Tragedi Pembantaian Westerling di Monumen Korban 40.000 Jiwa Makassar

Tragedi Pembantaian Westerling di Monumen Korban 40.000 Jiwa Makassar

Irmalasari - detikSulsel
Senin, 11 Des 2023 08:47 WIB
Monumen Korban 40.000 Jiwa di Makassar
Monumen Korban 40.000 Jiwa di Makassae (Foto: Urwatul Wutsqaa/detikSulsel)
Makassar -

Monumen Korban 40.000 Jiwa dibangun di Kota Makassar demi mengenang perjuangan rakyat Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Di sana terdapat patung veteran laki-laki setinggi 7,5 meter yang berdiri kokoh. Tangan kanan dan kaki kirinya telah tiada alias buntung, tapi ia tetap gagah berdiri dengan satu tongkat.

Tim detikSulsel mengunjungi lokasi Monumen Korban Korban 40.000 Jiwa pada Rabu, 6 Desember 2023, di Kelurahan Kalukuang, Kecamatan Tallo, Kota Makassar. Kompleks monumen berdiri di atas tanah lapang yang membujur dari timur ke barat. Lebar di sebelah timur 35,50 meter, lebar sebelah barat 65 meter, dan panjangnya 95 meter. Terdapat jalan poros bernama Jalan Korban 40.000 Jiwa sebelum memasuki kawasan monumen. Warga Makassar juga lebih mengenal lokasi sekitar monumen dengan wilayah Pongtiku.

Monumen Korban 40.000 Jiwa di MakassarMonumen Korban 40.000 Jiwa di Makassar Foto: (Urwatul Wutsqaa/detikSulsel)

Konon, lokasi berdirinya Monumen Korban 40.000 Jiwa dahulu kala menjadi tempat pasukan elite Belanda pimpinan Raymond Paul Pierre Westerling membantai secara sadis rakyat dan para pejuang Makassar pada periode Desember 1946 hingga Januari 1947. Atas dasar itu, Pemerintah Kota Makassar pada tahun 1972 membangun Monumen Korban 40.000 Jiwa berdasarkan SK Pejabat Walikota Kepala Daerah Tingkat II Kotamadya Ujung Pandang, Nomor: 69/S.Kep/A/III/72, tanggal 11 Maret 1972 angka IV.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Patung veteran perang dalam kondisi cacat menjadi salah satu yang mencolok di kawasan Monumen Korban 40.000 Jiwa. Sosoknya yang begitu memprihatinkan menjadi gambaran pejuang yang harus kehilangan anggota tubuhnya demi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagian dari mereka beruntung karena berhasil selamat. Sementara lainnya yang jumlahnya jauh lebih banyak harus meregang nyawa.

Monumen Korban 40.000 Jiwa di MakassarPatung veteran laki-laki berkaki buntung, salah satu yang paling mencolok di kawasan Monumen Korban 40.000 Jiwa Makassar (Foto: Siar/detikSulsel)

Tepat di samping patung veteran cacat, terdapat banyak relief yang menggambarkan peristiwa pembantaian yang terjadi di Sulsel 76 tahun silam. Aksi kejam Westerling bersama 123 orang pasukannya yang tergabung dalam Depot Speciale Troepen (DST).

ADVERTISEMENT

Relief tersebut terukir pada salah satu sisi bangunan berbentuk keranda jenazah. Tampak pula di sisi bawah relief, 6 patung berpakaian tentara tengah memikul keranda.

Setiap unsur yang terdapat dalam relief tersebut menggambarkan dengan detail kondisi masyarakat yang dihadapkan pada teror berdarah di tanah kelahiran mereka sendiri. Ada relief mayat bergelimpangan, ibu-ibu menggendong anak, pria dan wanita yang memegang senjata, remaja dengan kerbaunya, burung garuda, perahu pinisi dan lain-lain.(1)

Monumen Korban 40.000 Jiwa di MakassarRelief yang menggambarkan kekejaman Westerling membantai pejuang Sulsel (Foto: Urwatul Wutsqaa/detikSulsel)

Relief dan patung yang ada dalam kawasan Monumen Korban 40.000 Jiwa ini dirancang oleh M.N Syam. Pemahatnya adalah Jacob Pagoray dan Syarifuddin Rala. Informasi ini tertulis di bawah patung kaki buntung itu.

11 Desember Diperingati Hari Korban 40.000 Jiwa

Selain membangun monumen, masyarakat Sulsel juga menetapkan tanggal 11 Desember sebagai peringatan Hari Korban 40.000 jiwa. Peringatan ini untuk mengenang para korban pembantaian Westerling yang telah berjuang mempertahankan kemerdekaannya.

