Kisah Atun Generasi Ketiga Pembuat Ampo, Kini 5 Kuintal Ludes Tiap Pekan

Kisah Atun Generasi Ketiga Pembuat Ampo, Kini 5 Kuintal Ludes Tiap Pekan

Adji G Rinepta - detikJogja
Sabtu, 14 Jun 2025 16:55 WIB
Atun Dwi Astuti (43) sedang membuat Ampo di kediamannya, Imogiri, Bantul, Jumat (13/6/2025).
Atun Dwi Astuti (43) sedang membuat Ampo di kediamannya, Imogiri, Bantul, Jumat (13/6). Foto: Adji Ganda Rinepta/detikJogja.
Jogja -

Atun Dwi Astuti (43), wanita asal Kerten, Imogiri, Bantul, menjadi satu dari sedikit orang yang menjadi pembuat ampo. Ia meneruskan generasi pembuat makanan yang ditetapkan jadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) oleh Kementerian Kebudayaan itu.

Atun mengaku menekuni pembuatan ampo sejak 2007 silam. Ia memilih meneruskan profesi yang juga digeluti oleh sang nenek dan ibunya, meski sebelumnya sempat bekerja sebagai buruh pabrik.

"Mulai buat ampo itu sesudah gempa (Gempa Jogja 2006), 2007 itu. Dulu dari simbah saya, turun ke bapak-ibu saya, terus ke saya," jelas Atun saat ditemui detikJogja di kediamannya di Imogiri, Jumat (13/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dulu kan UMR Jogja masih kecil, terus berhenti (jadi buruh pabrik). Awalnya (membuat ampo) buat kegiatan aja, lama-lama jadi pokok. Sudah banyak pelanggan, sudah cocok," sambung ibu dua putri itu.

ADVERTISEMENT

Atun Dwi Astuti (43) sedang membuat Ampo di kediamannya, Imogiri, Bantul, Jumat (13/6/2025).Atun Dwi Astuti (43) sedang membuat Ampo di kediamannya, Imogiri, Bantul, Jumat (13/6/2025). Foto: Adji Ganda Rinepta/detikJogja

Meski begitu, Atun mengaku tak mengetahui sejarah, dan asal-usul ampo ini. Menurutnya, saat masih kecil ia sering menemani sang nenek membuat ampo namun neneknya tak pernah menceritakan soal asal-usul makanan dari tanah liat itu.

"Simbah dulu nggak pernah cerita, ampo itu dari mana, sejarah dulu itu ndak pernah cerita," ungkap Atun.

Selain ia dan ibunya yang masih menjadi pembuat ampo hingga saat ini, Atun mengaku tak banyak mengetahui pembuat ampo lainnya.

"Kalau di sini, di Imogiri itu cuma daerah sini aja. Kalau daerah lain saya dengar di Piyungan juga ada, di Pleret juga, tapi ndak tahu masih atau nggak," ujarnya.

Ampo sendiri merupakan olahan tanah liat murni berbentuk gulungan tipis tanah liat kering seukuran jari manusia. Selain dikonsumsi, juga memiliki fungsi lainnya tergantung ukurannya. Untuk ampo yang dikonsumsi, berbentuk lebih tipis dari jenis ampo lainnya.

"Cuma ada dua jenis, kecil sama besar. Kalau ampo besar itu biasanya buat merebus daun pepaya biar ndak pahit. Kalau yang kecil bisa dimakan," jelas Atun.

Saat ini Atun hanya fokus membuat ampo berukuran besar karena tak membutuhkan waktu lama untuk membuatnya. Sedangkan, ibunya masih membuat ampo kecil.

"Iya saya khusus yang besar, hemat tenaga hemat waktu. Yang kecil itu jarang yang minta, karena barangnya ringkih cepat remuk," jelas Atun.

"Ibu saya masih bikin yang kecil, soalnya sudah punya langganan, jadi tetep bikin. Bikinnya terserah tapi, semau kita. Pelanggan dari luar kota juga ada. Kalau yang kecil tergantung permintaan, bisa dipanggang bisa cuma dijemur," imbuhnya.


Atun Dwi Astuti (43) sedang membuat Ampo di kediamannya, Imogiri, Bantul, Jumat (13/6/2025).Atun Dwi Astuti (43) sedang membuat Ampo di kediamannya, Imogiri, Bantul, Jumat (13/6/2025). Foto: Adji Ganda Rinepta/detikJogja

Berbeda dengan ibu dan neneknya dulu yang hanya menjajakan ampo ke Pasar Beringharjo Kota Jogja, Atun memilih jualan di pasar tradisional lainnya untuk mendongkrak penjualannya. Alhasil, Atun kini telah menikmati hasilnya.

"Dulu simbah jualnya cuma di Pasar Beringharjo, ibu saya juga di sana. Kalau saya punya inisiatif cari pasar lain itu, yang datang ke sini juga ada, tapi permintaannya nggak kuintal-kuintal," ujarnya.

"Sekitar Jogja, tapi ndak di Beringharjo, soalnya sudah ada ibu. Sampai ke Sleman juga. (Pasar) Gentan, Prambanan, Godean juga," sambung Atun.

Atun menyebut permintaan ampo cukup tinggi, bahkan terkadang kewalahan untuk memenuhi permintaan pasar. Dengan harga Rp 3 ribu per kilogram, Atun bisa menjual minimal lima kuintal setiap pekan.

"Kita kemasi per kilo, patok harga Rp 3 ribu per kilo. Per minggu saya pasti produksi 5 kuintal, pasti habis, malah kadang kurang. Ini aja sudah ada yang minta tapi belum ada barangnya," pungkas Atun.




(apl/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads