe tersebut menyimak pembicaraan terdakwa di telepon.
"Saya pergi makan bakso sama saudara (di Kafe Mercon) terus saya menelpon, saya bahas tentang kampung saya," cerita terdakwa.
"Terus kasirnya mengatakan, 'kita (kamu) orang mana?' saya bilang orang Bone. Terus dia bilang kalau kita satu kampung, 'asli mana?' saya bilang Kandea," ujarnya.
Mengetahui terdakwa berasal dari kampung yang sama, kasir tersebut pun memanggil saudaranya yang bernama Amrawati. Terdakwa pun diajak cerita lebih lanjut oleh Amrawati, hingga akhirnya Amrawati menyampaikan bahwa Gonzalo ingin masuk Akpol.
"Dia bilang, 'Oh mau itu mendaftar anaknya bosku, yang punya kafe ini, Gonzalo. Nanti nah saya kasi ketemu sama umi (nenek korban, Rosdiana)," katanya.
Terdakwa mengelak jika dirinya yang menawarkan lebih dulu lantaran melihat status di media sosial Citra Insani mengenai Gonzalo yang ingin masuk Akpol. Dia menegaskan bahwa Amrawati lah yang menyampaikan informasi tersebut.
"Sebelumnya ada tidak disampaikan ke saksi Amrawati kalau kita lihat dari story instagram, story wa atau story media sosialnya Ibunya Gonzalo, dia mau daftarkan anaknya Akpol?," tanya Jaksa Muh. Irfan kepada terdakwa.
"Tidak, dia (Amrawati) bilang, dia yang menyampaikan (kalau Gonzalo mau mendaftar)," jawab terdakwa.
Selanjutnya, terdakwa pun dipertemukan dengan Rosdiana oleh Amrawati pada Februari 2024. Di situlah awal mula terdakwa bertemu dengan Rosdiana dan membicarakan soal Akpol.
(sar/hsr)