- Gaya Kepemimpinan M Jusuf yang Kuat M Jusuf yang Perhatian dengan Prajuritnya
- Perjalanan M Jusuf Redam Gerakan DI/TII di Sulsel Perundingan M Jusuf dan DI/TII Operasi Kilat M Jusuf Tewaskan Kahar Muzakkar Rahasia M Jusuf tentang Makam Kahar Muzakkar
- M Jusuf Jadi Panglima ABRI Usai Belasan Tahun Tak Berseragam
Sepak terjang Jenderal M Jusuf dalam dunia militer sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) sudah tidak diragukan lagi. Puncaknya ketika Jenderal M Jusuf ditunjuk sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Prestasinya itu didapatkan Jenderal Jusuf karena kemahirannya di bidang militer, khususnya sebagai seorang pemimpin. Kepemimpinan Jenderal M Jusuf selalu mendapat pujian dari prajurit maupun orang terdekatnya.
Dia dikenal sebagai pemimpin yang tegas, jujur, dermawan, dan penuh kasih sayang kepada para prajuritnya. Orang terdekatnya sendiri memandang Jenderal M Jusuf sebagai negarawan sejati dan memiliki karakter kepemimpinan yang kuat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan gaya kepemimpinan tersebutlah M Jusuf berhasil menumpas berbagai pemberontakan di Indonesia. Salah satu paling terkenal yakni gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan (Sulsel).[1]
Gaya Kepemimpinan M Jusuf yang Kuat
Gaya kepemimpinan seorang M Jusuf diceritakan Jusuf Kalla pada banyak kesempatan. Seperti pada Seminar Etos 4 Jusuf di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Jusuf Kalla menilai M Jusuf memiliki kepemimpinan yang kuat.
Diceritakannya bahwa suatu hari tersebar kabar burung yang mencoreng nama baiknya di depan Presiden Soeharto. Merasa kabar itu tidak benar, Jenderal M Jusuf kemudian mendatangi Presiden Soeharto dan menyatakan kesiapan untuk merelakan jabatannya apabila Soeharto memercayai hal tersebut.
Jenderal M Jusuf membuka lambang Panglima TNI yang tersemat di bajunya kemudian meletakkannya di atas meja. Presiden Soeharto yang mempercayai Jenderal M Jusuf kemudian memintanya mengambil kembali lambang yang ditaruhnya. Menurut Jusuf Kalla, perlakuan M Jusuf itu merupakan sikap kepemimpinan yang kuat karena berani merelakan jabatannya dan menggerpol atasannya.
Sikap kepemimpinan yang kuat itu juga tergambar ketika dia menggertak Menteri Keuangan untuk membeli pesawat jet dan pesawat tempur demi kebutuhan militer. Aksinya tersebut pun sempat membingungkan Presiden Soeharto.
"Dia gertak saja Menteri Keuangan, beli pesawat jet tiba-tiba, pesawat tempur. Tiba-tiba ada 20 pesawat jet di (Bandara) Halim, bingung Presiden Soeharto, dari mana ini," ujar Jusuf Kalla dalam seminar Etos 4 Jusuf di Universitas Hasanuddin, Senin (2/9/2024).
M Jusuf yang Perhatian dengan Prajuritnya
Jenderal M Jusuf diceritakan Jusuf Kalla sebagai pemimpin yang selalu mampu menyentuh sisi kemanusiaan prajuritnya. Dia pemimpin yang memperhatikan kebutuhan paling mendasar para prajurit.
Usai mengikuti latihan keras militer, alih-alih mendiskusikan tentang teknis pertempuran atau alat perang, M Jusuf malah menanyakan keseharian prajuritnya. Kebiasaan M Jusuf itu kemudian membuat dia menjalin kedekatan yang erat dengan prajuritnya.
Pendekatan yang dilakukan Jenderal Jusuf ini merupakan pendekatan ujung lidah dengan humanis dan humor yang sangat menonjol. Meski begitu, sebagai seorang pemimpin dia tetap berlaku keras bahkan sampai menggebrak meja jika dibutuhkan, terutama apabila menyangkut kehormatannya. Sebab, sebagai suku Bugis kehormatan dan harga diri di atas segala-galanya.[2]
Perjalanan M Jusuf Redam Gerakan DI/TII di Sulsel
Pada sekitar tahun 1948-1949, muncul sebuah gerakan pemberontakan yang dikenal dengan DI/TII. Jenderal Jusuf kemudian ditugaskan untuk turun tangan meredam pemberontakan tersebut.
Gerakan DI/TII merupakan pemberontakan oleh sekelompok orang yang merasa bahwa dasar negara Pancasila mesti diganti dengan berpedoman pada Islam. Kelompok ini ingin mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Islam.
