Sungai Mahakam merupakan sungai yang membelah tanah Kalimantan Timur dengan panjang 920 kilometer. Sungai ini melintasi berbagai wilayah di Kalimantan, antara lain Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kota Samarinda.
Sungai tersebut dihuni dengan berbagai binatang dan tumbuhan. Salah satu dari binatang tersebut adalah pesut mahakam (Orcaella brevirostris), sebuah mamalia air yang mirip lumba-lumba.
Saat ini nasib pesut mahakam tengah terancam dengan populasi yang kian menurun. Padahal, binatang ini memiliki legenda di tanah asalnya. Konon dalam kepercayaan dan cerita rakyat penduduk setempat, pesut tersebut adalah jelmaan sepasang kakak beradik yang diceritakan pada Legenda Pesut Mahakam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekilas Mengenai Pesut Mahakam
![]() |
Banyak orang mengira bahwa pesut Mahakam sama dengan pesut yang hidup di laut. Padahal, secara genetik pesut Mahakam berbeda.
Hewan yang satu ini merupakan spesies air tawar yang tinggal menetap di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur dan tidak bermigrasi ke laut seperti kerabatnya yang lain.
Pesut Mahakam merupakan satu-satunya spesies lumba-lumba air tawar yang tersisa di Indonesia. Pesut mahakam memiliki daerah sebaran yang sangat terbatas.
Dikutip dari laman Portal Informasi Indonesia, hewan itu merupakan satu-satunya jenis lumba-lumba yang ditemukan hidup di perairan tawar. Sesuai dengan namanya, habitat dari pesut ini berada di Sungai Mahakam yang ada di Provinsi Kalimantan Timur. Tapi, populasinya hanya terkonsentrasi di bagian tengah sungai.
Di dunia internasional, pesut Mahakam dikenal sebagai Irrawaddy dolphin. Julukannya berarti 'orca kecil bermoncong pendek'. Ciri khas pesut ini adalah bentuk kepalanya yang bulat dan moncong tumpul, berbeda dengan lumba-lumba laut pada umumnya.
Di luar negeri, lumba-lumba itu bisa ditemukan di daerah pantai di Asia Selatan dan Tenggara. Kerabat terdekat pesut Mahakam adalah pesut Australia (Orcaella heinsohni). Lumba-lumba ini ditemukan di lepas pesisir utara Australia.
Secara fisik, pesut ini memiliki kepala bulat tanpa moncong yang menonjol, tubuh gemuk, dan sirip punggung kecil. Warna tubuhnya cenderung abu-abu pucat, dan bagian bawah tubuh lebih terang. Dahi pesut tumpul dan lubang napas berada di bagian atas kepala, memungkinkan hewan ini muncul ke permukaan dengan cepat.
Dikutip dari Animal Diversity, panjang pesut jenis itu berkisar antara 1,5-2,8 meter dan punya berat badan antara 114-133 kg. Pesut Mahakam adalah karnivora yang memakan ikan, moluska, dan hewan krustasea.
Pesut tersebut juga menjadi ikon Kota Samarinda dan Kalimantan Timur. Meskipun dikenal sebagai ikon Kota Tepian, keberadaan pesut semakin jarang terlihat di perairan Mahakam.
Dalam satu tahun selama 2020-2021, Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species (RASI) mencatat hanya ada 6 bayi pesut Mahakam yang lahir, dengan angka kematian hingga 4 ekor.
Habitat pesut Mahakam sangat terbatas. Kawasan ekosistem esensial habitat pesut mahakam yang mencakup Sungai Mahakam dan lahan gambut di sekitarnya menjadi rumah utama mereka. Di sinilah pesut mencari makan, berkembang biak, dan membesarkan anak-anaknya.
Sayangnya, wilayah ini juga terus tertekan oleh aktivitas manusia. Penyebab kematian pesut terbanyak (70%) adalah karena rengge (jaring insang), yaitu alat tangkap ikan yang umum digunakan nelayan lokal.
Sisanya disebabkan oleh beberapa faktor seperti tertabrak kapal (9%), racun atau limbah (5%), dibunuh (5%), dan lainnya. Aktivitas perkapalan, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, konversi lahan gambut, hingga pencemaran membuat habitat mereka makin menyempit.
Kondisi itu membuat status pesut Mahakam masuk kategori Critically Endangered atau Kritis, berdasarkan klasifikasi IUCN. Ini adalah tingkat paling tinggi sebelum spesies dinyatakan punah di alam liar.
Legenda Pesut Mahakam
Salah satu cerita rakyat Kalimatan Timur yang cukup populer adalah Legenda Pesut Mahakam. Cerita rakyat ini diyakini oleh sebagian masyarakat hingga kini.
Dilansir dari Buku Kearifan Lokal Cerita Rakyat Kalimantan Timur oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan laman Indonesia Kaya, diceritakan di sebuah desa tanah Mahakam, hiduplah keluarga Pak Pung.
Ia hidup bersama istri, seorang anak laki-laki, dan anak perempuan. Keluarga tersebut hidup dengan rukun dalam pondok tersebut.
Kehidupan mereka pun tidak terlalu sulit karena mereka memiliki sebuah kebun yang ditanami dengan berbagai buah-buahan dan sayur-sayuran. Pak Pung juga mencari penghasilan dari menjadi nelayan.
Namun pada suatu hari, sang Ibu terserang oleh penyakit aneh yang tidak dapat disembuhkan, sehingga ia meninggal dunia.
