Museum Sumpah Pemuda memiliki jejak sejarah penting yaitu adanya ikrar Sumpah Pemuda. Sebelum menjadi museum, bangunan tersebut merupakan sebuah rumah yang disewakan untuk menjadi kos-kosan.
Pemilik rumah tersebut yaitu Sie Kong Lian, merupakan seorang keturunan China yang lahir di Jakarta pada 1890 dan meninggal pada 1954 di Jakarta, menurut buku panduan Museum Sumpah Pemuda. Ia mulai menyewakan rumahnya pada tahun 1920-an ketika banyak pelajar yang datang ke Batavia untuk menuntut ilmu di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau sekolah kedokteran dan Rechtschoogeschool atau sekolah hukum.
Karena lokasinya yang dekat dengan dua sekolah tersebut, Sie Kong Lian pun langsung memanfaatkan rumahnya menjadi kos-kosan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ruangan khusus yang didedikasikan untuk keluarga Sie Kong Lian di Museum Sumpah Pemuda. Foto: Grandyos Zafna |
Tidak banyak informasi mengenai Sie Kong Lian. Namun, Pamong Budaya Ahli Muda pada Museum dan Cagar Budaya (MCB) Asep Firman Yahdiana menuturkan, berdasarkan beberapa catatan disebutkan bahwa Sie Kong Lian adalah seorang pengusaha yang memiliki firma atau badan usaha. Asep menyebutkan, Sie Kong Lian termasuk seseorang yang cukup berada. Jadi saat rumahnya dijadikan kos-kosan, ia masih bisa tinggal di rumahnya yang lain.
Asep menilai, peran Sie Kong Lian sangat berharga untuk terjadinya ikrar Sumpah Pemuda. Sebab, Sie Kong Lian tidak melarang adanya kegiatan Kongres Pemuda II yang bisa jadi merupakan dukungannya terhadap perjuangan para pemuda kala itu.
"Istilahnya ini kan rumah pribadi dia yang disewakan kemudian dijadikan tempat konsolidasi bahkan sekretariat untuk pergerakan-pergerakan pemuda Indonesia saat itu. Bahkan sampai kongres menghasilkan sebuah ikrar yang memiliki sejarah tinggi bagi bangsa ini," ujarnya kepada detikcom saat berkunjung ke Museum Sumpah Pemuda, Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2025).
Rumah itu terdiri dari bangunan utama seluas 343 meter persegi dan dua paviliun dengan luas masing-masing 54 meter persegi. Bangunan itu berdiri di atas tanah seluas 1.285 meter persegi.
Dulunya, setelah pintu masuk terdapat meja biliar yang digunakan oleh para mahasiswa untuk rehat sembari bermain bersama. Di dalam bangunan, banyak connecting door yang tiap ruangannya merupakan kamar tidur.
Asep mengungkapkan, berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh R. Katjasungka (ketua Gedung pada 1928), di sana ada sekitar 11 kamar tidur. Selain itu, ada juga ruang rapat, ruang kafetaria, tempat makan bersama, kamar pembantu, kamar mandi kakus, dapur, sumur, dan gudang.
Bagian teras kos-kosan. Foto: Grandyos Zafna |
Ukuran kamarnya berbeda-beda antara kamar utama dan paviliun. Untuk kamar utama 6,2 x 3,7 meter dan 4,3 x 3,7 meter. Sementara itu untuk paviliun rata-rata luas kamar adalah 4,8 x 3,8 meter.
"Berdasarkan keterangan R. Katjasungka (ketua Gedung pada 1928) di dalam kamar dilengkapi almari (lemari), tempat tidur, meja, kursi, dan lain-lain," ungkapnya.
Menurut buku Panduan Museum Sumpah Pemuda, ada beberapa tokoh yang ngekos di rumah Sie Kong Lian atau yang dikenal juga sebagai Gedung Kramat 106 atau Indonesische Clubgebouw (IC). Beberapa di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, Mohammad Yamin, hingga Mohammad Tamzil. Hampir semua penghuni Gedung Kramat 106 menduduki jabatan penting dalam pemerintahan setelah Indonesia merdeka.
Para penghuni kost tersebut membayar sewa kamar sebesar f 7,5 (7,5 Gulden) tanpa makan atau f 12,5 yang sudah termasuk makan 3 kali sehari. Menurut keterangan Prof. Dr. Poorwo Soedarmo yang ada di Museum Sumpah Pemuda, untuk makanan yang disediakan di sana seperti setengah telur goreng, daging, sambal goreng tempe, sayur lodeh, sambal bajak hingga pisang.
Asep menuturkan, 1 Gulden kala itu hampir setara Rp 120.000-150.000 saat ini. Maka tak heran yang bisa kos di Gedung Kramat 106 adalah orang-orang berada karena selain harus membayar kosan, biaya kuliah saat itu juga sangat mahal.
Rumah ini dijadikan kos-kosan hanya sampai 1934 ketika para mahasiswa sudah lulus dan tidak memperpanjang masa sewa. Kemudian, rumah tersebut disewakan ke kerabat Sie Kong Lian yaitu Pang Tjem Jam (1934-1937) yang digunakan sebagai tempat tinggal dan disewakan ke Loh Jing Tjoe (1937-1948) yang dipakai sebagai toko bunga.
Dalam Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda, disebutkan setelah kemerdekaan Indonesia, rumah tersebut juga pernah dipakai sebagai hotel Hersia (1948-1951) dan juga kantor bea cukai (1951-1970).
Lalu pada 1973, bangunan ini dipugar dan pada 1974 diresmikan menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Pada 2021, pihak keluarga Sie Kong Lian menghibahkan rumah beserta tanahnya ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
"Itu dihibahkan sejak tahun 2021 sehingga pada waktu itu, ada pernyataan penting dari keluarga Sie Kong Lian bahwa Museum Sumpah Pemuda sangat berharga bagi kami. Artinya rumah ini berharga bagi mereka, tetapi jauh lebih berharga untuk NKRI sehingga dari itu kami menghibahkannya untuk negara Indonesia," tutup Asep.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(abr/zlf)













