Pemberontakan ini terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya gerakan DI/TII di Sulsel yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Berkat kepiawaiannya, pemberontakan DI/TII di Sulsel ini berhasil diredam oleh M Jusuf sebagai panglima.[3]
M Jusuf melakukan segelintir usaha dan strategi untuk menghentikan gerakan ini sebagai seorang pemimpin. Strateginya yaitu dengan melakukan perundingan-perundingan bersama Kahar Muzakkar sampai akhirnya melakukan operasi militer.
Perundingan M Jusuf dan DI/TII
Strategi pertama yang dilakukan M Jusuf yaitu melakukan pertemuan dengan pemimpin DI/TII Kahar Muzakkar pada 12 Maret 1957. Pertemuan itu merupakan strategi yang dilakukan M Jusuf untuk memperlihatkan bahwa anak daerah atau yang sekampung dengan Kahar Muzakkar yakni sama-sama dari Sulsel bisa melakukan perundingan dengannya.
Akan tetapi, perundingan dengan pemimpin DI/TII itu tidak langsung terjadi. Pada tahun 1961, Kahar menjadi lemah karena adanya perpecahan internal dan berkurangnya dukungan rakyat akibat pergerakan DI/TII yang kerap melakukan perusakan.
Pada momen tersebut lah direncanakan untuk melakukan perundingan dengan mendatangi pangkalan Kahar di Latimojong. Sebelumnya, Kahar dihubungi melalui surat untuk mengadakan perundingan. Dia pun membalas setuju untuk bertemu namun dengan M Jusuf.
M Jusuf dan kelompoknya lalu mendatangi markas besar Kahar Muzakkar pada 21 Oktober 1961. Begitu bertemu, mereka berpelukan dan Kahar matanya berkaca-kaca karena mereka bukan hanya dekat tetapi pernah menjadi bapak dan anak buah.
Kahar pun mendesak pertemuan resmi antara mereka dan Jusuf sendiri dengan syarat tidak bersenjata serta tanpa pengawal. Perundingan itu menghasilkan keputusan bahwa Kahar mengerahkan pasukannya kepada M Jusuf karena dia percaya kepada anak daerah.
Perundingan selanjutnya dilakukan pada 12 November 1961. Pada perundingan inilah Kahar secara resmi menyerahkan komando pasukannya kepada Jusuf dengan pengecualian satu batalyon, pengawal pribadinya Ansharullah.
Akan tetapi, dalam perundingan ini Kahar minta dijadikan sebagai komandan operasi untuk membebaskan Irian Barat dan syarat-syarat lainnya. Syarat tersebut dianggap sulit untuk dikabulkan, namun Kahar mengajukannya dengan mengandalkan M Jusuf.
Sampai pada akhirnya, perundingan-perundingan ini dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah. M Jusuf yang selalu mengutamakan jalan damai pun pada akhirnya tetap melakukan operasi militer.[4]
Operasi Kilat M Jusuf Tewaskan Kahar Muzakkar
Setelah melakukan perjuangan cukup lama untuk menghentikan DI/TII dengan cara damai, M Jusuf pun melancarkan operasi militer yang disebut dengan operasi kilat. Aksi operasi kilat pertama dilakukan pada 1961 dengan menghancurkan sumber logistik gerombolan dan pertahanannya, merampas senjata dan dokumen penting, serta memperkecil ruang gerak musuh.
Kemudian pada 10-27 Juni 1961, operasi kilat kembali dilakukan untuk mengakhiri gerakan DI/TII. Bersamaan dengan itu, dia juga melancarkan operasi tumpas yang meliputi seluruh Indonesia Timur. Operasi tumpas ini dikerahkan untuk menghancurkan sumber dan suplai logistik sejumlah gerombolan, termasuk DI/TII.
Akibatnya, rakyat pendukung Kahar Muzakkar secara diam-diam kembali masuk ke daerah-daerah yang dikuasai TNI. Melihat perubahan yang signifikan itu, M Jusuf merencanakan untuk memasifkan operasi militer dalam mengakhiri gerakan DI/TII Kahar Muzakkar.
Pada 1964, M Jusuf pun mendatangkan dua pasukan tambahan untuk menumpas pemberontakan ini. Pihak TNI melancarkan operasi dengan memisahkan Kahar Muzakkar dari sumber-sumber logistiknya yang selama 20 tahun menjadi kekuatan utamanya.
Sampai pada Januari 1965 perwira kepercayaan Kahar Muzakkar yakni Letkol TII Kadir Junus menyerahkan diri kepada TNI. Dia mengungkap persembunyian Kahar yang disebut berada di sekitar sungai La Solo, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara.
