Belum satu pun partai politik (parpol) mengumumkan arah dukungannya di Pilkada Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel). Analis politik Andi Muhammad Asbar menilai parpol di Bulukumba masih melihat konstelasi politik di Pilgub Sulsel.
"Di ruang publik ini dipandang sesuatu yang mungkin lambat menyangkut soal belum ada deklarasi pasangan calon. Saya melihat ada satu tantangan atau problematika di balik pilkada serentak. Sebab, pilgub dan pilkada di tingkat kabupaten/kota itu, kan, bersamaan. Parpol itu membaca konfigurasi usungan di level provinsi maupun kabupaten/kota," ujar Asbar kepada detikSulsel, Rabu (24/7/2024).
Asbar menilai parpol akan berusaha menyelaraskan dukungan terhadap kandidat bakal calon kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hal itu, kata dia, akan lebih memudahkan parpol dalam menjalankan penetrasi politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Parpol membaca peta di provinsi dulu kemudian melihat usungan di kabupaten/kota. Ini, kan, harus inline. Kalau tidak, bisa jadi problem sendiri juga bagi usungan mereka. Ya, harapannya pasti parpol mau dukungan mereka itu sama di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota supaya mereka enak melakukan sebuah kerja-kerja politik," katanya.
Dosen STAI Al-Gazali Bulukumba ini mencontohkan Andi Muchtar Ali Yusuf atau Andi Utta, Bupati Bulukumba saat ini, yang digadang-gadang menjadi bakal calon petahana hingga kini juga belum memiliki surat dukungan maupun rekomendasi parpol. Hal itu pula, kata dia, yang bisa jadi membuat Andi Utta belum menentukan pasangan.
"Petahana pun belum menentukan pasangan. Bisa jadi ada hal yang belum ketemu menyangkut soal partai usungan. Kalau kita lihat, kan, pengusung Andi Utta-Edy Manaf ada PAN, Gerindra, dan PKS di periode pertama. Mereka belum memberikan pernyataan. Embrionya mungkin sudah ada. Yang problematik, kan, PKS juga mendorong kader," ucapnya.
Asbar kemudian kembali menekankan bahwa pilkada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota mendapat pengaruh dari elite nasional atau pusat. Menurutnya, parpol menginginkan koalisi yang terbentuk saat Pilpres 2024 juga terjadi pada kontestasi pilkada.
"Kita harus melihat juga bahwa pilkada itu, kan, juga merupakan representasi dari politik di panggung nasional. Jadi, koalisi-koalisi nasional juga akan di-break down ke tingkat lokal. Misalnya, PKB, PKS, NasDem, itu akan tetap berkomunikasi," terangnya.
"Spirit itu akan di-break down di ranah lokal. Begitu juga KIM (Koalisi Indonesia Maju) pengusung Prabowo-Gibran itu akan berkoordinasi juga di level bawah. Walaupun tetap ada ruang negosiasi sehingga beberapa partai akan tetap berkoalisi dengan yang lain," bebernya.
Hal itu, lanjut dia, yang memungkinkan terjadinya negosiasi rumit, termasuk di Pilkada Bulukumba. Menurutnya, akan ada benturan antara koalisi yang sudah terbentuk di tingkat pusat dengan situasi politik di daerah.
"Seperti Gerindra Bulukumba yang disinyalir akan membuka ruang kembali untuk mendukung Andi Utta, misalnya. Tapi, butuh komunikasi panjang juga kalau ingin mengambil dukungan dari PKS yang sudah berseberangan (saat Pilpres 2024)," terangnya.
Asbar memprediksi parpol baru akan mengeluarkan surat dukungan atau rekomendasi pada awal Agustus 2024 nanti. Menurutnya, parpol maupun kandidat tidak boleh mengambil waktu terlalu lama dalam memutuskan langkah politis. Hal itu, kata dia, juga berkaitan penilaian masyarakat.
"Di awal Agustus kemungkinan sudah ada. Sangat bagus kalau ada paslon yang deklarasi lebih awal. Ini menyangkut soal pembentukan infrastruktur pemenangan. Semakin cepat, semakin cepat pula mesin pemenangannya bekerja. Khawatirnya, kalau telat akan susah juga meyakinkan masyarakat," ucapnya.
"Ada kultur di Bugis itu siapa yang lebih awal meminta restu memungkinkan itu adalah pilihannya. Jadi, kalau di akhir mungkin akan mengatakan saya mendukung, tapi sudah ada yang lebih awal datang. Itu satu kultur politik yang menarik di Bulukumba, di Bugis," tambahnya.
Untuk diketahui, ada 10 parpol pemilik kursi legislatif akan meramaikan Pilkada Bulukumba 2024. Akan tetapi, tidak ada parpol memenuhi syarat minimal 8 kursi untuk bisa mengusung kandidat tanpa koalisi.
Adapun 10 partai itu, yakni PKS (7 kursi), PKB (6 kursi), Gerindra (5 kursi), Golkar (5 kursi), NasDem (4 kursi), PPP (3 kursi), Demokrat (3 kursi), PAN (3 kursi), Hanura (3 kursi), dan PDIP (1 kursi).
(asm/sar)