Ahli Nilai Eks Pimca Bulog Parepare Tak Bisa Dipidana soal Korupsi Rp 1,7 M

Ahli Nilai Eks Pimca Bulog Parepare Tak Bisa Dipidana soal Korupsi Rp 1,7 M

Andi Audia Faiza Nazli Irfan - detikSulsel
Selasa, 14 Mei 2024 14:58 WIB
Eks Pimca Bulog Parepare Meizarani menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi Rp 1,7 miliar. Andi Audia Faiza Nazli Irfan/detikSulsel
Foto: Eks Pimca Bulog Parepare Meizarani menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi Rp 1,7 miliar. Andi Audia Faiza Nazli Irfan/detikSulsel
Makassar -

Dosen Hukum Pidana Universitas Sriwijaya Artha Febriansyah berbicara sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan dugaan korupsi eks pimpinan cabang (Pimca) Bulog Parepare Meizarani dengan kerugian negara Rp 1,7 miliar. Ahli menilai Eks Pimca Bulog Parepare tidak bisa dipidana dalam kasus ini.

Artha memberikan kesaksiannya secara daring dalam sidang yang digelar di ruangan Harifin Tumpa, Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Selasa (14/5/2024) siang. Awalnya, Penasihat Hukum (PH) bernama Sayidina menanyakan konsep mens rea dan actus reus kepada ahli.

"Mens rea adalah pikiran atau niat jahat. Actus reus adalah tindakan atau perbuatan yang dilarang secara hukum pidana. Mengukur pertanggungjawaban tindakan dilihat dari mens rea," jawab Artha di persidangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sayidina kemudian menanyakan pendapat ahli dengan memberikan ilustrasi peristiwa terkait terjadinya actus reus tetapi tak disertai mens rea. Ahli menekankan mens rea tanpa acus reus tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

"Bila suatu peristiwa pidana, tidak ada mens rea, tapi actus reus ada? Apa pendapat ahli?" tanya PH.

ADVERTISEMENT

"Jika tak ada mens rea seperti kesengajaan atau niat buruk, meskipun actus reus ada dan tindakan itu dilarang, maka tindakan itu tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan pidana," jawab ahli.

Penasihat Hukum lalu mengganti topik ke dugaan kerugian negara, tetapi masyarakat tidak dirugikan karena penyaluran beras tersampaikan ke masyarakat. PH menanyakan pendapat ahli terkait kondisi itu.

"Pengadaan (dan penyaluran beras) itu tercapai, masyarakat merasakan kebermanfaatannya, apakah kebermanfaatan itu bentuk hukum telah terwujud?" tanya Sayidina.

Mendengar pertanyaan penasihat hukum, Hakim Ketua Angeliky Handajani meminta pertanyaan tersebut disampaikan secara lebih sederhana sehingga lebih dimengerti kepada ahli. Sebab, menurut hakim, kerugian negara hanya dinilai secara formil.

"Kerugian negara hanya dinilai formil, perbuatan melawan hukum, sementara pengadaan (beras) itu terlaksana?" tanya Hakim Ketua.

"Kalau seperti itu, kalau ketika ada kerugian, kerugian menurut siapa? Itu mungkin dari segi finansial, tapi, ada manfaat ke masyarakat, negara mungkin tidak ada beban. Kemakmuran masyarakat tercapai, justru menciptakan kemanfaatan (kepada masyarakat)," jawab ahli.

Ahli Hukum Pidana Unhas Juga Bahas Mens Rea Terdakwa

Di sidang sebelumnya, Selasa (30/4), Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof M Syukri Akub juga dihadirkan sebagai saksi ahli oleh Jaksa Penuntut Umum. Syukri memberikan analogi setelah menjelaskan konsep mens rea dan actus reus secara teoritis.

"Ada orang menganiaya, padahal di batin (pelaku) tidak ada niat menganiaya. Seperti, seseorang menabrak orang lain, tapi tidak ada maksud menganiaya (dari kecelakaan tersebut)," kata ahli di persidangan.

Penasihat Hukum Terdakwa kemudian menanyakan lebih lanjut tentang mens rea atau niat Terdakwa melakukan korupsi, dan actus reus atau kelalaian Terdakwa yang berujung terjerat kasus korupsi. Menurut Ahli, mens rea tidak terpenuhi jika tidak ada actus reus alias tindakan bersalah.

"Bila ada actus reus, tapi tidak ada mens rea, (Apa tanggapan ahli)?" tanya Penasihat Hukum.

"Tidak terpenuhi," jawab ahli.

Diketahui, Meizarani menjadi terdakwa korupsi jual beli beras 2022. JPU dalam dakwaannya menyatakan Pimpinan Cabang Bulog Parepare sejak tanggal 09 Mei 2022-02 Mei 2023 melakukan perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.




(hmw/asm)

Hide Ads