Tanggal 11 Desember dipilih sebagai peringatan Korban 40.000 Jiwa karena pada 11 Desember 1946 Pemerintah Belanda secara resmi menyatakan keadaan darurat perang atau SOB (Staat van Oorlog en Beleg) di wilayah Sulawesi Selatan. Tanggal ini menjadi hari dimana Westerling bersama pasukannya secara resmi memulai aksi militernya dalam misi 'Pembersihan Celebes'.(4)

Akan tetapi penetapan 11 Desember sebagai Hari Korban 40.000 Jiwa hanya dilakukan di Sulsel, seperti Pemkot Makassar, Pemprov Sulsel, dan Pemkot Parepare yang setiap tanggal 11 Desember menggelar upacara di Monumen Korban 40.000 Jiwa di wilayahnya. Sementara Pemerintah Republik Indonesia belum secara resmi menetapkan peringatan Korban 40.000 Jiwa sebagai hari berkabung nasional.

Kekejaman Westerling Membantai Rakyat Sulsel

Monumen Korban 40.000 Jiwa di MakassarPatung pahlawan memikul keranda di Monumen Korban 40.000 Jiwa Makassar (Foto: Siar/detikSulsel)

Raymond Paul Pierre Westerling berlabuh di Makassar pada 5 Desember 1946. Tak sendiri, ia datang bersama satu kompi Baret Hijau yang disebut Depot Speciale Troepen (DST) dengan kekuatan 123 serdadu.

Meskipun keadaan darurat perang atau SOB (Staat van Oorlog en Beleg) di wilayah Sulsel ditetapkan pada 11 Desember, aksi berdarah Westerling sebenarnya sudah dimulai lebih dulu sejak tanggal 7 Desember 1946.

Barulah setelah wilayah Sulsel dinyatakan dalam keadaan darurat perang oleh Belanda, Westerling semakin leluasa menjalankan aksinya. Wilayah Sulsel yang menjadi sasaran pembantaian Westerling mencakup 4 afdeling, yaitu Afdeling Makassar, Afdeling Bonthain (sekarang Bantaeng), Afdeling Parepare dan Afdeling Mandar.(5)

Westerling dan pasukannya didatangkan untuk meredam perlawanan rakyat yang menolak kehadiran Belanda di Sulawesi Selatan. Sebelum pasukan DST tiba di Makassar pada 15 November 1946, Westerling telah lebih dulu menugaskan tentara Belanda bernama Vermeulen untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang keadaan Sulawesi Selatan.

Vermeulen mendapat data-data perlawanan rakyat dari Dinas Penerangan Militer, Dinas Kesatuan Intelijen Belanda, dan pegawai-pegawai pemerintah. Dari data itu, Westerling menyimpulkan bahwa pusat perlawanan yang paling kuat adalah Afdeling Makassar dan Suppa (Parepare).(2)

Dalam buku Sulawesi Selatan Berdarah oleh Zainuddin Tika, dkk dijelaskan, Westerling berpikir untuk menumpaskan para pejuang dengan tindakan kekerasan militer. Masyarakat dikumpulkan di sebuah tanah lapang. Lalu diperintah menunjuk para pejuang. Orang yang ditunjuk akan langsung ditembak mati di hadapan rakyat.

Gambaran pembantaian yang dilakukan Westerling pernah dikemukakan R.I.S.Sr. Atmaja, salah satu korban yang selamat dari pembantaian. Atmaja selamat karena memanfaatkan momen saat ia kecipratan darah korban lain dengan berpura-pura mati.

Tulisan Atmaja dimuat dalam Surat Kabar Vrije Nederlands pada 5 Juli 1947. Dalam tulisannya tersebut, Atmaja menggambarkan bagaimana pasukan Westerling secara tiba-tiba menggeruduk pemukiman di pagi buta. Para penduduk diperintahkan keluar rumah lalu digiring menuju lapangan terbuka.

Tidak seorang pun yang memiliki kesempatan untuk berpakaian dan sarapan. Penduduk berpakaian setengah telanjang. Orang yang sedang di kamar mandi atau sedang salat dipaksa berhenti. Tidak ada yang berani membantah.

Di tengah lapangan, 500 orang telah kumpul. Mereka disuruh duduk jongkok. Dilarang bergerak dan berbicara. Di hadapan mereka ada mitraliur (senjata) yang dipegang pasukan Westerling. Di samping kanan, kiri dan belakang dijaga oleh serdadu dengan bayonet terhunus.

