Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengungkapkan bahwa retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan dihapus. Ia menuturkan, pihaknya akan mengeluarkan surat edaran dalam waktu dekat.
"Saya akan keluarkan surat edaran dalam waktu paling lama 10 hari agar retribusi PBG dihapus khusus untuk MBR, supaya tidak ada kerancuan," kata Tito dalam acara diskusi bertema Program 3 Juta Rumah Gotong Royong Membangun Rumah untuk Rakyat di Menara 1 BTN, Jakarta, dikutip Sabtu (9/11/2024).
"Kita akan mengundang seluruh Pemda, BTN, dan rekan-rekan perwakilan Real estat bahwa program perumahan MBR ini telah diperintahkan oleh Pak Presiden dan harus dilaksanakan oleh Pak Maruarar. Kita minta Pemda untuk bangun gerakan kesetiakawanan sosial untuk membantu yang tidak mampu," sambungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tito juga mengatakan bahwa pemerintah akan menghapus Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk MBR. Akan tetapi, hal itu akan disosialisasikan bersama seluruh pemerintah daerah dan para pengembang di daerah.
Di sisi lain, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruara Sirait menuturkan pihaknya telah meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk memperpanjang bebas pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi lima tahunan. Hal ini dilakukan untuk merealisasikan program 3 juta rumah.
Secara khusus, Maruarar melanjutkan, pihaknya aktif berdiskusi dengan Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu terkait program tersebut. Merespon pernyataan tersebut, Nixon mengatakan bahwa pengurangan biaya dapat mencapai total 21% untuk Rumah MBR dan masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT) yang terdiri dari pembebasan PPN, pemangkasan PPH dan penghapusan BPHTB akan mampu memicu permintaan akan perumahan karena harga jual rumah menjadi lebih murah.
Baca juga: Retribusi PBG buat Rumah MBR Mau Dihapus! |
Sementara itu, Nixon membeberkan, BTN telah menyalurkan 5,5 juta KPR subsidi dan non subsidi baik melalui KPR Konvensional maupun pembiayaan syariah sejak 1976. Belakangan ini, kata Nixon, semakin banyak kaum milenial, perempuan, dan pekerja sektor informal yang membeli rumah pertama dengan KPR, sehingga prospek sektor perumahan Indonesia sangat prospektif di masa depan.
"Terutama untuk pekerja sektor informal, dapat kita bayangkan jika tidak ada program rumah subsidi, mereka tidak bisa membeli rumah. Selain itu, Indonesia masih punya isu nasional yakni backlog kepemilikan rumah sebanyak 9,9 juta, dan lebih dari 50% masyarakat miskin menghuni rumah tidak layak huni. Berdasarkan data dari PLN, angkanya sampai 24 juta rumah tidak layak huni," papar Nixon.
Kajian BTN menunjukkan, isu utama perumahan di daerah dari sisi demand di antaranya masih terkait dengan pendataan kebutuhan rumah dengan sistem 'by name, by address', serta tumpang tindih peraturan terkait kewenangan penyelenggaraan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sedangkan di sisi supply, BTN melihat masih belum adanya sinkronisasi perencanaan tata ruang antara daerah dan pusat.
Oleh sebab itu, kata Nixon, BTN terus memberikan masukan kepada pemerintah agar program rumah rakyat bisa terealisasi secara jangka panjang, karena karena sektor perumahan memiliki multiplier effect atau dampak turunan terhadap 185 subsektor lainnya yang mayoritas bersifat padat karya.
Tidak kalah pentingnya, pembangunan sektor perumahan secara masif akan menciptakan lapangan kerja. Berdasarkan perhitungan BTN, setiap pembangunan satu rumah dapat menyerap lima tenaga kerja, sehingga pembangunan 100.000 rumah akan menyerap 500.000 tenaga kerja per tahunnya.
(abr/abr)