Apakah detikers pernah melihat ibu-ibu penjual jamu gendong yang menjajakan dagangannya dengan cara berkeliling? Jamu menjadi salah satu minuman herbal yang banyak digemari masyarakat karena khasiatnya yang memberikan berbagai manfaat bagi kesehatan.
Dari sekian banyak jenis jamu di Indonesia, jamu gendong masih tetap eksis meskipun keberadaannya telah ada sejak lama. Istilah jamu gendong merujuk pada cara penjualannya yang dipasarkan dengan menggendong bakul berisi botol-botol.
Selain karena manfaatnya, beberapa varian jamu gendong diminati oleh orang-orang karena cita rasa yang manis, menyegarkan, dan memberikan sensasi hangat di tenggorokan. Lantas, bagaimana asal usul jamu gendong diciptakan? Yuk, simak informasi di bawah ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah dan Filosofi Jamu Gendong
Asal Nama Jamu
Kata jampi atau usodo yang menjadi asal mula istilah jamu berasal dari bahasa Jawa Kuno. Dua kata tersebut memiliki makna penyembuhan melalui penggunaan ramuan obat atau doa-doa.
Penggunaan istilah jampi banyak ditemui dalam naskah-naskah kuno, seperti Gatotkacasraya yang ditulis oleh Mpu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri di bawah pemerintahan Raja Jayabaya. Pada sekitar abad 15-16 Masehi, istilah usodo mulai jarang digunakan, sementara istilah jampi menjadi lebih populer.
Sejarah Jamu Gendong
Dikutip dari buku Jamu Gendong Solusi Sehat Tanpa Obat terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, tradisi meramu dan mengonsumsi jamu diyakini sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Proses meracik jamu telah menjadi budaya pada masa kekuasaan kerajaan Hindu dan Buddha.
Bukti dari keberadaan tradisi ini tergambar dalam relief-relief yang menggambarkan pembuatan dan penggunaan jamu pada beberapa candi terkenal di Indonesia, termasuk Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Penataran, Candi Sukuh, dan Candi Tegalwangi.
Selain ada dalam relief candi, sejarah jamu gendong juga tertulis dalam Serat Centhini (1814 M) dan Kawruh Bab Jampi-Jampi Jawi (1858 M) yang berisi 1.734 resep ramuan jamu. Kawruh Bab Jampi-Jampi Jawi mungkin menjadi buku terlengkap yang berisi tentang jamu.
Tercatat dalam sejarah, budaya meracik jamu mulanya hanya dikenal di lingkungan istana, di mana jamu diracik khusus untuk para raja, permaisuri, pangeran, dan putri keraton semata. Keluarga kerajaan menggunakan jamu sebagai upaya menjaga kesehatan, kebugaran, dan kecantikan.
Namun, seiring berjalannya waktu, budaya meracik jamu mulai diperkenalkan kepada masyarakat umum oleh orang-orang dari kalangan keraton. Proses ini diperkirakan dimulai pada akhir periode Kerajaan Majapahit dan berlanjut pada masa kerajaan-kerajaan berikutnya, termasuk Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Jamu Diracik oleh Orang 'Pintar'
Pada awalnya, jamu hanya diracik oleh orang yang dianggap memiliki kekuatan spiritual, seperti wiku atau dukun. Penjualan jamu dengan cara digendong diyakini dimulai pada masa Kerajaan Mataram Islam, di mana praktik pengobatan oleh para wiku melibatkan ramuan jamu dan doa-doa. Para wiku kemudian mengirimkan jamu racikannya kepada orang-orang yang membutuhkan atau sesuai dengan pesanan dengan menggunakan utusan laki-laki untuk pengiriman.
Seiring dengan pertumbuhan permintaan terhadap jamu, praktik pengiriman dan penjualan jamu ke berbagai tempat menjadi lebih teratur. Jamu kemudian semakin banyak dijual secara berkeliling oleh pedagang laki-laki dan perempuan. Resep pembuatan jamu gendong pun tersebar lebih luas.
Meskipun awalnya banyak dilakukan oleh laki-laki, lambat laun pekerjaan ini menjadi didominasi kaum perempuan karena dianggap lebih sesuai dengan sifat keluwesan dan keramahan mereka, sementara tenaga laki-laki lebih diperlukan dalam usaha pertanian. Situasi ini pun berlanjut hingga era modern saat ini.
Saat ini, ada lebih banyak penjual jamu gendong yang telah mengadopsi metode penjualan yang lebih modern, yakni dengan menggunakan sepeda atau gerobak dorong dan tidak mengandalkan berjalan kaki. Meski cara penjualannya berubah, jenis jamu yang ditawarkan tetap sama dengan yang dijajakan secara tradisional dengan cara digendong.
Filosofi Jamu Gendong
Pada masa Kerajaan Majapahit, jamu menjadi minuman istimewa yang disajikan pada upacara-upacara kerajaan bagi raja dan keluarganya. Ada delapan jenis jamu yang dikonsumsi oleh raja dan putra-putri keraton.
Jenis-jenis jamu tersebut melibatkan kunyit asam, beras kencur, cabe puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, uyup-uyup, gepyokan, dan sinom. Keseluruhan jamu ini memiliki manfaat untuk menjaga kebugaran, merawat kecantikan, serta melambangkan delapan arah mata angin dan simbol Surya Majapahit.
Ahli arkeologi menduga bahwa Surya Majapahit berperan sebagai lambang negara Majapahit Rasa dari kedelapan jamu ini mengikuti urutan mulai dari manis-asam, sedikit pedas-hangat, pedas, pahit, tawar, hingga kembali manis. Urutan rasa ini menggambarkan siklus kehidupan manusia.
Nah, itu dia asal usul jamu gendong yang merupakan warisan budaya Hindu-Buddha. Semoga bermanfaat!
Artikel ini ditulis oleh Jihan Nisrina Khairani Peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(sip/sip)
Komentar Terbanyak
Jokowi Berkelakar soal Ijazah di Reuni Fakultas Kehutanan UGM
Blak-blakan Jokowi Ngaku Paksakan Ikut Reuni buat Redam Isu Ijazah Palsu
Tiba di Reuni Fakultas Kehutanan, Jokowi Disambut Sekretaris UGM