Hari Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Adanya Sumpah Pemuda menjadi semangat akan cita-cita berdirinya negara Indonesia yang bertanah air, berbangsa, dan berbahasa persatuan yaitu Indonesia.
Salah satu hal yang dilakukan oleh pemerintah adalah menjadikan tempat ikrar Sumpah Pemuda menjadi Museum Sumpah Pemuda. Namun, siapa sangka bahwa tempat ikrar Sumpah Pemuda itu adalah sebuah kos-kosan yang dinamakan Gedung Kramat 106 atau Indonesische Clubgebouw yang ada di Kramat Straat atau Jalan Kramat Raya No. 106, Kwitang, Jakarta Pusat.
Berikut ini merupakan sejarah panjang yang awalnya tempat kost menjadi Museum Sumpah Pemuda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berawal dari Kos
Pada 1920-an, seorang keturunan China, Sie Kong Lian, memiliki sebuah rumah yang letaknya cukup strategis yang kala itu dekat dengan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau sekolah kedokteran dan Rechtschoogeschool atau sekolah hukum. Saat itu, banyak pelajar yang datang dari berbagai daerah dan belum memiliki tempat tinggal. Melihat peluang tersebut, Sie Kong Lian pun menjadikan rumahnya sebagai kos-kosan.
Rumah itu terdiri dari bangunan utama seluas 343 meter persegi dan dua paviliun dengan luas masing-masing 54 meter persegi. Bangunan itu berdiri di atas tanah seluas 1.285 meter persegi.
Dulunya, setelah pintu masuk terdapat meja biliar yang digunakan oleh para mahasiswa untuk rehat sembari bermain bersama. Di dalam bangunan, banyak connecting door yang tiap ruangannya merupakan kamar tidur.
Potret salah satu kamar kos di Gedung Kramat 106. Foto: Grandyos Zafna |
Pamong Budaya Ahli Muda pada Museum dan Cagar Budaya (MCB) Asep Firman Yahdiana mengatakan, kos-kosan ini dihuni oleh pemuda dari berbagai daerah atau pulau seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi dan lainnya. Mereka tidak hanya belajar mengenai pelajaran yang ada di kampusnya saja, tetapi juga mendiskusikan terkait politik ketika sudah berada di dalam kos karena dulu dilarang membicarakan politik di kampus atau sekolah.
"Mereka sangat tinggi literasinya, tidak hanya sekadar belajar secara akademis sesuai dengan jurusan mereka tapi mereka juga baca tentang isu-isu internasional, tentang politik, tentang pergerakan dan semacamnya sehingga inilah nanti yang menumbuhkan kesadaran nasionalisme dari para pemuda yang tinggal di sini," ujarnya kepada detikcom saat berkunjung ke Museum Sumpah Pemuda, Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2025).
Selanjutnya, di ruang tengah menjadi area berkumpul para mahasiswa yang nantinya menjadi tempat atau ruang Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 sekaligus menjadi tempat di mana lagu Indonesia Raya pertama kali dimainkan oleh W.R. Supratman menggunakan biolanya.
Saat menjadi tempat Kongres Pemuda II, diperkirakan ada 1.000 orang yang hadir, termasuk wartawan dan juga polisi Hindia Belanda, salah satunya Adjunct Hooftdcommissaris van Politie van der Vlugt.
"Dulu kacanya tidak ada, dia (ruangan) terbuka. Kemudian di sana ada lapangan, di sebelah sana juga ada pohon-pohon, di belakangnya ada rumah. Jadi mungkin sebagian mereka di sini (di dalam ruangan) sebagian di luar, ikut berpartisipasi dalam kongres," ungkap Asep.
Asep bercerita, rapat yang dilakukan di Gedung Kramat 106 itu merupakan rapat ketiga dalam Kongres Pemuda II. Rapat pertama dilakukan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) yang kini jadi Katedral pada 27 Oktober 1928. Rapat kedua dilakukan pada 28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop pada pagi hari dan Gedung Kramat 106 atau Indonesische Clubgebouw (IC) pada sore hari.
"(Rapat ketiga) dimulai 17.30 WIB sampai 23.30 WIB. (Pembacaan) ikrarnya ya sebagai penutup, antara jam 23.00 WIB sampai 23.30 WIB. Kemudian setelah itu diperdengarkan oleh W.R. Supratman Indonesia Raya yang saat itu hanya gesekan biola tanpa lirik," ujar Asep.
Ilustrasi Kongres Pemuda ke II. Foto: Grandyos Zafna |
Alasan kenapa tidak dinyanyikan lirik Indonesia Raya yang saat itu judulnya masih Indonesia, adalah karena banyak polisi Hindia Belanda yang hadir. Para polisi itu bertugas untuk menjadi 'alat sensor' terhadap isi maupun isu yang berkembang dalam diskusi Kongres Pemuda II yang kala itu dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito.
"Ada sensor kata merdeka misalnya. Kata-kata merdeka kalau keluar, maka langsung diinterupsi oleh aparat pemerintah Hindia Belanda saat itu dalam hal ini kepolisian. Bahkan pada waktu itu ada yang sampai dikeluarkan dari sidang karena dianggap mengeluarkan kata-kata yang tidak boleh, termasuk tidak boleh mengkritik polisi misalnya," jelasnya.
