Mengenal Tamba, Ikan Fermentasi Makanan Khas Suku Dayak

Mengenal Tamba, Ikan Fermentasi Makanan Khas Suku Dayak

Anindyadevi Aurellia - detikKalimantan
Rabu, 28 Mei 2025 05:10 WIB
Tamba, ikan fermentasi suku Dayak.
Tamba, ikan fermentasi suku Dayak. Foto: Dok. MMC Kalteng
Palangka Raya -

Indonesia memiliki beragam tradisi kuliner yang unik dan khas, salah satunya adalah makanan fermentasi yang berasal dari kearifan lokal masyarakat Dayak. Dalam budaya Suku Dayak, makanan bukan sekadar pengisi perut, melainkan juga cerminan dari hubungan manusia dengan alam.

Di tengah hutan-hutan lebat Kalimantan, suku Dayak memiliki cara unik untuk mengolah ikan agar bisa disimpan berbulan-bulan. Mereka menyebutnya tamba, makanan fermentasi tradisional yang menggabungkan teknik alami dengan kekayaan rasa khas dari tanah Borneo.

Ikan fermentasi ini makin dikenal orang luar Dayak setelah seorang konten kreator bernama Norlela, kerap mengunggah kesehariannya menyantap ikan fermentasi. Diketahui Norlela merupakan orang asal Dayak Bulusu, Kalimantan Utara. Nyatanya, Norlela telah mengenalkan bahwa sajian kuliner khas Dayak ini punya cara olah dan rasa yang unik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenal Tamba dan Proses Pembuatannya

Murdijati-Gardjito dkk dalam bukunya yang berjudul Ragam Lauk-Pauk Kalimantan dan Sulawesi menjelaskan bahwa makna kata 'Dayak' ada yang mengartikannya sebagai 'manusia', sementara yang lain menyebutnya berarti 'pedalaman'.

Masyarakat Dayak dikenal memiliki adat istiadat yang khas, yang menjadi bagian penting dari kekayaan budaya Indonesia. Tak hanya budayanya, masyarakat Dayak juga punya ragam kuliner yang menggugah selera, termasuk berbagai jenis lauk-pauk tradisional.

Dirangkum dari buku Murdijati-Gardjito dkk, akun YouTube Norlela dan Jejak Petualang Trans 7, masyarakat suku Dayak atau tepatnya Dayak Bulusu punya makanan tradisional Tamba. Ialah ikan sungai yang segar, dibersihkan dan disayat, lalu dicampur dengan garam dan nasi atau singkong.

Selain tubuh ikan disayat-sayat bagian depan dan belakang, isi perutnya dibuang. Rupanya pengolahan ikan seperti ini merupakan strategi masyarakat Dayak untuk mengatur pola makan. Dulu, tamba dijadikan sebagai cadangan makanan saat masyarakat sibuk berladang dan bertani.

Ikan tersebut kemudian dipindahkan ke wadah tertutup rapat dan disimpan di suhu ruang selama 2 minggu. Wadah yang digunakan bisa beragam, bisa juga menggunakan wadah plastik dan aluminium foil selama hasilnya betul-betul rapat.

Cara fermentasi ini selain untuk cadangan makanan juga digunakan masyarakat setempat untuk menyimpan ikan dalam jangka waktu yang cukup lama, meski tanpa lemari pendingin. Sampai akhirnya karena keunikan cara dan rasanya yang lezat, membuat tamba jadi makanan dan budaya khas setempat yang dilestarikan.

Adapun ikan yang dipilih untuk difermentasi biasanya ikan berkumis seperti patin, salap, jelawat, papuyu, gabus, baung, puyau, atau gurami. Ikan sungai merupakan bahan makanan yang paling mudah ditemukan di pedalaman Kalimantan Utara.

Tamba, ikan fermentasi suku Dayak.Tamba, ikan fermentasi suku Dayak. Foto: Dok. Jadesta Kemenparekraf

Selain Dayak Bulusu, ada juga masyarakat Dayak Okolod yang masih menyantap hidangan serupa. Mereka juga menyebutnya dengan tamba, hanya saja cara pengolahan dan hasil rasanya agak berbeda.

Pada masyarakat Dayak Okolod, tamba dilakukan dengan fermentasi ikan menggunakan ampas singkong atau onggok. Ampas singkong sudah diperas dan diambil patinya sehingga kadar karbohidratnya sudah tidak ada, sementara kadar protein, asam laktat, dan alkohol tersisa sangat sedikit.

Onggok kemudian disangrai supaya mengurangi kadar airnya. Singkong dengan getas yang paling sedikit menjadi yang paling ideal, agar tidak menghalangi tumbuhnya zat asam laktat.

Ikan harus dilumuri garam dengan cukup banyak, lalu didiamkan selama minimal dua minggu dan maksimal sebulan. Kalau di suku Dayak Okolod, kebanyakan yang memasak tamba adalah laki-laki sebab mereka akan mengolah di tengah hutan tepat setelah berburu.

Tak ada takaran khusus untuk garam, namun kurang lebih dua kilogram ikan butuh dilumuri 250 gram garam dan dicampur dengan nasi atau singkong. Penggunaan garam tidak boleh pelit, sebab fermentasi dengan garam yang sedikit bisa menyebabkan ikan berbau busuk.

