Dikutip dari detikSumbagsel, Kapolsek Lubuklinggau Selatan, AKP Nyoman Sutrisna menjelaskan kejadian tersebut berawal saat pelaku hendak menjual tanahnya yang berada di RP 05 kepada saksi Wahab.
"Saat mengecek ke lokasi, korban Abu Seman beserta istrinya Asma Wangi datang dan mengklaim batas tanah yang akan dijual belikan oleh pelaku masuk ke batas tanah korban sehingga terjadi perselisihan batas tanah antara mereka," kata Nyoman, dikutip dari detikSumbagsel, Senin (7/10/2024).
Kejadian tersebut terjadi di RT 05, Kelurahan Air Kati, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan I, Lubuklinggau, Sumatera Selatan pada Sabtu (5/10) sekitar pukul 17.30 WIB.
Lantas, bagaimana sebenarnya peraturan hukum soal pelanggaran batas tanah?
Pengacara Properti, Muhammad Rizal Siregar secara terpisah menjelaskan kalau orang tersebut benar hendak menjual tanah orang lain, maka menyalahi hukum dan bisa dikenakan Pasal 385 KUHP dan Pasal 1365 KUHPerdata.
"Belum terjual juga dia (pelaku) sudah ambil hak orang lain (korban). Jadi pelaku bisa dijerat pasal pidana dan bisa dilakukan gugatan perdata," ujar Rizal kepada detikProperti, Senin (7/10/2024).
Ia menyebut ketentuan mengenai hukum menggeser batas tanah diatur dalam Pasal 385 KUHP. Jika ada seseorang yang diduga melakukan penggeseran batas tanah, maka dapat diancam pidana penjara paling lama empat tahun.
Adapun penggeseran batas tanah bisa berupa membangun sesuatu di atas tanah atau ada aktivitas fisik yang mengambil hak orang lain. Kemudian, korban yang merasa dirugikan dapat menuntut menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata.
"Apabila pelaksanaan hak tersebut melanggar hak orang lain sehingga merugikan kepentingan orang lain, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH)," katanya.
"Mengenai perbuatan melawan hukum ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, di mana yang bersangkutan mengambil hak orang lain sebagaimana dalam UU pokok agraria," tambahnya.
Dengan begitu, korban bisa meminta pelaku untuk mengembalikan kondisi tanah seperti semula atau meminta ganti rugi. Nominal ganti rugi dihitung berdasarkan luas tanah yang diserobot serta harga nilai jual objek pajak (NJOP) tanah yang diserobot.
Disamping itu, Rizal mengatakan ketentuan batas tanah didahului dengan kepemilikan hak atas tanah. Pada dasarnya terdapat dua dokumen yang mendasari kepemilikan tanah, yakni sertifikat hak dan surat girik.
Bagi pemilik tanah yang sudah mendaftarkan kepemilikan atas tanah ke Badan Pertanahan Negara (BPN) mempunya sertifikat hak milik (SHM) tanah. Sementara biasanya di pedesaan, masyarakat yang belum mendaftarkan kepemilikan tanah mempunyai surat girik sebagai dasar kepemilikan.
Untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, pihak yang bersangkutan dapat melakukan mediasi di kantor kepala desa atau kelurahan. Di sana akan dipastikan batas-batas tanah berdasarkan dokumen yang dimiliki.
Namun, bila persoalan tidak selesai, korban bisa menguji kepemilikan hak atas tanah ke Pengadilan Umum bagi yang belum mendaftarkan kepemilikan tanah. Sedangkan yang sudah punya SHM bisa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN).
"Kalau memang ada itikad baik itu pasti mediasi bisa dilakukan di kantor kepala desa atau kantor kelurahan setempat. Yang kedua apabila terjadi benturan batas yang sudah ada, maka itu dapat diuji melalui peradilan umum, yaitu peradilan perdata," katanya
"Kalau tanah yang sudah bersertifikat kita berlawan dengan negara, yaitu Peradilan Tata Usaha Negara (TUN)," pungkasnya.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(dhw/dna)