Dalam Kongres Pemuda II, tidak hanya laki-laki saja yang hadir, tetapi juga ada perempuan. Contohnya adalah Emma Poeradiredja dan Siti Soendari yang membawa isu-isu tentang perempuan.
Rumah Disewakan ke Kerabat Sie Kong Lian
Rumah tersebut digunakan menjadi kost-kost-an sekitar 14 tahun atau lebih tepatnya sejak 1920 sampai 1934 yaitu ketika para mahasiswa sudah lulus dan tidak memperpanjang sewa. Setelah itu, rumah tersebut disewakan ke kerabat Sie Kong Lian yaitu Pang Tjem Jam (1934-1937) yang digunakan sebagai tempat tinggal dan disewakan ke Loh Jing Tjoe (1937-1948) yang dipakai sebagai toko bunga.
Dalam Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda, disebutkan setelah kemerdekaan Indonesia, rumah tersebut juga pernah dipakai sebagai hotel Hersia (1948-1951) dan juga kantor bea cukai (1951-1970).
Dijadikan Museum
Karena terjadi peristiwa penting di rumah tersebut, sejumlah tokoh berjuang untuk mengembalikan ke bentuk semula. Mereka khawatir kalau bangunan dibongkar bisa menghilangkan nilai sejarah.
Pada Desember 1969, Pds. Direktur Purbakala dan Sejarah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 2163/G.3/69 tentang Pernyataan Kembali Bangunan Purbakala/Bersejarah di Wilayah DKI Jakarta. Pada 1972, Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI No.cb.11/1/12/72 jo Monumenten Ordonantie Staatsblad No. 238 tahun 1931 yang menetapkan Gedung Kramat 106 sebagai benda cagar budaya.
Gedung Kramat 106 dipugar Pemda DKI Jakarta pada 3 April 1973 dan selesai pada 20 Mei 1973. Lalu pada 1974, Gedung Kramat 106 dijadikan museum dengan nama Gedung Sumpah Pemuda.
Peresmiannya dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973. Kemudian, pada 20 Mei 1974 Gedung Sumpah Pemuda kembali diresmikan oleh Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Pengelolaan Museum Sumpah Pemuda
Pada 16 Agustus 1979, Gedung Sumpah Pemuda diserahkan Pemda DKI Jakarta kepada Pemerintah Pusat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pengelolaannya diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olah Raga. Menurut rencana, Gedung Sumpah Pemuda akan dijadikan Pusat Informasi Kegiatan Kepemudaan di bawah Kantor Menteri Muda Urusan Pemuda (kemudian menjadi Menteri Muda Urusan Pemuda dan Olah Raga).
Lalu, pada tanggal 28 Oktober 1980, diadakan pembukaan selubung papan nama Gedung Sumpah Pemuda oleh Dra. Jos Masdani, atas permintaan Menteri Muda Urusan Pemuda Mayor TNI AU dr. Abdul Gafur, sebagai tanda penyerahan pengelolaan gedung dari Pemda DKI Jakarta kepada Departemen P dan K.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1983, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 029/O/1983, tanggal 7 Februari 1983, yang menyatakan bahwa Gedung Sumpah Pemuda dijadikan UPT di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan dengan nama Museum Sumpah Pemuda.
Bersamaan dengan dibentuknya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid pada tahun 1999, pengelolaan Museum Sumpah Pemuda diserahkan dari Departemen Pendidikan Nasional kepada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Penyerahan dilakukan Menteri Pendidikan Nasional, Dr. Yahya A. Muhaimin, kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Drs. I Gede Ardhika.
Seiring dengan perubahan struktur pemerintahan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dijadikan Kementerian Negara. Untuk menampung unit-unit yang tidak tertampung dalam Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata, dibentuklah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.
Pengelolaan Museum Sumpah Pemuda yang awalnya ada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata kemudian diserahkan kepada Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. Bersamaan dengan reorganisasi di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, pengelolaan Museum Sumpah Pemuda kembali dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Pada awal tahun 2012, Museum Sumpah Pemuda dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jendral Kebudayaan. Seiring dengan perubahan nomenkelatur kementerian pada tahun 2024, Museum Sumpah Pemuda saat ini di bawah pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU) Museum dan Cagar Budaya Kementerian Kebudayaan.
Rumah Dihibahkan
Pada 2021, pihak keluarga Sie Kong Lian menghibahkan rumah beserta tanahnya ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
"Itu dihibahkan sejak tahun 2021 sehingga pada waktu itu, ada pernyataan penting dari keluarga Sie Kong Lian bahwa Museum Sumpah Pemuda sangat berharga bagi kami. Artinya rumah ini berharga bagi mereka, tetapi jauh lebih berharga untuk NKRI sehingga dari itu kami menghibahkannya untuk negara Indonesia," tutup Asep.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
Simak Video "Video: Ramai-ramai Kibarkan Merah Putih di Hari Sumpah Pemuda"
[Gambas:Video 20detik]
(abr/zlf)













































