Serba-serbi Plengkung Gading Jogja: Sejarah, Filosofi dan Mitosnya

Serba-serbi Plengkung Gading Jogja: Sejarah, Filosofi dan Mitosnya

Anandio Januar - detikJogja
Selasa, 28 Nov 2023 12:29 WIB
Plengkung Gading, kompleks Keraton Yogyakarta.
Serba-serbi Plengkung Gading Jogja: Sejarah, Filosofi dan Mitosnya. (Foto: dok. detikJateng)
Jogja -

Plengkung Gading adalah salah satu gerbang untuk memasuki wilayah Keraton Jogja. Lokasinya berada di sebelah selatan Alun-Alun Selatan dan banyak masyarakat yang berkunjung atau sekadar berlalu-lalang di sekitarnya.

Keraton Jogja memiliki gerbang-gerbang yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam wilayah keraton. Terdapat lima buah pintu gerbang yang bentuknya melengkung sehingga dikenal sebagai plengkung. Salah satu plengkung yang terkenal dan bangunannya masih terlihat asli adalah Plengkung Nirbaya atau yang dikenal sebagai Plengkung Gading.

Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya berada di Jalan Gading No.7, Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Jogja. Bangunannya berwarna putih dan memiliki kesan kuno sehingga sangat mudah untuk dikenali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banyak wisatawan yang ingin berkunjung ke tempat ini untuk berfoto-foto, menikmati pemandangan, atau sekadar jalan-jalan. Ketika siang maupun malam, suasana di sekitar Plengkung Gading tetap ramai dan banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Berikut informasi seputar Plengkung Gading yang menjadi salah satu ikon bangunan keraton.

Filosofi Plengkung Gading

Dikutip situs resmi Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, Plengkung Gading yang memiliki nama asli Plengkung Nirbaya memiliki makna dari penamaannya. Nirbaya berasal dari dua kata, yaitu 'nir' yang artinya tidak ada, dan kata 'baya' yang artinya bahaya. Jika digabungkan, maka maknanya tidak ada bahaya yang mengancam.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, plengkung ini juga dikenal sebagai Plengkung Gading. Alasan dari hal tersebut karena plengkung ini berada di daerah Jalan Gading sehingga banyak yang menyebutnya Plengkung Gading. Selain itu, disebabkan juga karena warna bangunannya yang putih seperti gading.

Sejarah Plengkung Gading

Plengkung Gading yang termasuk dalam bangunan tembok keliling di sekitar Keraton Jogja, telah didesain dan dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Plengkung Gading menjadi salah satu gerbang masuk di antara tembok seperti benteng yang mengitari keraton.

Dikutip dari laman resmi Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, terdapat tangga menuju bagian atas Plengkung Gading yang digunakan prajurit keraton sebagai pos penjagaan. Di plengkung ini, prajurit akan memantau keadaan-keadaan yang terjadi di luar keraton.

Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, pada tahun 1935, terdapat Oudheidkundige Dienst (OD) atau Dinas Purbakala bernama Dr. F.D.K. Bosch yang sedang melakukan upaya rekonstruksi terhadap bangunan atau candi di Jawa Tengah dan Jogja. Bosch kemudian berkomunikasi dengan Gubernur Jogja, Johannes Bijleveld, dan diteruskan kepada Patih Danurejo dalam upaya menyelamatkan dan mendokumentasi plengkung yang ada di sekitar keraton.

Bosch mengirimkan surat yang dibuat pada tanggal 2 Maret 1935 dengan isi mengenai saran agar Plengkung Nirbaya dan Tarunasura tidak dibongkar layaknya Plengkung Jagasura Ngasem dan Jagabaya sebelah barat Tamansari. Kemudian, Bijlveld menanggapi dan diteruskan kepada Patih Danurejo VIII pada tanggal 13 Maret 1935.

Berdasarkan situs resmi Dinas Pariwisata DIY, plengkung ini dulunya memiliki jembatan gantung yang berguna untuk masuk ke dalam benteng dengan melewati parit. Jika terdapat musuh, maka jembatan akan ditarik ke bagian atas dan dijadikan pintu penutup plengkung.

Kemudian, di plengkung ini terdapat parit yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap serangan musuh. Ukuran parit tersebut memiliki lebar 10 meter dan kedalaman 3 meter. Akan tetapi, pada tahun 1935 parit tersebut dihilangkan dan menjadi jalan. Plengkung Gading juga sempat diperbaiki untuk mengembalikan bentuk aslinya pada tahun 1986.

Objek di Plengkung Gading

Masih dikutip dari sumber yang sama, Plengkung Gading mempunyai menara sirine yang hanya berbunyi pada dua momentum. Pertama, dibunyikan ketika 17 Agustus dalam mengingat detik-detik proklamasi. Kedua, dibunyikan ketika bulan Ramadhan menjelang berbuka puasa.

Di sekitar bangunan Plengkung Gading terdapat lampu-lampu indah. Suasana yang diberikan seperti suasana tempo dulu ditambah dengan bangunan kuno yang masih berdiri. Di sekitar area ini menjadi tempat foto yang banyak diincar wisatawan karena dapat memberi kesan suasana di zaman kolonial Belanda.

Di Plengkung Gading juga terdapat tangga di kiri dan kanan sisi dalam plengkung yang dapat dinaiki. Dari atas, dapat melihat suasana jalanan di bawahnya dan juga dapat menyusuri benteng hingga ke Pojok Benteng Wetan.

Mitos Plengkung Gading

Plengkung Gading memiliki mitos yang masih dipercaya oleh banyak orang. Mengutip situs Dinas Pariwisata DIY, konon katanya Sultan yang masih bertahta dalam keraton tidak diperbolehkan melewati Plengkung Gading. Alasannya karena Plengkung Gading hanya digunakan sebagai tempat membawa jenazah Sultan ketika ingin disemayamkan di Makam Raja-Raja Imogiri.

Dalam kata lain, Sultan yang bertahta hanya boleh melewati Plengkung Gading ketika sudah wafat. Sementara untuk rakyat biasa tetap dibolehkan melalui Plengkung ini. Namun, ketika ada jenazah rakyat biasa yang dekat dengan plengkung ini, jenazah tersebut harus dibawa memutari plengkung agar tidak melewati lorong di dalamnya.

Mitos lainnya yang dipercaya dari Plengkung Gading adalah dapat menetralkan ilmu hitam. Ketika ada yang melewati Plengkung Gading, maka secara sengaja atau tidak sengaja, orang-orang yang mempunyai ilmu hitam akan kehilangan kesaktiannya.

Demikianlah informasi seputar Plengkung Gading, bangunan bersejarah milik keraton yang masih eksis hingga saat ini. Semoga bermanfaat, Lur!

Artikel ini ditulis oleh Anandio Januar Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.




(aku/ams)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads