Pemerintah sedang menyusun kebijakan yang akan mewajibkan para pekerja menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kewajiban tersebut menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar mengaku mendukung undang-undang Tapera yang memastikan ketersediaan rumah bagi rakyat. Mengingat ada backlog kepemilikan rumah sebesar 9,9 juta serta pemerintah memiliki keterbatasan dalam menyediakan rumah.
Akan tetapi, ia menyebut masalah muncul ketika kebijakan tersebut mewajibkan setiap pekerja, baik pekerja swasta maupun mandiri. Padahal, masih ada alternatif pembiayaan selain Tapera, yakni dari manfaat layanan tambahan (MLT) program perumahan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau diwajibkan berarti kita harus membayar terus sepanjang karir kita sebagai pekerja. Pokok persoalan sebenarnya bukan di PP 25 (tahun) 2016 (atau) PP 21 (tahun) 2024, pokok masalah itu ada di pasal 7 ayat 1 di mana pekerja wajib menjadi peserta, sementara kita sudah punya akses," ujar Timboel dalam forum diskusi yang digelar Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) via Zoom, Selasa (11/6/2024).
Timboel menyinggung iuran Tapera menambah pengeluaran serta menekan konsumsi masyarakat. Apalagi kenaikan upah yang tidak seberapa tergerus inflasi, maka kualitas hidup masyarakat bisa menurun.
"Tidak ada kepastian imbal hasil tabungan pekerja di Tapera. Pemotongan 2,5% ini juga akan menggerus upah real. Consumption smoothing harus benar-benar terjaga," katanya.
Lebih dari itu, tidak semua peserta bisa mendapat akses pendanaan rumah karena Tapera sedang fokus pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Berbeda halnya dengan MLT dari BPJS yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh peserta selama belum mempunyai rumah.
"Konsep gotong royong memang ada di undang-undang no. 4 (tahun) 2016, cuman kan permasalahannya apakah selama seseorang pekerja mengiur menjadi peserta wajib, apa otomatis mendapat manfaat? Tidak," imbuhnya.
Untuk itu, OPSI berharap ada revisi undang-undang agar tidak mewajibkan pekerja menjadi peserta, melainkan sukarela. Menurutnya revisi tersebut akan menyelesaikan permasalahan ke bawah.
"Bagi pekerja yang mau, silakan gapapa. Anda kan punya keinginan (dan) kebutuhan. Kalau Anda sudah butuh pasti akan disiplin membayar. Daripada kita paksakan wajib, kemudian nanti akan terjadi 'pembangkangan' tidak bayar iuran, kan akhirnya terjadi persoalan-persoalan," ucap Timboel.
Sementara itu, Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menilai kewajiban menabung diperlukan untuk backlog kepemilikan rumah. Namun, ia menekankan agar kebijakan Tapera dari penyusunan hingga pelaksanaan dilakukan dengan seksama dan terbuka.
"Sebenarnya kalau pemerintah ikut terlibat di dalamnya, ya wajib. Cuman ada prasyarat, sosialisasi dan komunikasi dan publikasi terkait undang-undang ini harus masif," imbuhnya.
(dhw/dhw)