Kehidupan pemulung yang tinggal di sekitar Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi, tidak jauh berbeda dengan kawasan lain. Mereka berusaha memiliki rumah sendiri daripada tinggal di jalanan.
Begitu pula dengan Riani, salah satu warga pinggiran Bantargebang yang sudah tinggal di sana sejak 1989. Dia mengikuti jejak orang tuanya yang pindah ke Bantargebang setelah sampah di Cakung dibawa ke sini. Orang tuanya dahulu berprofesi sebagai pemulung.
Saat ini, Riani hanya seorang ibu rumah tangga dengan 4 anak. Pemasukan keluarganya mengandalkan pendapatan sang suami. Sehari dia bisa mendapatkan sekitar Rp 150.000. Namun, pendapatan tersebut tergantung pada ketekunan suaminya saat mencari sampah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tergantung dari giatnya suami. Kalau dari giat Rp 150 ribu dapet," kata Riani kepada detikcom pada Selasa (16/8/2024).
![]() |
Dengan penghasilan yang tak menentu, Riani tetap bisa memiliki rumah sendiri. Setelah menikah pada 2005, dia berhasil membeli lahan lahan seluas 150 meter persegi seharga Rp 50 juta. Pada saat itu, harga tanah per meternya sekitar Rp 1 juta. Kemudian, dia membangun rumah semi permanen berbahan triplek, rangka kayu balok, dan atap terpal dengan modal Rp 5 juta.
"Itu Rp 1 juta waktu itu, nggak tau tahun berapa, saya lupa. Itu 150 meter persegi," kata Riani kepada detikcom pada Selasa (16/8/2024).
Riani mengungkapkan dia menyisihkan penghasilannya sekitar Rp 20.000 setiap harinya untuk ditabung. Dia tidak ingat pasti berapa lama menabung, hanya saja dia baru kesampaian membeli rumah setelah menikah pada 2005. Meski saat ini lahan tersebut telah dibeli olehnya, Riani mengaku belum melakukan balik nama pada sertifikatnya.
"Udah sertifikat, cuma belum di balik nama, masih nama pemilik pertama. Belum ada modal, emang murah balik nama? Mahal banget. Balik nama kayak kita beli tanah lagi, mahalan balik namanya daripada beli tanahnya," ungkap Riani.
![]() |
Rumah yang dia sebut gubuk tersebut dibangun dengan material sederhana yakni triplek pada dinding, batang kayu balok sebagai kerangka, dan atap dari lembaran terpal. Riani menyebut semuanya memakai material baru dan setelah 20 tahun masih awet hingga saat ini.
Saat tim detikProperti mengunjungi lokasi, rumah Riani adalah hunian paling dekat dengan jalan. Berlokasi di Jalan Lingkar Bambu Desa Ciketing Timur RT 001/RW 05, Bantargebang, Ciketingudik, Bekasi, dekat dengan Musala Nurul Huda. Rumah tersebut dikelilingi dengan tumpukan sampah yang tengah disortir dan ada pula yang dimasukkan dalam karung besar.
Meskipun bagian depan rumahnya berantakan dan terkesan kumuh, tetapi air di rumahnya bersih, tidak berbau sampah, dan gratis.
"Kalau air bagus, putih, nggak ada bau-baunya. Bau-bau sampah nggak ada. Saya pake jet pump, Sanyo," imbuhnya.
(aqi/dna)