Sekitar jam 7 pagi, penduduk kembali digiring ke lapangan terbuka lainnya. 500 meter dari lapangan sebelumnya. Jumlah penduduk yang terkumpul di tanah lapang itu kurang lebih 1.000 orang. Mereka disuruh duduk melingkar. Di tengah lingkaran, ada beberapa orang berbaris yang hanya menggunakan celana pendek.

10 menit duduk melingkar di lapangan itu, penduduk kembali digiring ke tempat lainnya. Kurang lebih 1 kilometer dari tempat kedua. Di tempat itu, berkumpul penduduk dari kampung Rappokalling, Rappojawa, Tamajene, Kalukuang, Kalukubodoa dan Malimongan Baru. Atmaja menaksir, jumlahnya kurang lebih 7.000 orang.

Di tempat ketiga itu, Atmaja melihat mayat dan orang-orang yang diikat. Selama dikumpul, serdadu-serdadu Belanda bertanya dengan suara keras. Meminta kepada penduduk menunjuk orang-orang yang dianggap pemberontak. Tidak ada seorang pun yang menjawab.

Lalu penduduk disuruh menengadah. Saat itu beberapa serdadu dan orang yang diikat berjalan di dekat mereka. Pasukan Westerling kembali bertanya.

"Siapa yang mengenal Ali Malaka dan Mustafa?"

Lagi-lagi tidak ada seorang pun yang menjawab. Pasukan Westerling mengancam, jika tidak ada yang mengenal Ali Malaka dan Mustafa maka tiga orang dari mereka akan ditembak mati.

Jawaban dari penduduk tidak terdengar. Pasukan Westerling menarik tiga orang penduduk. Dua di antara mereka ditembak mati, satunya dimasukkan kembali ke gerombolan penduduk. Pasukan Westerling kembali menembak satu-satu penduduk.

Penduduk kemudian disuruh berjalan berbaris melewati seorang anak berumur 13 tahun. Mereka yang ditunjuk oleh anak itu ditarik keluar barisan dan ditembak mati.

Titik-titik Pembantaian Westerling di Sulsel

Monumen Korban 40.000 Jiwa di MakassarArea Monumen Korban 40.000 Jiwa di Makassar yang merupakan salah satu lokasi pembantaian Westerling (Foto: Urwatul Wutsqaa/detikSulsel)

Aksi pembantaian Westerling bersama pasukannya berlangsung dalam beberapa operasi militer. Peristiwa berdarah berlangsung sejak dikeluarkannya status SOB pada 11 Desember 1946 hingga Februari 1947.

Operasi militer pertama, dimulai tanggal 11 hingga 17 Desember. Malam menjelang tanggal 12 Desember, Westerling dan pasukannya menyasar Desa Batua dan beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar.

Malam menjelang 13 Desember, Westerling memimpin operasi di Desa Tanjung Bunga. Lalu malam tanggal 14 menjelang 15 Desember dilanjutkan di Kalukuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, yang kini berdiri Monumen Korban 40.000 Jiwa. Dilihat dari polanya, Westerling selalu melakukan operasi pada tengah malam. Malam tanggal 16 menjelang 17 Desember, Westerling melanjutkan operasi militernya lagi di Desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar.

Westerling menyasar daerah-daerah tersebut karena menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malaka berada di wilayah tersebut. Keduanya adalah pejuang yang diburu oleh tentara Belanda. Sayangnya, setelah melakukan operasi di daerah tersebut, mereka tidak berhasil menemukan keduanya.

Dalam otobiografinya Challenge to Terror (1952), Westerling menulis, Setelah menyasar daerah-daerah Makassar, Westerling melanjutkan operasi militer keduanya pada 19 Desember di Polongbangkeng, Takalar. Daerah ini terletak di sebelah selatan Makassar. Ia mendapat laporan dari intelijen Belanda bahwa di daerah tersebut terdapat sekitar 150 pasukan TNI dan sekitar 100 anggota laskar bersenjata.

Menurut Westerling (1952) dan Willem (1984), usai operasi militer kedua, Westerling melanjutkan operasi tahap ketiga di Gowa. Dalam operasi ini, pasukan khusus DST bekerjasama dengan pasukan KNIL. Di operasi militer ketiga ini, aksinya dilakukan dalam tiga gelombang, tanggal 26 dan 29 Desember dan 3 Januari 1947.

