Ungkapan kekecewaan itu dilontarkan Mirah untuk merespons pernyataan pemerintah yang berencana menerapkan potongan gaji pekerja untuk simpanan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
"Persoalannya adalah, ketika sudah semakin terpuruk ekonomi ini karena upahnya murah, inflasi tinggi, kemudian harga pangan juga tinggi. Nah satu sisi pembuatan PP tersebut juga tidak pernah melibatkan partisipasi stakeholder yang terkait, dalam hal ini pekerja buruh jadi kita tidak tahu menahu seperti apa bentuknya? Artinya ini bim salabim langsung jadi," tutur dia saat berbincang dengan detikcom via sambungan telpon, Selasa (28/5/2024).
Menurut Mirah, langkah pemerintah saat ini berbenturan dengan kebijakan sebelumnya. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan perhitungan kenaikan upah yang tercantum dalam omnibus law.
Keresahan Mirah cukup beralasan karena pada tahun 2024 ini, kenaikan upah minimum berdasarkan perhitungan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang perubahan atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) di masing-masing wilayah di Indonesia hanya berkisar 1,2% hingga 7,5%.
"Di tengah situasi keterpurukan kelesuan para pekerja buruh, karena sebelumnya ada kebijakan omnibus law yang mengakibatkan upahnya menjadi murah," tutur Mirah.
Dengan kenaikan upah yang dianggap rendah oleh kalangan buruh, beragam pungutan yang diterapkan pemerintah menurut Mirah, akan semakin memberatkan para pekerja.
"Pemerintah itu tidak punya hati nurani dalam mengeluarkan regulasi kepada pekerja buruh. Sudah kemarin omnibus law sekarang malah dibuat iuran Tapera," tutur dia.
Apa lagi, lanjut dia, karena imbas pandemi yang menekan ekonomi, saat ini para pekerja sudah sangat tertekan hingga seluruh tabungannya terkuras tak bersisa.
"Saat ini tabungan para pekerja buruh itu sudah kebuka semua, habis semua, untuk menutupi biaya hidup mereka. Dan sekarang nggak punya tabungan," imbuhnya. (dna/dna)