Bangunan Museum Sumpah Pemuda merupakan saksi bisu terjadinya ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Bangunan itu awalnya merupakan sebuah rumah yang disewakan untuk tempat tinggal para pelajar alias kos-kosan.
Lokasinya yang strategis membuat pemilik rumah, Sie Kong Lian, menyewakannya untuk dipakai oleh para pelajar pada 1920. Rumah itu sempat mengalami perubahan fungsi, mulai dari kos-kosan, toko bunga, kantor bea cukai hingga akhirnya menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Meski telah beberapa kali berganti fungsi, konstruksi bangunan itu tetap kokoh hingga saat ini. Kira-kira, apa ya rahasianya?
Pamong Budaya Ahli Muda pada Museum dan Cagar Budaya (MCB) Asep Firman Yahdiana mengungkapkan, bangunan ini dibangun pada awal abad ke-20, tapi tidak diketahui pasti pada tahun berapa dan siapa arsitek bangunan tersebut. Menurutnya, bangunan yang sudah berdiri 1 abad ini bisa tetap kokoh karena material yang digunakan.
Asep menuturkan, pemilihan bahan bangunan yang berkualitas tinggi, seperti batu bata, kayu keras seperti kayu jati, dan mortar yang terbuat dari campuran kapur alami yang digunakan secara selektif menjadi salah satu kunci kokohnya bangunan itu.
"Selain itu proses pemugaran juga pernah dilakukan pada tahun 1973 sehingga menambah kekokohan bangunan ini sampai sekarang," ungkapnya kepada detikcom, Minggu (26/10/2025).
Asep mengaku, pihaknya juga merawat gedung dengan cara memperbaikinya tapi tidak direnovasi total karena bangunan tersebut termasuk dalam cagar budaya sehingga harus diperlakukan secara khusus.
"Mungkin hanya sekadar merawat supaya warnanya tetap cerah, atau mungkin ada bagian-bagian yang sedikit sompal yang kita perbaiki," tuturnya.
Museum Sumpah Pemuda mengusung gaya arsitektur Indische (Indies) yang banyak ditemukan di daerah pinggiran kota Batavia saat itu. Gaya arsitektur ini muncul sebagai pengaruh dari budaya Indies yang berkembang di Hindia Belanda kala itu.
"Budaya Indies adalah percampuran budaya Eropa, Indonesia, dan sedikit kebudayaan dari China peranakan," ujar Asep.
Ciri khas gaya arsitektur ini adalah denahnya berbentuk simetris penuh. Di bagian tengah terdapat "central room" yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lainnya. "Central room" tersebut berhubungan langsung dengan teras depan dan teras belakang.
Teras tersebut biasanya sangat luas dan di ujungnya terdapat barisan kolom yang bergaya Yunani. Dapur, kamar mandi/WC, gudang, dan area service lainnya merupakan bagian terpisah dari bangunan utama dan letaknya ada di bagian belakang.
Rumah itu terdiri dari bangunan utama seluas 343 meter persegi dan dua paviliun dengan luas masing-masing 54 meter persegi. Bangunan itu berdiri di atas tanah seluas 1.285 meter persegi.
Dulunya, setelah pintu masuk terdapat meja biliar yang digunakan oleh para mahasiswa untuk rehat sembari bermain bersama. Di dalam bangunan, banyak connecting door yang tiap ruangannya merupakan kamar tidur.
Asep mengungkapkan, berdasarkan denah yang dibuat oleh R. Katjasungka (ketua Gedung pada 1928), di sana ada sekitar 14 kamar tidur. Selain itu, ada juga ruang rapat, ruang kafetaria, tempat makan bersama, kamar pembantu, kamar mandi kakus, dapur, sumur, dan gudang.
Ukuran kamarnya berbeda-beda antara kamar utama dan paviliun. Untuk kamar utama 6,2 x 3,7 meter dan 4,3 x 3,7 meter. Sementara itu untuk paviliun rata-rata luas kamar adalah 4,8 x 3,8 meter.
"Berdasarkan keterangan R. Katjasungka (ketua Gedung pada 1928) di dalam kamar dilengkapi almari (lemari), tempat tidur, meja, kursi, dan lain-lain," ungkapnya.
Bangunan rumah ini, kata Asep, masih asli. Hanya saja, barang-barang yang ada di sana merupakan replika kecuali biola milik W.R. Supratman dan barang-barang hibah dari keluarga Sie Kong Lian yang menjadi koleksi museum tersebut.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
Simak Video "Video: Mengenal 5 Bangunan di Indramayu yang Jadi Cagar Budaya"
(abr/abr)