Suku ini mayoritas beragama Islam dan berbudaya Melayu. Bahasa Tidung juga mirip dengan bahasa yang dipakai orang Kalimantan. Suku Tidung juga bisa ditemukan di Sabah, Malaysia.
Suku Tidung merupakan bagian dari kelompok Dayak yang telah lama mendiami wilayah pesisir dan dataran rendah Kalimantan. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam, terutama laut dan sungai untuk sumber penghidupan utama.
Meski memiliki akar budaya Dayak, Suku Tidung juga memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai penduduk asli Kalimantan Utara, Suku Tidung memiliki kontribusi besar dalam membentuk identitas budaya daerah tersebut. Tradisi mereka yang masih lestari menjadi cerminan kuatnya hubungan antara manusia, alam, dan leluhur.
Mengenal Suku Tidung
![]() |
Dirangkum dari buku Sastra Lisan Tidung oleh Eva Apriani dan Siti Sulistyani Pamuji, Suku Tidung merupakan suku asli Kalimantan, tepatnya di bagian utara Pulau Kalimantan. Suku ini merupakan anak negeri di Sabah sehingga sebagai suku bangsa yang terdapat di Indonesia maupun Malaysia (Negeri Sabah).
Suku ini merupakan suku asli Kalimantan, yang mana dulu pernah memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung. Namun, Kerajaan Tidung punah akibat politik adu domba Belanda.
Orang Tidung menyebut nama etnik mereka sebagai tidung, yang berarti bukit/ atau gunung. Beberapa subetnik lain menyebut sebagai tideng dan tidong.
Konon, nenek moyang orang Tidung berasal dari lembah Kinabatangan dan sebagian dari Sipitang (Sabah Barat), Talisayan (Mindanao), lalu sempat menyebar ke Morotai (Halmahera).
Pembuktian historis mengenai asal usul tersebut sejauh ini belum ada. Namun, hal itu mungkin saja benar mengingat bahwa pada zaman kejayaan laut Kerajaan Brunei (sekitar abad ke 17-18) orang Tidung menguasai perdagangan dengan Sulu, Sulawesi, dan Morotai (Halmahera).
Kerajaan Brunei mengorganisasi tentara-tentara Tidung di pantai Timur dan tentara Bisaya di pantai Barat. Sampai akhir abad ke-18 orang Tidung masih memegang hegemoni atas kawasan laut dan Pantai Borneo Timur Laut.
Disadur dari buku Pakaian Adat Sebagai Identitas Etnis: Rekonstruksi Identitas Suku Tidung Ulun Pagun yang ditulis oleh Neni Puji Nur Rahmawati dan Septi Dhanik Prastiwi, suku Tidung lebih dikenal sebagai suku Dayak yang telah beragama Islam.
Suku Tidung adalah salah satu suku asli Nunukan yang menganut agama Islam dan mengakui bahwa dirinya merupakan orang Dayak. Hal ini berbeda dengan suku-suku lainnya yang telah memeluk islam, biasanya tidak menganggap diri mereka sebagai orang Dayak.
Namun tak seluruh kelompok masyarakat Tidung menyebut diri mereka sebagai keturunan Dayak. Ada juga yang disebut sebagai Tidung Ulun Pagun yang beragama Islam dan hidup di daerah pesisir.
Secara historis, suku ini dipercaya berasal dari kawasan Pegunungan Menjelutung dan tergolong dalam kelompok Dayak Pantai. Sebagian besar masyarakat Suku Tidung menetap di kawasan pesisir, khususnya di sepanjang aliran sungai besar yang bermuara ke laut.
Asal-usul Suku Tidung
Menurut Amir Hamzah dalam bukunya berjudul Sekilas Mengenai Suku Bangsa Tidung, ada setidaknya tiga versi asal-usul suku Tidung. Menurut versi orang Tidung sendiri, mereka meyakini bahwa nenek moyangnya berasal dari benua Asia yang bermigrasi sekitar abad ke-5 sampai 1 SM.
Nenek moyang mereka diduga mendarat di pantai timur Kalimantan Utara yang kini dikenal dengan daerah Labuk dan Kinabatangan. Mereka kemudian menyebar ke berbagai wilayah seperti Tarakan, Bulungan, Nunukan, hingga Pulau Sebatik.
Berbeda lagi dengan versi Hindia-Belanda yang menyebut suku Tidung berasal dari Dayak Kayan. Hindia-Belanda mengakui suku Tidung asli sebagai mereka yang tinggal di Sesayap dan Malinau. Sementara yang tinggal di wilayah lain diabaikan.
Lalu menurut versi Pemerintah Indonesia, suku Tidung adalah Dayak Pantai yang asalnya dari pegunungan Menjelutung. Sedangkan suku Tidung yang tinggal di wilayah pinggiran sungai dan pesisir seperti Nunukan, disebut sebagai ulun pagun atau orang kampung. Bahkan permukimannya pernah berpindah-pindah dari satu pinggiran sungai ke pinggiran sungai lainnya.
Menariknya, ada pula cerita yang menyebut suku Tidung merupakan keturunan Malaysia. Hal itu disebutkan dalam tesis Usman Idris berjudul Ulun Pagun: Konstruksi Identitas Orang Tidung di Pulau Sebatik.
