Suara gemuruh gong dan irama gambus membelah malam di Desa Tidung, Kecamatan Sesayap Hilir, Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara. Warga Desa Bebatu telah memadati lokasi, berbalut pakaian melayu anggun, siap menyaksikan kemeriahan tradisi bepupur, ritual sakral sekaligus pesta budaya menyambut pernikahan Suku Tidung.
Tradisi yang telah diwariskan selama ratusan tahun ini bukan hanya soal menyucikan jiwa calon pengantin, tetapi juga menyatukan warga dalam sukacita. Dengan tarian jepin, alunan hadrah, dan prosesi penuh makna, bepupur menjadi cerminan kekayaan budaya Tidung yang begitu hidup.
Pada malam itu, udara Desa Bebatu dipenuhi aroma bunga-bunga harum dari pupur dingin, campuran beras ketan, santan kelapa, daun pandan muda, kulit buah langsat, dan bunga-bungaan yang diracik khusus oleh keluarga. Di tengah keramaian, calon mempelai pria hanya bertelanjang dada dan berbalut kain hijau tiba di lokasi prosesi. Ia disambut sorak sorai warga dan iringan musik hadrah yang dimainkan oleh remaja dan anak-anak dengan penuh semangat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bepupur ini tradisi wajib kami, simbol kesucian dan kesiapan calon pengantin untuk rumah tangga yang sakinah," ujar Kepala Adat Lembaga Adat Tidung Bebatu, Udin, kepada detikKalimantan, Senin (23/6/2025).
![]() |
Prosesi dimulai dengan doa dan salawat yang dipimpin tokoh agama. Lima tetua adat terpilih, dengan penuh khidmat, mengoleskan pupur dingin ke wajah, tangan, dan telapak kaki mempelai pria.
Ritual ini melambangkan keberkahan dan pembersihan jiwa. Usai diolesi pupur, mempelai pria diarak dengan jikar (tandu tradisional) di tengah kerumunan, ditemani alunan rebana, gong, gendang, dan tarian jepin yang memukau.
"Acara untuk pria selalu ramai. Jepin bisa sampai larut malam, semua warga ikut bergembira," tambah Udin.
Sementara itu, prosesi untuk mempelai wanita berlangsung secara tertutup di rumah orang tua, hanya dihadiri kerabat dekat dan perempuan yang dituakan.
"Ini sederhana, tapi sakral, menjaga adat kami," jelas Udin.
![]() |
Kemeriahan bepupur tak lengkap tanpa hadrah dan jepin. Hadrah, musik rebana dengan salawat, menggema sepanjang malam, menciptakan suasana spiritual yang hangat. Sementara jepin, tarian khas Tidung dengan irama gong dan gendang, menghidupkan suasana. Anak-anak hingga orang dewasa, pria dan wanita, bergerak lincah dalam gerakan tarian yang penuh energi.
"Jepin itu jiwa Tana Tidung. Tiap pernikahan pasti ada, kadang sampai pagi," ungkap Irian, penggiat seni dan budaya Desa Bebatu Supa.
Acara ditutup dengan penyerahan bungkusan kuning berisi gelas dan piring, simbol kekayaan tradisi, diikuti makan bersama dan doa untuk keberkahan pasangan. Yang menarik, setelah tetua selesai mengoleskan pupur, anak-anak muda berebut ikut memupur mempelai pria, menambah keceriaan.
Cerminan Jati Diri Suku Tidung
Bepupur bukan sekadar ritual pernikahan, tetapi cerminan jati diri Suku Tidung. Tradisi ini berlanjut hingga tiga malam pasca-akad, termasuk saat mempelai pria dipupur kembali di rumah mempelai wanita oleh kaum perempuan.
"Ini wajib, bagian dari adat kami," tegas Udin.
Bahan pupur dingin sendiri sarat makna. "Beras ketan, bunga, santan, pandan, dan kulit langsat melambangkan kesucian dan kesiapan pasangan untuk hidup baru," jelas Irian.
Proses pembuatan pupur melibatkan keluarga dekat, mempererat ikatan antaranggota keluarga. Keluarga mempelai wanita mengantarkan pupur ke rumah pria, begitu pula sebaliknya, menunjukkan kebersamaan yang kuat.
Di tengah modernisasi, Suku Tidung tetap setia menjaga bepupur. Anak muda diajarkan hadrah dan jepin agar tradisi ini tak punah. Bepupur bukan hanya soal pernikahan, tetapi juga tentang solidaritas dan identitas budaya.
"Bepupur adalah tontonan megah yang mengukir keelokan kehidupan Tidung. Ini harus dilihat dunia," tutur Irian.
(des/des)