Operasi pembantaian di daerah-daerah ini sama dengan cerita Atmaja sebelumnya. Penduduk ditembak mati di tempat tanpa proses. Operasi Westerling terus berlanjut hingga Februari 1947.

Pembantaian Westerling Dilanjutkan 3 Algojo Anak Buahnya

Maret 1947, Westerling meninggalkan Makassar. Ia ditarik kembali ke Batavia (Jakarta) karena operasi militernya dinilai sangat biadab. Penduduk mengira pembantaian sudah berakhir. Ternyata Westerling digantikan oleh tiga algojonya. Mereka adalah Kapten Stufkens, Kapten Reybors, dan Kapten Horsthuis.

Dalam menjalankan aksi pembantaian, Kapten Reybors menggunakan bantuan pasukan Barisan Poke (senjata tombak). Mereka menggunakan metode Benteng Stelsel. Ribuan anggota Barisan Poke berjalan di depan menghalau para pejuang ke tanah lapang atau hutan belukar. Kemudian dari belakang, tentara KL dan KNIL menghujani tempat tersebut dengan mortar dan mitraliur berat.

Operasi menggunakan metode Benteng Stelsel ini berjalan dalam waktu dua bulan. Merenggut lebih banyak korban dibanding metode yang dilakukan Westerling.(3)

Monumen Korban 40.000 Jiwa di ParepareMonumen Korban 40 Ribu Jiwa di Parepare yang terletak di depan Masjid Raya Parepare, salah satu lokasi pembantaian oleh anak buah Westerling (Foto:Muhclis Abduh/detikSulsel)

Kontroversi Angka 40.000 Jiwa

Jumlah korban peristiwa pembantaian Westerling hingga saat ini masih belum jelas. Ada banyak versi. Yang paling terkenal adalah angka 40.000 jiwa. Ini angka yang diucapkan Kahar Muzakkar ketika menghadap presiden Soekarno di Yogyakarta tahun 1947.

Kahar Muzakkar menggambarkan betapa bengisnya pembantaian di Sulsel yang memakan banyak korban jiwa. Kahar membandingkan peristiwa Bondowoso yang merenggut 46 nyawa. Peristiwa Bondowoso ini selalu dikoar-koarkan. Sementara korban 4.000 orang di Sulsel atau malah 40.000 itu kurang dihiraukan.

Mendengar laporan itu, Soekarno terkejut dan mencucurkan air mata. Sejak saat itu, istilah korban 40.000 jiwa kerap digunakan Soekarno dalam pidato-pidatonya. Istilah itu ia gunakan untuk mengobarkan semangat perlawanan pemuda di seluruh tanah air.(4)

Versi lain, dari Westerling sendiri. Dalam wawancaranya pada tahun 1969, Westerling mengaku hanya membunuh 600 orang.(8) Sementara, menurut penelitian Angkatan Darat yang dilakukan pada 1950an, jumlah korban sebanyak 1.700 orang.(6)

Tahun 1969, Pemerintah Belanda juga melakukan pemeriksaan. Diperkirakan angka kematian akibat pembantaian sebanyak 3.000 orang. Data ini disebutkan dalam buku yang berjudul Tragedi Westerling Sang Pembantai Rakyat Indonesia.

Versi terakhir berasal dari Anhar Gonggong, sejarawan yang ayahnya juga turut menjadi korban pembantaian. Anhar menyebut angka 10.000 sebagai jumlah korban dari pembantaian yang dilakukan Westerling bersama pasukannya.(6)


Sumber:

1. Monumen Perjuangan di Sulawesi Selatan, Mukhlis dkk, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1987
2. Monumen Sejarah Perjuangan Bangsa di Daerah Sulawesi Selatan Seri 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1995
3. Sulawesi Selatan Berdarah, Zainuddin Tika, dkk, Lembaga Kajian Sejarah Budaya Sulawesi Selatan
4. SOB 11 Desember sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi Selatan, Tim Penelitian Sejarah Perjoangan Rakyat Sulsel Kerjasama Kodam XIV Hasanuddin, Unhas dan IKIP U.P
5. Meniti Siri' dan Harga Diri oleh Andi Mattalatta
6. Rihlah Jurnal Sejarah dan Kebudayaan UIN Alauddin Makassar
7. Tragedi Westerling Sang Pembantai Rakyat Indonesia oleh Agus N. Cahyo
8. Challenge to Terror oleh Raymond Westerling




(urw/nvl)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detiksulsel

Hide Ads