Menurut versi Malaysia, suku Tidung adalah perpaduan antara dua etnis yaitu Dayak Murut dan etnis Suluk. Dikisahkan, Kerajaan Suluk yang berasal dari Sabah mengekspansi Dayak Murut sehingga proses islamisasi terjadi.
Hasil akulturasi itu melahirkan orang-orang yang dinamai suku Tidung yang sebenarnya merujuk pada nama sebuah daerah di dataran tinggi. Ini menguatkan dugaan bahwa suku Tidung berasal dari wilayah pegunungan meskipun kini tersebar di wilayah pesisir.
Karena wilayahnya dekat dengan Malaysia, orang Tidung memiliki bahasa daerah yang juga mirip Melayu. Bahasa Tidung dibagi ke dalam 5 kelompok yaitu bahasa Tidung, bahasa Bulungan, bahasa Kalabakan, bahasa Murut Sembakung, dan bahasa Murut Serudung. Beberapa kosakata juga mirip dengan bahasa Kalimantan pada umumnya.
Tidung konon berasal dari seorang leluhur zaman dahulu bernama Aki Tidung, tetapi tidak diketahui apa pun mengenai keturunan Aki Tidung tersebut. Menurut penjelasan, Tidung dahulu bersatu dengan orang Lundayeh di Hulu Sungai dengan kepala suku yang berpengaruh bernama Uvay Semaring.
Mereka tinggal di anak sungai Mentarang (Sesayap Ulu) yang disebut Pa' Tideng, yang berarti pegunungan. Nama Uvay Semaring sangat terkenal di kalangan orang Lundayeh, Tidung, dan Berunei.
Tidung terdiri dari dua kelompok, yaitu Kelompok Berayu yang mendiami Malinau Kota dan Kelompok Sesayap yang berdiam di Malinau Seberang. Masing-masing kelompok tersebut berasal dari dua keturunan Kerajaan Tidung yang terpisah, yaitu Kerajaan Berayu dan Kerajaan Menjelutung.
Saat ini, orang-orang Tidung tersebar di sepanjang wilayah timur laut pulau Kalimantan dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Di antaranya yaitu di Kecamatan Nunukan dan Kecamatan Sebatik Barat.
Ciri Khas Suku Tidung
![]() |
Suku Tidung kaya akan keunikan atau ciri khas budayanya. Banyak tradisi yang sarat akan makna dan masih dilestarikan hingga kini. Simak berikut beberapa di antaranya:
1. Ragam Tradisi
Dalam bahasa Tidung, wilayah pesisir yang terpapar air laut dikenal dengan sebutan tengkayu, yang berarti kawasan pantai air asin. Lingkungan geografis mereka dikelilingi oleh lautan, sehingga mayoritas penduduknya menggantungkan hidup sebagai nelayan.
Tak heran jika kehidupan mereka sangat lekat dengan laut, termasuk dalam tradisi budaya seperti pelaksanaan upacara adat laut yang mereka namai Iraw Tengkayu. Ialah tradisi menghanyutkan perahu sebagai bentuk rasa syukur akan hasil perikanan yang berlimpah.
2. Ragam Seni
Ada beberapa kebudayaan suku Tidung. Misalnya seni pahatan yang ada pada unsur alat musik atau berbagai instrumen bangunan. Bangunan ini berupa rumah adat, perkantoran, dan lembaga pemerintahan yang mencirikan karakteristik penduduk asli.
Suku tidung juga memiliki aneka jenis alat tangkap, permainan, dan makanan khas. Datu Norbeck, budayawan Tarakan, dalam arsip catatan detikcom pernah menjelaskan beberapa ragam alat tangkap dan alat permainan di dalam masyarakat Tidung.
Alat tangkap masyarakat Tidung diantaranya yaitu Tamba (Kelong), Bintul (Ambau), Ubu (Keramba), Jala, Pukat, Apon (Pancing), Sesiyut (Tangguk), dan Isit-isit.
Sedangkan alat permainan Masyarakat Tidung seperti begegala (asinan), beguli (kelereng), bitur, bebantung (lepokan), raga (takraw), tegasing (gasing), ketikan (ketapel), marak (kelayangan), yuyuan (yoyo), gumbak ula, dan masih banyak lagi.
3. Ragam Budaya
Adapun tradisi unik lainnya adalah pada perayaan pernikahan warga Suku Tidung. Salah satunya, larangan membuang air selama beberapa hari bagi pengantin laki-laki dan perempuan setelah menikah.
Dalam laman Pemkab Tana Tidung, disebut suku ini punya pakaian adat Ulun Pagun yang terdiri dari Pelimbangan dan Kurung Bantut (pakaian sehari-hari), Selampoy (pakaian adat), Talulandom (pakaian resmi), dan Sina Beranti (Pakaian Pengantin). Suku ini semakin dikenal, setelah baju adat untuk pengantin pria Suku Tidung menjadi salah satu bagian ilustrasi kekayaan budaya Indonesia pada uang pecahan Rp 75 ribu. (aau/aau)