Dua warga yang lahannya dibeli untuk proyek industri sampah menjadi energi listrik di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) mengungkap tak ada petugas yang melakukan pengukuran saat lahan mereka akan dibebaskan. Mereka menyebut lahannya hanya ditinjau sebelum menerima pembayaran biaya ganti rugi.
Hal itu terungkap saat pemilik lahan bernama Arman dan Samad menjadi saksi di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Kamis (21/3/2024). Jaksa Penuntut Umum (JPU) Aisyah awalnya menanyakan dari siapa pemilik lahan mengetahui adanya pembebasan lahan 2012-2014 silam.
"(Saya) tahu (pembebasan lahan) bukan dari sosialisasi (dari Pemkot). (Saya tahu) dari cerita-cerita (orang) Kelurahan (Tamalanrea Jaya)," jawab Samad di persidangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, Aisyah menanyakan tahapan pembebasan lahan. Pada saat itulah saksi memberikan keterangan bahwa lahan mereka tidak pernah diukur, yang ada hanya peninjauan lokasi.
"Pemkot tidak pernah turun ke lokasi lahan saya. (Lahan saya) diukur berdasarkan (data dari) alas hak (saya) saja. Dari data (ukuran lahan) saya, Pemkot tidak pernah cek (ke) lapangan," kata Samad.
Dari keterangan Samad, pembebasan lahan cukup didasari alas hak pemilik lahan saja.
"Dibebaskan berdasarkan alas hak saja (oleh pemkot). Mereka tidak pernah ukur (lahan)," katanya.
Kesaksian serupa juga disampaikan saksi bernama Arman saat ditanyai oleh Jaksa Imawati. Lahannya yang ingin dibebaskan pada 2012 silam juga tidak pernah diukur.
"Pada saat (Saudara) mau jual (lahan), adakah (pihak) Pemkot yang mengukur lahan yang (Saudara) mau jual?," tanya jaksa.
"Tidak pernah. (Pemkot) meninjau saja, tidak pernah mengukur (lahan saya)," jawab Arman.
Untuk diketahui, mantan Kabag Pemerintahan Pemkot Makassar, Sabri menjadi terdakwa korupsi pembebasan lahan industri sampah menjadi energi listrik di Tamalanrea, Makassar, pada tahun 2012, 2013, dan 2014. Ia dinyatakan bersalah mengadakan pembebasan lahan tanpa dokumen memadai dan tidak melibatkan beberapa pihak berwenang.
"Tidak adanya penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya, tidak adanya lembaga penilai harga tanah, tidak melibatkan panitia pengadaan tanah sebagaimana Keputusan Walikota Makassar Nomor: 590.05/452/Kep/III/2012 tanggal 8 Maret 2012, tentang Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kota Makassar Tahun Anggaran 2012, khususnya pihak Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar," demikian dakwaan JPU seperti dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Makassar, Minggu (3/3).
"Akibat perbuatan Terdakwa Sabri bersama-sama dengan Muh. Yarman, M Iskandar Lewa, Abdullah Syukur Dasman, dan Abd Rahim secara melawan hukum mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 45.718.800.000 (sekitar Rp 45 miliar)," kata jaksa.
Dalam sidang sebelumnya, warga yang lahannya dibeli untuk proyek industri sampah menjadi energi listrik di Makassar mengakui bahwa biaya ganti rugi mereka dipotong sebesar 50 persen.
Mereka diundang secara personal oleh seorang staf di Bagian Pemerintahan bernama Sulaiman dengan agenda pembayaran ganti rugi lahan di lantai 7 balai kota Makassar. Para saksi kemudian menyebutkan nominal asli dan nominal ganti rugi setelah pemotongan.
"Setengah dari Rp 9 miliar dipotong. Sisa Rp 4,5 miliar yang saya bawa pulang," kata Arman.
"Cuma Rp 7,8 miliar (dari Rp 8,2 miliar) yang (saya) bawa pulang dari Pak Sulaiman di balai kota,"tambahAsdar.
(hmw/ata)