Pasukan operasi kilat lantas mengatur penyerangan dengan cara mengepung persembunyian Kahar Muzakkar. Tempat persembunyiannya itu berhadapan dengan anak sungai La Solo dan terdiri dari enam buah gubuk.
Melihat posisi musuh itu, pasukan operasi kilat kemudian memuntahkan peluru ke arah gubuk. DI/TII yang bersembunyi seketika berlari dalam keadaan panik. Kahar Muzakkar sendiri meloncat dari sebuah gubuk dengan memegang granat.
Para pasukan yang sudah diberi foto Kahar Muzakkar pun langsung mengenali sosok itu. Kopral Ili Sadeli yang awalnya ingin menangkap hidup-hidup mengurungkan niatnya ketika melihat Kahar memegang sebuah granat yang membahayakan pasukan.
Dengan waktu yang sangat singkat, Kopral Ili Sadeli menembak Kahar Muzakkar sehingga jatuh dan meninggal. Dari tembakan pertama yang diluncurkan di lokasi itu, hanya membutuhkan waktu lima menit untuk menghancurkan seluruh perkubuan dan penghuninya.[4]
Mayat Kahar Muzakkar kemudian dijemput oleh Pangdam XIV/Hasanuddin sekaligus Komandan operasi kilat M Jusuf. Dengan begitu, M Jusuf berhasil menuntaskan pemberontakan ini dengan meninggalnya pimpinan utama DI/TII yang berkedudukan Presiden (Khalifah) Negara Republik Persatuan Islam Indonesia.
Rahasia M Jusuf tentang Makam Kahar Muzakkar
Mayat Kahar Muzakkar dijemput langsung oleh M Jusuf sebagai panglima operasi kilat. Namun, setelah tewas terbunuh, makam Kahar Muzakkar tidak pernah diketahui keberadaannya.
M Jusuf menyimpan rapat-rapat rahasia tentang lokasi makam Kahar Muzakkar. Karena itu, banyak spekulasi yang menganggap bahwa Kahar Muzakkar masih hidup dan tidak tertembak mati.
Ada yang berspekulasi bahwa Kahar Muzakkar sebenarnya ditangkap hidup-hidup lalu dibawa M Jusuf masuk ke dalam hutan. Karena kedekatan keduanya, M Jusuf melepas kahar Muzakkar dengan syarat tidak pernah menampakkan diri lagi alias dianggap mati.
M Jusuf diketahui menutup-nutupi kebenaran di balik spekulasi itu karena memiliki sikap tertutup untuk menutupi wilayah kelabu di hidupnya. M Jusuf dikenal pelit mengungkapkan sesuatu kepada publik karena tidak ingin kejadian di masa lalu menyakiti keluarga maupun orang yang terlibat dengannya.
M Jusuf Jadi Panglima ABRI Usai Belasan Tahun Tak Berseragam
Usai menumpas pemberontakan DI/TII, M Jusuf ditunjuk menjadi Menteri Perindustrian di enam periode pergantian kabinet di Indonesia. Karena mengemban jabatan itu, M Jusuf tidak menggunakan seragam militernya selama belasan tahun.
Namun, pada 29 Maret 1978 Jusuf mencapai puncak kariernya di militer dengan ditunjuk untuk menduduki posisi Panglima ABRI. Jabatan ini dipangkunya dengan merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan RI.
Selama menjabat, dia dikenal sebagai pemimpin yang hangat dan ramah. Setiap harinya, Jenderal M Jusuf sering mengobrol dengan prajuritnya dengan penuh ketegasan, kemanusiaan, dan kekeluargaan.
Dengan begitu, tampaknya yang sangar dan angker dengan seragam korps berwarna hijau seketika hilang. Perlakuan M Jusuf itu memberikan kehangatan yang mendalam kepada orang sekitar. Oleh karenanya, beberapa orang mengenal M Jusuf sebagai bapak yang murah senyum dan enak diajak bicara.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menceritakan hal yang sama. Bahkan, sosok M Jusuf sering menunjukkan perhatian dengan menyediakan susu dan kacang hijau untuk prajurit yang selesai melakukan latihan fisik.
Sejak menjadi seorang Panglima ABRI, M Jusuf pun makin populer di tengah masyarakat. Ketenarannya itu bahkan membuat Soeharto ketar-ketir karena takut namanya sendiri sebagai Presiden RI 'tenggelam'.[1]
Sumber:
1. Buku berjudul "Empat Figur Jusuf Potret Pembelajaran Karakter" oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Buku berjudul JK Ensiklopedia oleh Husain Abdullah dkk.
3. Jurnal Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan berjudul Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dalam Kajian Sumber Sejarah Lisan 1950-1965
4. Jurnal Universitas Negeri Makassar berjudul "M Jusuf dalam Meredam Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan1957-1965
(urw/urw)