Jojo akhirnya bisa merasakan kembali suasana hutan dan memanjat pohon untuk pertama kalinya setelah lebih dari dua dekade hidup dalam kurungan. Individu orang utan ini dilepasliarkan ke hutan buatan di Desa Sungai Awan Kiri, Muara Pawan, Ketapang, Kalimantan Barat.
Pelepasliaran Jojo ke enclosure hutan semi-liar seluas dua hektar ini menjelang Hari orang utan Internasional yang diperingati setiap tanggal 19 Agustus.
"Melihat Jojo bisa memanjat pohon, meskipun belum lincah, adalah bukti bahwa ia akhirnya merasakan secercah kebebasan yang dulu direnggut darinya," kata Direktur Utama Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) di Ketapang, Karmele Llano Sánchez, Senin (18/8/2025).
Ditemukan Mengenaskan
Karmele mengenang kisah hidup Jojo. Ia masih mengingat jelas momen ketika pertama kali melihat Jojo. orang utan yang kini berusia lebih dari 25 tahun, memiliki masa lalu yang memprihatinkan. Ia pertama kali ditemukan pada tahun 2009 dalam kondisi mengenaskan.
"Kakinya dirantai pada sebuah tiang di halaman belakang rumah warga, dengan panjang rantai tak lebih dari 30 sentimeter," ujarnya.
Kala itu, Jojo hanya bisa duduk dan berdiri di tempat yang sama, dikelilingi sampah dan limbah, tanpa atap pelindung dari panas atau hujan. Rantai yang membelit kakinya telah menimbulkan luka infeksi parah, hingga besi tersebut menembus ke dalam kulit.
"Itu salah satu hari paling berat dalam hidup saya. Saya hanya bisa membersihkan lukanya dan memindahkan rantainya ke kaki sebelah, karena saat itu belum ada tempat penyelamatan orang utan di Kalimantan Barat. Saya harus meninggalkan Jojo di tempat itu, karena kami tidak punya pilihan lain," kenangnya.
Menurut informasi dari pemilik sebelumnya, Jojo sudah dipelihara sejak bayi. Saat diselamatkan, usianya diperkirakan sekitar 10 tahun.
Itu berarti ia telah menghabiskan seluruh masa kanak-kanak dan remaja dalam kurungan, masa-masa krusial ketika orang utan seharusnya belajar dari induknya bagaimana bertahan hidup di hutan.
"Ketika masa itu hilang, maka peluang untuk dilepasliarkan ke alam bebas juga ikut memudar," ujar Karmele.
Kondisi Jojo yang mengenaskan, ditambah kenyataan bahwa tidak ada fasilitas penyelamatan dan rehabilitasi di wilayah tersebut, menjadi titik balik bagi Karmele dan timnya.
Peristiwa inilah yang menginisiasi pendirian pusat rehabilitasi orang utan di Ketapang. Bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar dan dukungan mitra internasional, upaya membangun tempat penyelamatan pun dimulai di Ketapang.
"Jojo yang pertama diselamatkan oleh BKSDA Kalbar bersama YIARI di pusat rehabilitasi orang utan di Desa Sungai Awan Kiri, Muara Pawan, Ketapang," kata Karmele.
Mengalami Kelainan
Singkatnya, setelah berhasil dibawa ke pusat rehabilitasi di Ketapang, tim medis menemukan bahwa Jojo menderita rakitis, yaitu kelainan tulang akibat kekurangan gizi dan sinar matahari selama bertahun-tahun.
Kakinya bengkok dan tidak mampu menopang tubuhnya dengan normal, sehingga ia hanya bisa berjalan dengan kedua tangan.
"Akibat pemeliharaan dulu, Jojo mengalami cacat permanen," jelas Karmele.
Selain itu, Jojo juga sempat menderita pneumonia kronis, infeksi saluran pernapasan yang cukup parah, yang memerlukan perawatan bertahun-tahun hingga ia pulih.
"Kondisi kesehatan Jojo saat ini menjadi alasan kuat mengapa ia tidak bisa dilepasliarkan kembali ke alam. Disabilitas permanen yang ia alami membuatnya tidak mampu memanjat pohon atau mencari makan seperti orang utan liar pada umumnya," kata Karmele.
Hal inilah yang membuat kehadiran enclosure hutan semi-liar seluas dua hektar di pusat rehabilitasi menjadi sangat penting, sebagai tempat aman dan layak bagi Jojo untuk tetap hidup mendekati alami, meski tak bisa kembali ke hutan bebas.
(bai/bai)