Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi adalah markasnya pemulung-pemulung mengais rezeki. Kebanyakan dari mereka bahkan menetap di pinggiran kawasan gunungan sampah. Mereka menyewa kontrakan, membangun gubuk atau rumah permanen sebagai hunian dan tempat penyortiran sampah setelah memulung.
Meski sama-sama berprofesi pemulung, mereka memiliki penghasilan harian yang berbeda. Sebab, setiap jenis sampah memiliki harga yang berbeda-beda saat disetorkan ke pengepul. Menurut Sri yang sudah lebih dari 44 tahun menjadi pemulung dan pengepul, pemasukan hariannya juga bergantung pada usaha mereka saat berburu sampah.
"Tergantung kita, yah lumayan untuk makan satu keluarga sehari, dua hari cukup. Kalau kita males-malesan yah nggak bisa," kata Sri kepada detikcom pada Selasa (16/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat tengah rajin dan banyak sampah berharga yang bisa diambil, Sri bisa mendapatkan Rp 100.000 sampai Rp 200.000 per hari. Belum lagi ditambah dari buruan sang suami yang juga seorang pemulung.
![]() |
Pada saat detikProperti berkunjung ke rumah Sri, sang suami tengah menyortir botol kaca dibantu satu karyawan di halaman rumahnya. Selain botol kaca, ada pula botol plastik dan kantong plastic putih besar berisi sampah yang belum disortir.
"Mulai dari 1999 udah ngerjain ini, tapi sambil sambilan. Yah mulung, yah beliin. Kalau saya dapet mulung, saya dapet sisa saya kerjain di rumah karena saya nggak punya modal," tuturnya.
"Jadi sisanya tabungan dari makan dikit-dikit ada temen yang mau jual, saya beli. Nanti di rumah disortir gimana caranya bisa dapet untung lagi," tambahnya.
Penghasilan Sri tidak hanya dari sampah, setelah mempunyai rumah permanen seluas 600 meter persegi yang dia beli dari utang bank Rp 200 juta dia membuka warung kelontong yang menjual snack siap makan dan minuman kemasan. Kebanyakan pelanggannya adalah pegawai mekanik di Bantargebang yang memesan kopi. Namun, menurutnya keuntungan warung kelontongnya tidak seberapa dibanding mengumpulkan sampah.
![]() |
Selain Sri, ada pula Riani dan Casimi yang memiliki rumah sendiri di Bantargebang, meskipun tampilannya berbanding terbalik. Rumah Riani dan Casimi adalah bangunan semi permanen yang dibangun dari triplek, batang kayu balok, dan atap terpal. Selain itu, halaman rumah mereka lebih banyak tumpukan sampah berkarung-karung hingga menutupi bangunan rumah.
Riani adalah ibu rumah tangga dan pemasukan keluarganya didapat dari suami yang berprofesi pemulung. Dalam seharsuaminya bisa mendapatkan Rp 150.000 jika sedang rajin. Biasanya sang suami mencari sampah seperti botol plastik, botol bekas kemasan sampo dan sabun, botol kaca, dan lainnya.
"Tergantung dari giatnya suami. Kalau dari giat Rp 150 ribu dapet," kata Riani kepada detikcom pada Selasa (16/8/2024).
Di tengah keterbatasan ekonomi, Riani tetap menyisihkan uang sekitar Rp 20.000 per hari untuk ditabung. Setelah bertahun-tahun Riani dan suami dapat membeli lahan 150 meter persegi seharga Rp 50 juta di pinggiran Bantargebang. Setelah itu, dia membangun rumah gubuk yang menghabiskan dana Rp 5 juta.
![]() |
Sementara itu, Casimi telah tinggal di Bantargebang sejak 1989. Dia tinggal bersama anak-anaknya di gubuk kecil di depan rumah Riani. Bahkan anaknya menikah dengan adik Riani. Rumah semi permanen tersebut juga sudah jadi hak milik anaknya. Meskipun tinggal bersama sang anak, Casimi tidak berpangku tangan. Dia menjahit karung-karung bekas yang 3 lembarnya dihargai Rp 10.000.
"Yang dijual kadang-kadang ada yang dibeli, kadang-kadang kalau lagi enak yah enak. Sehari kadang-kadang dapet Rp 50.000, kadang-kadang Rp 100.000," jelas Casimi.
(aqi/dna)