Kisah Puan Si Panaik dari Kaltim, Budak yang Jadi Orang Terhormat

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Minggu, 12 Okt 2025 12:03 WIB
Ilustrasi petani di sawah. Foto: Copilot AI
Berau -

Puan Si Panaik adalah cerita rakyat dari Kalimantan Timur, tepatnya di wilayah Kabupaten Berau. Ceritanya tentang seseorang bernama Kamis yang di kemudian hari dikenal sebagai Puan Si Panaik. Berikut kisah Puan Si Panaik dan pesan moralnya.

Cerita Puan Si Panaik

Ratusan tahun lalu, pesisir Kalimantan bukanlah tempat yang tenang. Laut di sekitar Bulungan, Berau, Tidung, hingga Kutai selalu dihantui oleh bajak laut. Perahu dagang yang lewat sering jadi sasaran.

Bajak laut itu datang dari berbagai penjuru, ada yang dari Mindanao di Filipina Selatan, ada pula dari Makassar dan Bugis di Sulawesi. Mereka merampas apa saja yang berharga, mulai dari teripang, sarang burung, kayu gaharu, madu, lilin, bahkan ukiran tembaga.

Bahkan tidak hanya barang, orang-orang pun ditawan. Laki-laki, perempuan, anak-anak, semua bisa dijadikan budak. Penduduk lokal pun kadang ikut melakukan perampokan, sebagai balasan.

Si Kamis, Budak yang Taat dan Rajin

Di tengah suasana kacau itu, di sebuah kampung dekat Sungai Sukkar, Teluk Bayur, hiduplah seorang lelaki miskin bernama Kamis. Ia tinggal bersama istrinya.

Kamis dulunya seorang budak di Gunung Tabur. Tidak ada yang tahu persis dari mana asalnya. Mungkin ia berasal dari keluarga baik-baik yang jadi korban bajak laut.

Hidup sebagai budak tentu tidak mudah, karena harus kerja keras, sedikit makan, hingga sering kena pukul. Kadang budak yang kuat dipaksa ikut merampok, dan kalau gagal, dihukum dera.

Namun, Kamis berbeda. Ia tidak pernah membangkang. Ia rajin, patuh, dan selalu berusaha melakukan yang terbaik. Setiap pagi ia bangun lebih awal dari orang lain. Ia membersihkan kandang ayam dan kambing, mengambil air dari sungai, lalu berangkat ke sawah.

Sawah yang digarap Kamis selalu bersih, tidak ada rumput yang dibiarkan tumbuh. Padinya subur, pematang sawah ditanami kacang dan mentimun, kebun jagungnya pun lebat.

Karena ketekunannya, keluarga tuannya sangat menyayanginya. Bahkan, Kamis diizinkan ikut pengajian dan salat berjamaah bersama mereka. Hal ini sangat jarang diberikan kepada seorang budak.

Menjadi Orang Merdeka

Bertahun-tahun Kamis mengabdi dengan jujur dan rajin. Hasil sawah yang ia kelola mencukupi kebutuhan keluarga tuannya. Hingga suatu hari, tuannya berkata:

"Kamis, mulai hari ini engkau bukan lagi budakku. Karena kejujuran dan kelakuanmu yang baik, aku bebaskan engkau sebagai orang merdeka."

Kamis terharu. Air matanya jatuh mendengar kabar itu. Meski bebas, ia memilih tetap tinggal bersama tuannya, yang sudah menganggapnya keluarga sendiri.

Beberapa tahun kemudian, Kamis menikah dengan seorang wanita merdeka dari Gunung Tabur. Bersama istrinya, ia membuka ladang di hulu Sungai Segah. Perlahan, banyak orang ikut pindah ke sana, dan terbentuklah kampung baru. Karena kebijaksanaannya, Kamis pun dituakan dan dihormati.

Guru Ngaji yang Dermawan

Kamis tidak hanya rajin bekerja, tapi juga peduli pada pendidikan agama. Di malam hari, ia mengajar anak-anak mengaji Al-Qur'an. Ia tidak pernah meminta bayaran. Murid-muridnya hanya sesekali membantu mengambil air atau kayu bakar.

Ia juga terkenal dermawan. Pernah suatu kali, seorang tetangga datang meminta pinjaman beras. Padahal beras Kamis tinggal cukup sekali masak. Istrinya sempat ragu, tapi Kamis berkata:

"Pinjamkan saja. Tuhan Maha Pengasih, Dia yang memberi rezeki."

Ajaibnya, ketika istrinya mengecek kembali tempat penyimpanan beras, isinya bertambah cukup untuk beberapa kali masak. Peristiwa seperti ini terjadi berulang kali.

Kamis juga ringan tangan dalam hal lain. Saat ada tetangga butuh perahu untuk menjenguk keluarga sakit, ia langsung meminjamkannya, meski ia sendiri batal pergi ke ladang.

Sikap suka menolong dan semangat gotong royong membuat Kamis sangat dihormati di kampungnya. Ia bukan hanya seorang petani, tapi juga panutan.

Keajaiban Makam Si Kamis

Akhirnya, seperti setiap manusia, Kamis pun jatuh sakit. Penyakitnya berat, dan ia wafat dengan tenang. Seluruh warga kampung berduka, karena mereka kehilangan sosok yang bijaksana dan penuh kasih.

Jenazahnya dimakamkan di tepi Sungai Sukkar. Namun, terjadi hal aneh: makamnya perlahan berpindah naik menjauhi sungai. Orang-orang heran, karena belum pernah melihat hal seperti itu.

Mereka percaya, mungkin karena semasa hidupnya Kamis selalu berbuat baik dan menolong sesama, Allah menunjukkan tanda kebesaran-Nya. Sejak itu, makamnya dikenal dengan nama Puan Si Panaik. Hingga kini, banyak orang datang berziarah ke sana.




(bai/sun)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork