Makanan berbahan dasar tanah liat dari Bantul, Ampo Imogiri belum lama ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Kebudayaan RI. Pakar gizi Universitas Gadjah Mada (UGM) pun membedah kandungan gizi dalam Ampo.
Ampo Imogiri sendiri bukan sekadar camilan, melainkan simbol kearifan lokal yang menyimpan kisah sejarah, tradisi, dan keyakinan akan manfaat kesehatannya bagi sebagian orang. Konon, Ampo telah dikonsumsi sejak zaman Kerajaan Mataram. Tradisi mengonsumsi Ampo muncul sebagai alternatif pangan saat masa paceklik.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, Prof. Sri Raharjo. Dia menyebut Ampo masuk ke dalam kategori Geopaghia atau tindakan mengonsumsi batuan atau tanah, di mana ini merupakan tradisi lokal dari masyarakat pada daerah tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau ditelusuri kenapa ada budaya itu bisa jadi itu bagian dari trial error-nya masyarakat tadi dalam menyiasati kondisi di lingkungannya dari sisi pemenuhan kebutuhan makanan. Jadi bertemunya tanah atau batuan sebagai salah satu sumber makanan bagi sebagian dari masyarakat karena kondisi yang memaksa, bukan suatu kemewahan," ujar Raharjo saat dihubungi detikJogja, Kamis (12/6/2025).
Adapun Ampo yang berkembang di masyarakat Bantul, Raharjo menjelaskan, ini karena kondisi wilayah Bantul yang tak jauh dari Gunung Merapi. Ampo sendiri mengandung silika dan alumina yang merupakan mineral bawaan dari gunung vulkanik.
"Ampo itu kan penyusun utamanya 90 persen disusun oleh dua macam bahan ini, silika dan alumina. Silika kira-kira 60 persennya, alumina bisa 30 persen dari isinya. Sebagian kecil lainnya itu ada mineral-mineral yang lain," tuturnya.
"Mereka datangnya dari bahan-bahan vulkanik, sebagian besarnya. Tentu semua wilayah di selatan, Gunung Merapi ini yang terbawa oleh aliran sungai akan banyak mengandung silika dan alumina. Jadi kalau di Bantul, saya rasa bukan di satu wilayah tertentu, bisa saja cukup menyebar," jelas Raharjo.
Disinggung soal kandungan gizinya, Raharjo menyebut kandungan alumina dan silika tersebut bersifat absorbent atau penyerap. Kemudian, ketika dikonsumsi oleh tubuh, zat yang terkandung dalam Ampo tidak akan bisa terlarut dalam tubuh.
"Ampo ini kan dari bebatuan/tanah, ketika dikonsumsi tidak akan bisa terlarut. Walaupun dicampur dengan air padatannya tetap banyak. Karena sifatnya yang tidak bisa dilarutkan di air, di saluran pencernaan juga tidak bisa tercerna yang berujung di usus halus tidak akan terserap. Jadi hanya lewat aja di saluran pencernaan," sebutnya.
"Dalam kondisi tertentu, Ampo ini memiliki sifat sebagai penyerap atau absorbent. Jadi kita tidak rekomendasikan makan Ampo sebagai kebiasaan makan yang rutin. Itu hanya bisa dilakukan jika untuk menyerap zat-zat sifatnya racun, maka posisinya tidak sebagai makanan tapi sebagai treatment atau merambah ke wilayah pengobatan tradisional. Itu pun sifatnya sementara atau insidental saja," jelas Raharjo.
Maka, Raharjo menyebut Ampo sebagai makanan antigizi. Karena bahan-bahan yang terkandung itu antigizi atau bisa dibilang kehadirannya tidak dikehendaki dari sisi gizinya.
"Ketika masuk ke usus, bisa bergesekan dengan dinding-dinding di usus, bisa iritasi dan luka. Meski dibuatnya sudah dihaluskan, tapi sifatnya tidak halus tetap berisiko menimbulkan iritasi atau luka pada saluran pencernaan," katanya.
Meski ditetapkan sebagai warisan budaya, Raharjo menyebut Ampo dalam pangan bisa dimanfaatkan untuk pengolahan makanan. Dia mencontohkan saat pengolahan daun pepaya, Ampo bisa berfungsi untuk menyerap zat yang menyebabkan pahit dalam daun pepaya.
"Masuk warisan budaya maka irisannya yang masih kita pahami secara logika dan ilmiah adalah penggunaan Ampo itu untuk keperluan penyiapan makanan tertentu. Sifatnya absorbent. Misal ada yang mau masak daun pepaya. Kalau nggak pintar masaknya kan pahit, padahal daun pepaya banyak dikonsumsi menyertai hidangannya lainnya seperti bebek atau ayam goreng. Salah satu fungsi yang kita manfaatkan dari ampo adalah dia bisa menyerap zat-zat yang menimbulkan rasa pahit dalam daun pepaya," urainya.
"Kalau dikonsumsi, bertentangan dengan konsep ilmiahnya sebagai zat gizi yang jelas, dia malah antigizi. Kalau fungsinya sebagai absorbent bisa dimanfaatkan seperti itu, dan itu sudah digunakan oleh beberapa masyarakat," pungkas Raharjo.
(afn/apl)
Komentar Terbanyak
Jokowi Berkelakar soal Ijazah di Reuni Fakultas Kehutanan UGM
Blak-blakan Jokowi Ngaku Paksakan Ikut Reuni buat Redam Isu Ijazah Palsu
Tiba di Reuni Fakultas Kehutanan, Jokowi Disambut Sekretaris UGM