Keberadaan perusahaan tambang di Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) Sulawesi Tenggara (Sultra) ditolak keras oleh warga hingga diwarnai aksi emak-emak buka baju. Namun ada juga warga yang dianggap mendukung sehingga hubungan dua kelompok warga tersebut jadi renggang.
"Tiap desa ada begitu (tidak saling sapa)," kata Amir, salah seorang warga penolak tambang kepada detikSulsel, Jumat (4/3/2022).
Ia menuturkan, imbas kasus tambang, dampaknya merembet terhadap 4 desa, di antaranya Sukarelajaya, Dompo-dompo, Teporoko dan Bahaba. Ke-4 desa tersebut merupakan pecahan dari desa induk, yakni Desa Roko-roko Raya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amir mengungkapkan kejadian tersebut sudah terasa sejak tahun 2019. Warga sudah tidak lagi akur dengan cara memisahkan kelompok masing-masing. Seperti kegiatan sosial pesta warga, maka setiap kelompok membuat kegiatan masing-masing.
"Dulu itu kalau ada misalkan kegiatan seperti pesta, sudah terpisah. Yang pro (bersama) ke yang pro, yang kontra ya (bersama) ke yang kontra," ujarnya.
Tak hanya kegiatan pesta warga, untuk salat 5 waktu di masjid pun juga berimbas. Namun, saat ini kondisinya tidak separah awal-awal warga terpecah.
"Salat di masjid dulunya iya (pisah-pisah), tapi sekarang masih seperti dulu tapi sudah tidak terlalu," ujarnya.
Ia berharap besar agar warga bisa kembali rukun dan bersosial seperti dulu lagi. "Harapannya warga bisa hidup rukun kembali tanpa adanya konflik konflik sosial seperti ini," katanya.
Kasus penolakan hadirnya tambang tersebut berdampak warga terbagi dua kubu. Terbagi antara kelompok pro dan kelompok yang kontra dengan kehadiran perusahaan tambang.
"Iya betul (disana ada warga yang menolak dan mendukung perusahaan tambang)," kata Amir.
Menurut dia, warga yang mendukung mungkin senang jika nantinya akan mendapatkan pekerjaan baru ketika perusahaan tambang mulai beroperasi. Sedangkan warga yang menolak, lebih ke arah mempertahankan mata pencarian warga sekitar.
(tau/hmw)