Kritik Keras Akademisi ke Baleg DPR Dinilai Abaikan Putusan MK soal Pilkada

Kritik Keras Akademisi ke Baleg DPR Dinilai Abaikan Putusan MK soal Pilkada

Tim detikcom - detikSulsel
Kamis, 22 Agu 2024 08:30 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi.
Foto: Anggi Muliawati/detikcom
Makassar -

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyepakati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat usungan calon hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Kesepakatan tersebut menuai kritikan keras sebab dianggap mengabaikan putusan MK.

MK diketahui mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

Dilansir detikNews, putusan terhadap perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora itu dibacakan dalam sidang di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8). MK dalam pertimbangannya menyatakan Pasal 40 ayat 3 UU Pilkada inkonstitusional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut MK, esensi pasal tersebut sama dengan penjelasan Pasal 59 ayat 1 UU 32/2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sebelumnya. MK mengatakan pembentuk UU malah memasukkan lagi norma yang telah dinyatakan inkonstitusional dalam pasal UU Pilkada.

MK kemudian menyebut inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat 3 UU Pilkada itu berdampak pada pasal lain, yakni Pasal 40 ayat 1. MK pun mengubah pasal tersebut.

ADVERTISEMENT

Adapun isi Pasal 40 ayat 1 UU Pilkada sebelum diubah ialah:

Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.

MK pun mengabulkan sebagian gugatan. Berikut amar putusan MK yang mengubah isi Pasal 40 ayat 1 UU Pilkada:

Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut

b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut

c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut

d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut.

Kesepakatan Baleg DPR RI

Baleg DPR langsung menggelar rapat hanya sehari setelah putusan MK diketok. Baleg DPR menggelar rapat panitia kerja (Panja) membahas usulan perubahan substansi pasal 40 UU Pilkada setelah putusan MK. Berikut ini draf yang ditampilkan dan dibacakan dalam rapat dan kemudian disetujui:

Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan

(2) Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dengan ketentuan:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut

b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut

c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut

d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut.

Kritik Keras dari Akademisi di Makassar

Kritik keras diungkapkan oleh pakar kepemiluan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Endang Sari terhadap hasil rapat panja Baleg DPR RI. Dia menilai Baleg DPR RI telah menghina konstitusi sebab kesepakatannya tidak berpihak terhadap kepentingan rakyat.

"Saya sepakat dengan itu (pembangkangan terhadap konstitusi), bahwa konstitusi sedang dihina oleh mereka-mereka yang memilih tidak menjalankan konstitusi tersebut," kata Endang kepada detikSulsel, Rabu (21/8/2024).

"Dan saya kira putusan MK final dan mengikat dan di situ jelas sekali disebutkan bahwa partai dan gabungan partai politik, tidak ada spesifikasi partai yang mengusung calon dan tidak mengusung calon," sambungnya.

Dosen FISIP Unhas ini mengatakan DPR keliru menyebut parpol tanpa kursi dengan parpol pemilik kursi di DPRD tak dapat disatukan. Pasalnya, putusan MK secara jelas menyebutkan partai politik atau gabungan parpol.

"Ketika kita melihat bahwa tidak bisa di-mix, tentu itu melanggar regulasi karena kita baca putusan MK di situ disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik. Tidak dijelaskan bahwa partai politik punya kursi dan tidak punya kursi, tidak ada penjelasannya seperti itu," jelasnya.

Mantan anggota KPU Makassar ini menilai putusan MK dengan mudah ditafsirkan secara langsung tanpa embel-embel tambahan. Pada putusannya, MK tak memisahkan perlakukan antara parpol satu dengan yang lainnya.

"Saya kira tafsirannya bisa langsung disebutkan bahwa yang dimaksud adalah seluruh partai politik yang ikut di pemilu. Tidak ada pengkotak-kotakan seperti itu," jelasnya.

Endang sendiri mengaku tidak habis pikir dengan kesepakatan Baleg DPR. Dia mempertanyakan prinsip keberimbangan anggota legislatif saat hasil rapat diputuskan.

"Dengan adanya keputusan Baleg hari ini, kita justru mempertanyakan prinsip cek and balance kehadiran lembaga legislatif kita. Karena seharusnya keputusan yang lahir dari mereka memilih berpihak untuk kepentingan rakyat dalam hal ini," ujar Endang.

Dia menyayangkan sikap DPR yang mencari celah untuk tak menjalankan putusan MK secara menyeluruh. Bahkan hasil rapat Baleg tersebut sarat dengan kepentingan politis.

"Ini sangat disayangkan ketika putusan yang sifatnya konstitusional diperlakukan secara politis. Seharusnya bukan politis, tetapi mana yang menjadi kebenaran itu yang seharusnya ditunjukkan. Berpihak pada kepentingan publik, berpihak pada hukum apa yang dipersyaratkan pada konstitusi dan bukan dilarikan ke taraf politis," katanya.

"Ini kita lihat bahwa hukum sedang dipolitisasi dan tentu ini menyebabkan kekecewaan pada masyarakat yang ingin melihat proses demokrasi lebih sehat di ajang pilkada," tambahnya.

Endang Tagih Komitmen KPU

Endang menilai keputusan akhir sekarang ada di pihak KPU selaku penyelenggara pemilu. Komitmen KPU untuk menyelenggarakan pemilu dengan memberi kepastian hukum dan taat asas sedang diuji.

"Bolanya sebenarnya sekarang ada di KPU saat ini, jadi komitmen KPU yang kita tunggu bagaimana prinsip berkepastian hukum, taat pada hukum yang menjadi asas dalam penyelenggaraan pemilu itu ditunjukkan oleh KPU dengan mengikuti putusan MK," katanya.

Apalagi, KPU baru saja melenggangkan putusan MK soal batas usia capres dan cawapres dengan cepat tanpa kendala. Dia berharap KPU melakukan hal serupa dengan merevisi PKPU pencalonan Pilkada 2024 yang mengacu pada putusan MK.

"Baru saja beberapa bulan lalu kita sama-sama menyaksikan bahwa terkait usia calon di Pilpres masa tenggang waktunya hampir sama dan tidak mengambil langkah yang panjang. Begitu keputusan, KPU langsung merespons dengan mengubah PKPU pencalonan. Harusnya situasi ini terjadi juga sekarang," katanya.

"Jadi tidak banyak lagi koordinasi, melakukan serangkaian rapat lagi untuk merespons tetapi harusnya langsung ditindaklanjuti karena ini amanah konstitusi dan prinsip pemilu berkepastian hukum. Itu prinsip kerja yang harus dipegang oleh KPU," jelas Endang.




(hmw/ata)

Hide Ads