Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid turut memantau secara langsung sidang perdana kasus pelanggaran HAM berat di Kabupaten Paniai, Papua. Dia menilai banyak dakwaan jaksa yang terputus atau tidak lengkap, salah satunya tak diungkapnya pelaku yang diduga telah menganiaya anak-anak.
"Banyak (dakwaan terputus). Terutama dari segi siapa yang melakukan penganiayaan terhadap anak-anak itu. Siapa? Kan itu harus dibuktikan lebih dahulu. Kenapa pasalnya tidak digunakan?," ujar Usman Hamid kepada wartawan usai mengikuti sidang pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua di PN Makassar, Rabu (21/9/2022).
Usman Hamid menyebut dakwaan jaksa secara umum mengungkapkan bahwa peristiwa penembakan pada tanggal 8 Desember 2014 diawali peristiwa penganiayaan yang dilakukan aparat TNI AD pada 7 Desember 2014. Namun peristiwa penganiayaan itu tak diurai secara lengkap dalam dakwaan jaksa penuntut umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi begini ada penganiayaan di tanggal 7 itu dan ada penembakan tanggal 8 itu kan. Yang hari pertama itu kalau enggak salah hanya menyebabkan luka fatal, tetapi tidak berakibat kematian. Terus siapa pelakunya? Itu tidak ada, kurang, kosong lah. Ada celah kosong yang harus diisi di dalam persidangan berikutnya," kata Usman Hamid.
"Tapi saya tidak ingin mendahului persidangan, saya tentu berharap segala kekosongan itu bisa diisi dalam pembuktiannya. Menghadirkan saksi, menghadirkan ahli, dan seterusnya," katanya lagi.
Usman Hamid juga sempat ditanya soal anggapan persidangan ini hanya gimik. Pasalnya ada dugaan terdakwa Isak Sattu sekaligus mantan perwira TNI AD itu tak sendirian dalam kasus ini.
"Bisa saya mengerti kritik masyarakat, kritik aktivis bahwa persidangan ini menjadi sekedar gimik. Karena memang pengalaman sidang terdahulu berujung dengan 0 penghukuman. Berhubung dengan berbagai putusan bebas di tingkat pengadilan banding, kasasi dan yang sekarang persiapannya juga tidak matang. Bahkan tadi kita dengarkan dari 180 hari sudah termakan waktu 90 hari ya. tapi okelah itu sudah terjadi," katanya.
"Yang paling penting adalah substansi perkaranya. Benar enggak peristiwa yang terjadi di Paniai itu memang merupakan peristiwa yang terjadi akibat perbuatan terdakwa. Itu saya masih, kita lihatlah dan itu mungkin banyak yang meragukan bahwa pelakunya adalah satu orang ini gitu misalnya," imbuhnya.
Dakwaan Tim Jaksa Penuntut Umum Kejagung RI
Terdakwa Isak Sattu sebelumnya dinyatakan ikut terlibat atau membiarkan anggota Koramil 1705-02/Enarotali melakukan penembakan ke arah massa dan juga melakukan pengejaran serta penikaman dengan menggunakan sangkur di kawasan Pondok Natal Gunung Merah pada Senin 8 Desember 2014. Insiden ini diketahui menyebabkan 4 orang tewas.
"Padahal terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu yang mempunyai kewenangan secara efektif bertindak sebagai komandan militer dalam hubungannya dengan bawahannya tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasannya untuk mencegah atau menghentikan tindakan anggota yang melakukan penembakan dan kekerasan sehingga mengakibatkan 4 orang mati," ujar tim Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin Erryl Prima Putra Agoes.
Oleh sebab itu, tim jaksa penuntut umum meyakini terdakwa Mayor Purnawirawan Isak Sattu melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Jaksa Erryl.
(hmw/nvl)