Selain itu, proses fermentasi juga butuh teknik yakni ikan yang paling besar harus ditaruh di tumpukan paling bawah. Sebab, semakin besar ikan semakin lama proses pematangannya.

Nasi putih, garam, semuanya harus tercampur merata sampai ke bagian dalam ikan. Pun selama proses pencampuran, ikannya harus diremas-remas terlebih dahulu supaya garamnya meresap. Mungkin teknik ini juga menjadi kunci, supaya duri ikan menjadi lunak dan bisa dikonsumsi.

Kalau di Dayak Okolod, proses fermentasi dilakukan bukan di wadah plastik. Metode aslinya yakni menggunakan bambu yang ditutup daun pisang dan onggok yang belum disangrai. Fungsinya agar tidak berbau dan mencegah datangnya lalat.

Sebelum dua minggu, ikan masih dinilai belum sepenuhnya matang sehingga jika ingin disantap perlu dimasak terlebih dahulu agar lebih lezat. Cara masaknya pun tidak perlu terlalu lama, karena daging dan durinya sudah mulai rapuh sehingga bisa hancur saat dimasak.

Setelah proses fermentasi selesai sempurna, hidangan ini bisa disantap langsung. Kalau proses fermentasinya benar dan wadah tertutup rapat, bisa dipastikan tidak akan muncul belatung pada tamba.

Cita rasa tamba ikan begitu kaya dan kompleks, ada rasa asin dan gurih, serta ada sedikit asam. Jika ingin menyeimbangkan rasa, bisa ditambah gula atau disantap dengan sambal dan nasi hangat.

Tekstur ikan yang telah difermentasi menjadi lebih lunak, dagingnya agak lebih alot dibandingkan saat masih segar, dan aromanya khas menggugah selera. Tapi untuk beberapa orang, memilih untuk membersihkan dulu ikan dari nasi sisa fermentasi dan memasaknya kembali.

Beda Tamba, Wadi, dan Pekasam

Beberapa daerah selain Dayak Bulusu dan Okolod juga punya hidangan yang serupa, seperti di Sulawesi bahkan Jawa. Hanya saja setiap daerah punya penyebutan dan media mengolah yang berbeda, sehingga rasa ikannya juga akan berbeda.

Dari wilayah yang terdekat misalnya di suku Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah menyebut fermentasi ikan namanya wadi. Sementara di Banjar, Kalimantan Selatan disebut pekasam.

Dirangkum dari laman Pemerintah Kalimantan Tengah dan buku Budaya Makan dalam Perspektif Kesehatan oleh Toto Sudargo dkk, dijelaskan bahwa wadi merupakan olahan ikan fermentasi tradisional dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Proses pembuatannya melibatkan penggaraman kering dalam kadar tinggi dan dilakukan dalam wadah tertutup.

Hasil akhirnya adalah ikan berwarna kehitaman dengan rasa asin dan asam yang khas, serta aroma kuat dari proses fermentasi. Proses ini berlangsung secara alami tanpa tambahan mikroorganisme, cukup dengan garam berkadar tinggi.

Jika setelah penggaraman daging ikan patin dicuci, rasa wadi menjadi gurih dan tidak terlalu asin. Menariknya, wadi dapat bertahan hingga tiga bulan meskipun dalam kondisi mentah.

Selain wadi, ada pula olahan fermentasi lainnya yang dikenal dengan nama pekasam. Makanan ini juga berbahan dasar ikan air tawar, seperti sepat rawa, seluang, atau gabus. Sejak lama, masyarakat Banjar sudah membuat pekasam sebagai cara untuk menyimpan ikan agar tahan lama.

Meski serupa dengan wadi, perbedaan utama terletak pada bahan dasarnya. Pekasam merupakan makanan khas masyarakat Banjar yang mayoritas Muslim sehingga pasti menggunakan ikan, sedangkan wadi bisa juga dibuat dari daging babi adalah khas masyarakat Dayak pedalaman.

Proses pembuatan pekasam mirip dengan wadi, tetapi ditambahkan cuka dan nasi dingin yang sudah dikeringkan dan disangrai. Nasi ini berfungsi sebagai sumber karbohidrat bagi bakteri asam laktat yang membantu proses fermentasi. Campuran ini kemudian disimpan dalam wadah tertutup selama minimal tujuh hari.

Aroma asam yang menyengat dari pekasam dipercaya bisa meningkatkan selera makan dan rasanya akan semakin nikmat seiring lamanya proses fermentasi. Setelah matang, pekasam tidak bisa langsung dimakan.

Namun perlu dicuci lebih dulu untuk mengurangi rasa asinnya, lalu biasanya digoreng atau dicampur ke dalam masakan sayur. Di beberapa daerah, pekasam juga dikenal dengan nama iwak samu.

Hidangan ini sangat terkenal di daerah Hulu Sungai Tengah, khususnya di Desa Mahang Sungai Hanyar, Kecamatan Pandawan, yang dikenal sebagai sentra pembuatan pekasam. Makanya hidangan ini kerap disebut pekasam Mahang, merujuk pada nama daerah asalnya.

Nah, itulah tadi penjelasan tentang makanan ikan fermentasi khas suku Dayak. Unik ya? Apakah kamu pernah mencobanya?

Halaman 2 dari 2
(des/des)
Hide Ads