Simpanan tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang wajib dibayarkan oleh peserta setiap bulannya masih ramai jadi perbincangan publik. Tak sedikit para pekerja dan pengusaha yang protes terkait hal tersebut karena dinilai memberatkan.
Sebagai informasi, yang wajib menjadi peserta Tapera dan membayar simpanan setiap bulannya adalah WNI yang berusia 20 tahun atau sudah menikah dan memiliki gaji minimal upah minimum atau WNA yang sudah bekerja setidaknya 6 bulan di RI. Adapun, para peserta nantinya akan membayarkan simpanan Tapera sebesar 3% dari penghasilannya untuk pekerja mandiri, sementara untuk para pekerja akan membayar 2,5% dari gajinya dan 0,5% dibayarkan oleh pemberi kerja.
Bagi para pekerja dan pengusaha, apabila simpanan Tapera tidak dibuat wajib maka tidak akan menjadi masalah. Menurut mereka sebaiknya simpanan Tapera dibuat menjadi sukarela, bukan wajib.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi hal tersebut, Komisioner Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho menuturkan, apabila masyarakat merasa keberatan dan ingin membuat simpanan Tapera menjadi sukarela bisa saja dilakukan. Namun harus melalui proses legislasi karena BP Tapera hanya sebagai operator yang menjalankan aturan yang berlaku.
"Ya itu kan proses legislasi ya, ya kalau memang ada keinginan dari masyarakat melalui legislatif untuk disesuaikan ya sangat mungkin saja. Tapi kami kan tidak bisa ngomong seperti itu (simpanan Tapera sukarela) karena BP Tapera hanya sebagai operator, pelaksana undang-undang dan PP (Peraturan Pemerintah)," ujar Heru saat ditemui di ICE BSD, Rabu (12/6/2024).
Sebelumnya, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar mengaku mendukung undang-undang Tapera yang memastikan ketersediaan rumah bagi rakyat. Mengingat ada backlog kepemilikan rumah sebesar 9,9 juta serta pemerintah memiliki keterbatasan dalam menyediakan rumah.
Akan tetapi, ia menyebut masalah muncul ketika kebijakan tersebut mewajibkan setiap pekerja, baik pekerja swasta maupun mandiri. Padahal, masih ada alternatif pembiayaan selain Tapera, yakni dari manfaat layanan tambahan (MLT) program perumahan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
"Kalau diwajibkan berarti kita harus membayar terus sepanjang karir kita sebagai pekerja. Pokok persoalan sebenarnya bukan di PP 25 (tahun) 2016 (atau) PP 21 (tahun) 2024, pokok masalah itu ada di pasal 7 ayat 1 di mana pekerja wajib menjadi peserta, sementara kita sudah punya akses," ujar Timboel dalam forum diskusi yang digelar Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) via Zoom, Selasa (11/6/2024).
Baca juga: Pekerja Harap Kepesertaan Tapera Sukarela |
Timboel menyinggung iuran Tapera menambah pengeluaran serta menekan konsumsi masyarakat. Apalagi kenaikan upah yang tidak seberapa tergerus inflasi, maka kualitas hidup masyarakat bisa menurun.
Lebih dari itu, tidak semua peserta bisa mendapat akses pendanaan rumah karena Tapera sedang fokus pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Berbeda halnya dengan MLT dari BPJS yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh peserta selama belum mempunyai rumah.
"Konsep gotong royong memang ada di undang-undang no. 4 (tahun) 2016, cuman kan permasalahannya apakah selama seseorang pekerja mengiur menjadi peserta wajib, apa otomatis mendapat manfaat? Tidak," imbuhnya.
Untuk itu, OPSI berharap ada revisi undang-undang agar tidak mewajibkan pekerja menjadi peserta, melainkan sukarela. Menurutnya revisi tersebut akan menyelesaikan permasalahan ke bawah.
"Bagi pekerja yang mau, silakan gapapa. Anda kan punya keinginan (dan) kebutuhan. Kalau Anda sudah butuh pasti akan disiplin membayar. Daripada kita paksakan wajib, kemudian nanti akan terjadi 'pembangkangan' tidak bayar iuran, kan akhirnya terjadi persoalan-persoalan," ucap Timboel.
Sementara itu, dikutip dari detikFinance, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani menyuarakan protes atas iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kepada pengusaha dan pekerja. Menurutnya, seharusnya iuran tersebut tidak bersifat wajib melainkan sukarela.
"Kita bukan menggagalkan (UU dan PP) ya, sekali lagi ini kita coba merevisi dengan apa yang ada. Yang kita tolak itu adalah pembebanan iuran kepada kami, secara paksa, wajib, bukan sukarela. Kalau ini dibuat dengan konsep sukarela, kami tidak ada masalah, jadi kita bukan menolak UU dan PP-nya," kata Shinta di Kantor Apindo, Jakarta Selatan, Jumat (31/5/2024).
(abr/dna)