Program Sejuta Rumah (PSR) adalah salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo sejak awal pemerintahannya. Lewat program ini, ditargetkan sebanyak 1 juta rumah dibangun setiap tahunnya yang terdiri dari rumah MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) dan rumah non-MBR.
Jelang berakhirnya masa jabatan Jokowi pada 20 Oktober mendatang, menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), hingga 31 Juli 2024, jumlah rumah yang telah dibangun lewat Program Sejuta Rumah mencapai tembus 617.622 unit atau sekitar 59,23% dari total target nasional di tahun ini.
Dengan rincian, rumah MBR yang telah terbangun sebanyak 484.119 Pembangunan rumahnya dilaksanakan oleh Kementerian PUPR 121.738 unit, Kementerian/ Lembaga lainnya 8.345 unit, PT SMF 72.582 unit, pemerintah daerah 11.898 unit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, pembangunan rumah yang dilaksanakan oleh pengembang non FLPP 266.086 unit, CSR perumahan 66 unit serta masyarakat 3.404 unit.
Sementara itu, untuk rumah non-MBR hingga 31 Juli 2024 sebanyak 133.503 unit dilaksanakan oleh pengembang non-MBR sebanyak 129.745 unit dan masyarakat 3.758 unit.
Selama hampir 10 tahun berjalan, apa saja tantangan yang dihadapi dalam realisasi Program Sejuta Rumah?
Menurut Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto, dari sisi pengembang ada 4 tantangan yang dihadapi dalam realisasi Program Sejuta Rumah. Mulai dari kebijakan terkait perumahan, penganggaran, lembaga yang mengurus perumahan, dan ketersediaan lahan.
"Kemudian tantangan dari developer (pengembang), dari hal yang ketidakpastian. Yang kedua mengenai akses ketersediaan tanah. Kemudian juga yang kaitannya dengan daya beli," kata Joko saat dihubungi detikProperti pada Jumat (27/9/2024).
Dia mengatakan dahulu sektor perumahan di Indonesia kurang mendapat dukungan dari segi pembiayaan dan pengurusan perizinan. Selain itu, daya beli masyarakat juga tidak dapat mencapai harga jual properti di pasaran.
"Kalau dari sisi developer, kita hanya ingin memastikan terkait perizinan dan sebagainya terkait waktu lamanya, terkait biaya itu bisa dirapikan pada saat Kementerian Perumahan itu berjalan," ujarnya.
Maka dari itu, REI mengusulkan sebuah program yang mereka sebut sebagai propertinomic. Di dalam program ini memuat empat hal yakni penguatan institusi kelembagaan, kebijakan dan keberpihakan, optimalisasi anggaran perumahan, dan mendorong sektor perumahan menjadi program strategis nasional (PSN).
Dia merasa empat hal tersebut dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan dari Program Sejuta Rumah agar program perumahan di pemerintahan selanjutnya dapat berjalan jauh lebih baik.
"Karena tidak mungkin dihasilkan hal yang berbeda ketika cara yang dilakukan sama," imbuhnya.
"Makanya harus ada transformasi dari sisi tadi, ada empat pilar itu. Ada institusional. Kedua adalah kepastian anggaran, yang ketiga adalah dirapikannya instrumen, kebijakan. Keempat adalah keberpihakan menjadi program strategis nasional," lanjutnya.
Sementara itu, Pengamat Properti sekaligus Direktur PT. Global Asset Management, Steve Sudijanto mengapreasiasi pencapaian jumlah rumah yang terbangun per Juli 2024 lalu yang hampir menyentuh 60%. Di satu, sisi dia menyadari pada realitanya banyak sekali tantangan dan evaluasi yang harus dilakukan untuk program itu.
Pertama adalah mengenai pengadaan lahan. Rata-rata rumah MBR yang disiapkan oleh pemerintah adalah rumah tapak di mana memerlukan lahan. Sementara itu, di wilayah yang peminatnya tinggi, lahannya justru terbatas dan harganya tergolong mahal seperti yang terjadi di Jakarta.
Dia menyarankan Indonesia seharusnya mengikuti Singapura yang menyediakan rumah berbentuk rusun dengan masa tinggal selama 99 tahun. Dengan begitu, rumah tersebut bisa ditempati sampai beberapa keturunan.
"Banyak kok lahan-lahan BUMN yang bisa dimanfaatkan, mungkin dengan sistem seperti di Singapura 99 years old. (sampai) Cucu (tinggal) di situ, 99 tahun bisa beranak cucu di situ," sebutnya.
Selain perihal lahan, dia juga menyebut perumahan seharusnya dekat dengan transportasi massal seperti stasiun KRL, MRT, atau LRT hingga halte bus. Dengan begitu masyarakat yang gajinya pas-pasan dapat menekan pengeluaran untuk transportasi.
Terakhir, tantangan lainnya dari pengadaan program ini adalah kewajiban down payment (DP) yang dinilai dapat memberatkan MBR. Dia menyarankan seharusnya untuk masyarakat menengah ke bawah tidak dikenakan DP. Selain itu, masa cicilnya juga diperpanjang dan bunga yang diberikan juga sekecil mungkin.
"Uang mukanya, yang kedua, asurannya harus dipanjang, pukul rata dengan subsidi. Supaya first time home buyer yang layak, itu bisa menikmati, bisa tinggal di situ beneran," pungkasnya.
(aqi/zlf)