Tinggallah Pak Pung bersama kedua orang anaknya. Pekerjaannya pun terasa kian berat, sebab di samping bekerja di ladang, mencari ikan, ia juga harus mengurus kedua orang anaknya.
Suatu hari, diadakanlah sebuah pesta panen di kampung tersebut. Semua masyarakat bergembira akan hasil panen yang melimpah, termasuk Pak Pung.
Teman-teman Pak Pung berusaha menghibur dan mengajaknya ke pertunjukan kesenian di mana ia melihat seorang penari yang menarik hatinya. Paras cantik dan keindahan tariannya membuat Pak Pung terus kembali untuk menonton pertunjukan Sang Penari setiap malam.
Baca juga: 5 Gunung yang Dikenal Angker di Kalimantan |
Hubungan mereka terus berlanjut karena ternyata Sang Penari juga tertarik padanya. Pak Pung pun jatuh hati kepada Sang Penari tanpa peduli tentang latar belakangnya yang tak ia ketahui.
Tak lama kemudian, Pak Pung dan Sang Penari pun menikah. Setelah menikah, Pak Pung seperti menemukan semangat baru. Ia merasa keluarganya kembali lengkap dan menjadi rajin bekerja agar bisa menyenangkan istri barunya.
Kini hidup Pak Pung tak lagi kesepian. Mereka hidup rukun dan bahagia sebagai sepasang keluarga bersama dengan dua orang anak Pak Pung.
Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Semakin hari, tabiat buruk sang istri mulai terlihat.
Sang istri selalu berperilaku kasar, terutama kepada kedua anak Pak Pung. Ia juga sering menghukum anak-anak tersebut dan tidak memberinya makan.
Kedua anak itu juga disuruh untuk mencari kayu bakar di hutan. Jika kayu bakar yang didapat kurang, mereka harus bermalam di hutan sampai kayu bakarnya cukup.
Suatu hari kedua anak itu pun tidak mendapatkan kayu bakar. Akibatnya mereka sudah tahu bahwa mereka harus bermalam di dalam hutan.
Malam itu mereka pun kelaparan di dalam hutan. Namun tiba-tiba, mereka bertemu dengan seorang kakek tua. Kakek tersebut mengajak kedua kakak beradik tersebut untuk pergi ke utara.
Di sana terdapat sebuah pohon yang penuh dengan buah-buahan. Anak-anak diperbolehkan untuk mengambil sebanyak mungkin buah, namun hanya boleh sekali. Jika sudah mengambil buah maka tidak boleh lagi kembali.
Sayangnya, kedua anak tersebut terlupa diri dan kembali lagi mengambil buah tersebut.
Keesokan harinya, keduanya pun pulang ke rumah. Namun sungguh tak disangka, sesampai di kampung, mereka tidak dapat menemukan kedua orang tua mereka.
Setelah bertanya kepada para tetangga, ternyata kedua orang tuanya telah pindah. Para tetangga pun memberitahu kemana kedua orang tua mereka pindah.
Kedua kakak beradik itu pun lekas berangkat untuk mencari alamat baru Pak Pung. Setelah dua hari perjalanan, sampailah mereka di tepian Sungai Mahakam.
Hingga akhirnya mereka menemukan sebuah pondok yang ada di tengah ladang. Mereka segera berlari masuk ke dalam rumah, tetapi kosong. Di dalam rumah tercium aroma masakan yang membuat perut anak-anak yang sudah kelaparan pun berbunyi nyaring.
Karena kelaparan, si kakak beradik segera masuk ke dalam rumah tersebut untuk mencari makan. Beruntungnya, mereka menemukan nasi ketan di atas periuk panas. Keduanya pun menyantap habis nasi ketan tersebut hingga kenyang.
Setelah puas dan kenyang, mereka pun merasa gerah dan kepanasan. Keduanya pun keluar rumah untuk mencari udara segar.
Karena masih kepanasan, mereka memutuskan untuk melepaskan baju dan terjun ke sungai.
Ketika Pak Pung dan istrinya pulang ke rumah, mereka kaget melihat nasi ketan yang sudah dibuat telah habis. Mereka menjadi penasaran, siapakah gerangan yang menghabiskan makanan tersebut.
Mereka pun menelusuri jejak dari bekas-bekas makanan yang terjatuh di tanah. Hingga akhirnya mereka sampai di pinggir sungai.
Dari dalam sungai, Pak Pung melihat dua ekor ikan sedang timbul tenggelam. Kedua ikan tersebut berenang sambil menyemburkan air dari hidung dan mulutnya.
Pak Pung keluar dan melihat ada dua makhluk seperti ikan berwajah mirip manusia yang menyemburkan air dari kepala mereka. Keduanya berenang berputar-putar seperti senang melihat Pak Pung.
Pak Pung berlari ke rumah untuk meminta tolong pada istrinya, guna memastikan apa dua makhluk itu benar anak-anaknya. Namun Pak Pung tak bisa menemukan istrinya di mana pun, ia seperti tiba-tiba menghilang begitu saja.
Pak Pung pun sadar bahwa istrinya bukan manusia biasa dan dua ikan pesut tersebut sebenarnya adalah anaknya. Pak Pung sangat menyesal menelantarkan kedua anaknya sampai berubah menjadi ikan.
Pak Pung akhirnya kembali ke sungai, meratapi keadaan anak-anaknya yang telah berubah menjadi ikan dan menyesali perbuatannya yang terlalu percaya semua perkataan istri barunya. Warga sekitar yang mengetahui tentang kisah ini kemudian menamai anak-anak dengan sebutan Pesut Mahakam.